#5 Slaapzaal

1.8K 303 27
                                    


- Dinten Kadalapan –

Dua hari kemudian, aku selalu bertemu Nunung saat dia beres-beres. Mungkin karena aku bangun lebih pagi dan memutuskan kerja di dalam kamar. Hari ketujuh, hujan deras mengguyur Desa Cimenong, membuat balkon kamarku basah. Hari kedelapan, langit kelabu. Udara sangat dingin sehingga kuputuskan untuk bergelung di balik selimut saja. Beristirahat dari seminggu penuh mengerjakan artikel.

Aku sudah menyelesaikan 20 tulisan sejauh ini. Kurasa tak apa jika hari ini aku bermalas-malasan seharian.

Beberapa jam setelah Nunung selesai membereskan kamarku (dan kamar sebelah—dia selalu masuk kamar tamu di sebelah, dan dia akan menutupnya rapat, bahkan menguncinya, selama dia berada di sana), kudengar suara berisik dari luar. Seperti suara mesin pemangkas rumput.

Awalnya aku mengabaikan suara itu. Aku tetap bergelung di bawah selimut sambil memainkan ponsel. Kemudian, aku mulai merasa terganggu. Aku tahu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Malah sebenarnya bagus ada suara berisik mesin pemangkas rumput setelah satu minggu penuh tempat ini terdengar sunyi. Satu-satunya musik yang kudengar dari luar adalah suara hujan deras atau azan yang bersahut-sahutan.

Akan tetapi, aku mulai penasaran ... siapa yang sedang memangkas rumput, ya?

Apakah Pak Munarman? Enggak mungkin.

Apakah itu Dian?

Aku tak tahu ada berapa penjaga atau petugas serbaguna yang ada di gedung ini. (Atau desa ini.) Kuputuskan untuk mencari tahu sambil berharap itu adalah Dian.

Ketika aku mengintip dari jendela kamarku ..., perasaan gembira membuncah di dalam dadaku. Itu memang Dian.

Malah, dia sedang bertelanjang dada. Hanya mengenakan celana jins panjang dimasukkan ke sepatu botnya yang kemarin. Di tangannya, mesin pemangkas rumput dengan aktif memotong rerumputan yang mulai tinggi. Aku menyadari betul rumput-rumput tumbuh amat cepat selama seminggu terakhir.

Jantungku berdegup kencang.

Dan aku masih diam kaku di depan pintu balkon.

Apa-apaan ini? Kenapa keluar dan menyapa Dian saja aku seperti anak ABG yang deg-degan bertemu gebetannya di sekolah?

Apa yang sedang terjadi kepada diriku? Mengapa tanganku bergetar, keringat dingin mengucur di punggungku, atau dadaku berdebar hanya untuk memutuskan keluar atau tidak?

Keterlaluan.

Memangnya aku masih remaja? Keluar sana!

Aku menarik napas, berusaha bersikap seperti orang dewasa dengan memutar kenop dan berjalan keluar. Dian bahkan tidak menyadari aku ada di tepi pagar balkon sekarang, membungkuk sambil menumpukan hasta lenganku ke permukaan pagar, mencari keberanian untuk menyapanya.

"Potong rumput, Mas?" sapaku.

Pertanyaan bodoh. Memangnya dia sedang betulin meja? Jelas-jelas potong rumput!

Dian menoleh dan mendongak menatapku. Dia langsung mematikan mesin pemangkas rumputnya. Sapaanku dibalas oleh senyum lebar yang manis. "Eh, A Rizki!" Dia berbalik. Memamerkan tubuh sempurna berotot, bidang, dan kotak-kotak itu.

Sial!

Kenapa kamu bukan pemuda kampung kurus yang kurang gizi, sih Mas?

"Kemarin juga saya perhatiin rumputnya udah mulai panjang," kataku. Cukup membual, karena aku baru kepikiran rumput itu panjang gara-gara Dian barusan memotongnya.

"Karena musim hujan mereun, nya. Jadi rumputnya cepat tumbuh." Dian menepi mendekati gedung, meletakkan mesin pemangkas rumputnya di paving block pendek samping tembok.

KerkhovenWhere stories live. Discover now