2 | After deliverance

379 55 139
                                    


Derap langkah sepasang heels hitam dengan tinggi beberapa inci yang seakan tengah mengabsen setiap ubin di lorong kantor Kejaksaan itu, terdengar perlahan mendekat ke arah ruangan seseorang. Ryu mengumpulkan atensinya penuh saat mendengar ketukan pintu itu beberapa kali. Mengeryitkan dahinya sekilas, dan seolah tak sabar untuk mengetahui siapa gerangan yang menjadi tamunya sepagi ini.

Terperanjat kaget dengan posisi yang nyaris stagnan, Ryu tak pernah menyangka sosok itu akan mendatangi dirinya setelah sekian lama. Ah, itu terlalu berlebihan. Maksudnya setelah dua tahun lebih ini.

Yunhee membuka knop pintu itu dengan lirih dan terdiam beberapa saat. Kemudian menatap Ryu, dan tersenyum tipis nyaris tak terlihat. "Jaksa Ryu, lama tidak bertemu." ucapnya. Oh sial, kalimatnya masih sama. Diam-diam Ryu meneguk salivanya kesusahan. Pesona seorang Bae Yunhee memang tidak main-main walaupun dengan enggan ia mengaku. Suara serak basahnya itu masih terdengar seksi di rungu Ryu.

Wanita Bae hanya bersandar pada ambang pintu, dan melipat kedua tangannya hingga dada. Belum membuka suaranya kembali, pemilik surai hitam sedikit bergelombang yang tergerai panjang hingga menutupi punggung itu hanya memandang Ryu dengan tajam dan lekat dari atas hingga bawah. Semuanya seakan tak terlewatkan. Dan dengan tidak tahu malunya, Ryu memang semakin tampan hari demi hari.

Merasa keadaan perlahan canggung dan dengan tiba-tiba muncul sebuah niat untuk menyapa tamunya pun tak membiarkannya berdiri begitu saja, maka Ryu memilih untuk bangkit dari duduknya dan mulai menghampiri Yunhee. "Oh, Hee-ya. Aku tidak menyangka kau akan datang ke kantorku sepagi ini." ujarnya sambil memberikan gestur tubuh yang seolah mempersilahkan Yunhee untuk duduk di kursi dekat meja kerjanya.

"Terlalu pagi, ya?" tanya  Yunhee singkat setelah duduk dan menyilangkan sebelah kakinya. Kemudian menatap Ryu kembali dengan alis yang naik sebelah dan menampilkan air muka mengintimidasi. "Lalu kau inginnya aku datangi kapan? malam hari, mau?"

Ryu terkekeh singkat, hingga tak sadar memainkan lidahnya dari balik rahang tegas itu sebelum berkata. "Kau memang tak pernah berubah, Hee-ya." Sejemang kemudian Ryu memilih duduk di pinggiran sisi meja kerjanya dan membawa pandangannya kembali ke satu-satunya objek yang menariknya begitu dalam—tentu saja Yunhee.

Yunhee masih dengan kegiatannya—mengamati kutek biru tuanya di jemari lentik itu. Sepersekon setelahnya ia mendongak dan menatap Ryu singkat dengan wajah datarnya. "Kenapa harus berubah, ini adalah sifat dan karakter asliku."

Ryu mengangguk, sebelum menyambar cangkir kopinya di sebelah kanan tumpukan dokumen yang sudah datang pagi ini. Meminumnya dengan tenang hingga beberapa teguk, sebelum mengangguk. "Aku tahu. Aku memahami sifatmu lebih dari yang kau tahu. Bahkan sejak kita masih berteman di bangku kuliah."

"Oh benarkah?"

"Memahamiku, ya?" tanyanya lagi sambil menunjukkan ekspresi yang sulit dipahami. Ekspresinya seperti tengah meremehkan dan juga angkuh dalam satu waktu. Pun seakan sangat tak percaya dan mencoba menyangkal kalimat Ryu barusan.

Yunhee hanya menangkup salah satu sisi pipinya dengan sebelah tangan—bermodal siku tangan yang berpangku pada paha kanannya, lantas terkekeh hingga deretan gigi putihnya terlihat. "Hentikan kalimat aku memahami sifatmu lebih dari yang kau tahu. Itu terdengar sangat menggelikan, Ryu."

Menurut seorang Yunhee, hidup itu berpikir tentang yang realistis saja, tidak usah terlalu membawa hal-hal yang punya makna hiperbola yang seakan ingin memuji begitu banyak, tetapi bagaimana jadinya jika kalimat itu malah jadi hal yang memuakkan bukan main. Iya, Yunhee muak dengan kalimat itu. Selama dua puluh delapan tahun ia hidup di dunia yang keras dan kejam ini—kedua rungunya seolah sudah bosan mendengar semua kalimat itu.

The lethe ✔️Where stories live. Discover now