"Dia masuk engga rumah lu?" Kirana melihat lurus Eza. "Dia kenalan sama keluarga lu kan?"

Dari mana ka Eza tau? -Kirana

Kirana membenarkan posisi duduk sedikit menghadapnya. "Tau dari mana?" Tanya Kirana serius.

"Yes, gua berhasil," Eza meninju udara.

"Berhasil apa?"

"Dengerin gua," Eza tidak menjawab pertanyaan Kirana. "Kalau Adrian minta lu buat nemenin dia ngebasket, abis itu dia ngajak jalan, lu harus terima," Eza menatap serius. Kirana mengerutkan alisnya.

"Maksudnya?"

"Gua bakal jelasin alasannya kalau dia udah ngajak lo, dan lo harus terima itu, harus," Eza menekan kata-katanya.

"Kalau gue engga mau gimana?" Kirana menatap sok.

"Ya.. terpaksa gua harus bilang ke satu sekolah kalo lo pernah nge-date sama Adam pas rapat OSIS," mata Kirana melotot, dari mana lelaki ini tau? Sudah dapat dipastikan pasti ini kerjaan Ketua OSIS menyebalkan itu, padahal ia sudah berjanji untuk tidak bilang kesiapapun. Dasar penipu.

"Kurang ngajar ketua OSIS goblok," Kirana berapi-api. Eza tertawa dalam hati.

Sebenarnya waktu itu Adrian tidak ingin bilang, tapi Eza mendesak bertanya kenapa tiba-tiba memindahkan tempat rapat, pasti ada sesuatu, dan benar saja bukan? Kecurigaan Eza tidak pernah keliru.

"Mulutnya mesti gua sumpel pake gitar Roma Irama,"

"Dan gua juga akan bilang kalau lo pernah sengaja kabur dari rapat pertama karena mau menghindari Adrian," Eza menatap Kirana menang.

---

"Kirana," Wanita itu menoleh, Adrian. Seseorang yang sangat ia kutuk hari ini. "Ada apa? Ada yang salah?" Adrian menatap aneh. Kirana menggeleng malas.

"Kenapa?" Tanya Kirana. Di ruangan itu sedang banyak orang, tidak mungkin Kirana meninju Adrian ditengah kerumunan ini, ada juga namanya akan semakin hina.

"Surat buat kepala sekolah udah?"

"Udah, tapi belum di print," kata perempuan itu tanpa menatap.

"Kenapa?" Tanya Adrian.

"Kertasnya abis,"

"Kenapa engga bilang?"

Lo pikir gua tukang fotokopi yang bisa me-refil kertas seenak jidat? -Kirana

Adrian mencari seseorang. "Naya," panggil ketua OSIS itu. Naya menoleh.

"Iya ka?"

"Minta duit buat beli kertas," Naya mengangguk lalu mengambil dari balik sakunya.

"Cukup engga?" Tanya Naya.

"Cukup,"

"Tunggu," kata Naya. Adrian menoleh kembali.

"Ka Adrian yang beli?" Tanya Naya ragu. Adrian mengangguk. "Gua suruh yang lain aja, jangan ka Adrian," kata Naya.

"Engga papa gua aja, yang lain pada sibuk," Adrian melihat sekeliling yang sedang serius mengerjakan jobdesk-nya.

"Seriusan? Gua suruh Exel aja deh," Naya tidak enak, masa ketua OSIS yang membelikan.

"Gua sama Kirana kalau gitu yang beli," Kirana memperhatikan kedua orang itu. Adrian mendekat.

"Ayo," Adrian menatap Kirana.

"Kayaknya gua engga bisa nemenin, gua mesti lanjutin kerjaan, ini belum selesai," Kirana menolak, tentu saja, ia tidak bisa harus berduaan dengan lelaki yang sangat ingin dia tanam otaknya itu.

Adrian menatap Kirana, mendekat, kepalanya sedikit maju tanpa memutuskan pandangannya.

"Sepuluh hari kita belum selesai," katanya setengah berbisik, disudahi oleh senyuman hangat, yang amat sangat ingin Kirana Tarik mulutnya lalu ia injak-injak ke tanah.

"Let's go," dengan terpaksa Kirana berdiri lalu mengekori.

Mata Adrian berkeliling. "Hilmi," panggil Adrian. Adrian berjalan mendekat.

"Pinjem motor dong," Hilmi mengeluarkan kunci di balik saku celana.

"Mau kemana?" Matanya melirik wanita yang dibelakang Adrian.

"Mau beli kertas," Adrian menerima benda itu.

"Kenapa engga nyuruh yang lain?" Tanya Hilmi.

"Lagi pada sibuk, gua pinjem ya," Adrian pergi diiringi Kirana.

Hilmi melihat kedua orang itu sampai menghilang. Adrian, dengan Kirana? Ada apa dengan mereka?

---

Matanya berkeliling mencari. "Mana ya motornya?"

Kirana menunjuk. "Itu,"

Adrian melihat ke titik itu lalu menghampiri.

"Ko lu tau motornya Hilmi?" Kirana menoleh. "Engga usah dijawab, gua tau jawabannya,"

Tidak hanya Adrian yang bermulut besar, tapi seluruh laki-laki SMA Samudera pun sama.

"Ayo," Adrian sudah rapih dengan posisi nya.

Kirana menatap seluruh body kendaraan itu. Motor Hilmi ini besar, CBR, tau sendiri seberapa sulit memposisikan diri di kursi belakang pengendara. Untuk dapat meraih posisi duduknya pun harus meminta bantuan seseorang yang didepannya.

Pandangan Kirana meneliti. Bagaimana cara supaya ia bisa mendarat dengan cara yang aman tanpa harus menyentuh.

Adrian melirik, bisa membaca pikiran Kirana.

Tektek..

Tangannya menepuk pundak. "Cara naiknya pegangan sini, terus lompat,"

Kirana diam sebentar. Haruskah sejauh itu?

"Cepet," kata Adrian lebih menekan.

Dengan terpaksa, Kirana mendekat, meletakan tangannya ke pundak Adrian, kemudian melompat. Ng, nurut sekali, tumben.

Tangan Kirana menarik rok-nya yang melebar diatas paha, ia berusaha untuk menutupi, dari ujung mata Adrian menyadari, ia membiarkan Kirana tanpa melihat gerak tangan Kirana.

"Udah?" Tanya Adrian.

"Udah,"

Adrian belum meng-gas juga. Kirana menatap kepala lelaki itu. Apa yang kurang? Sepertinya sudah benar semua.

"Ko engga jalan?" tanya Kirana bingung. Ada satu yang belum.

"Ini mau jalan," tapi tangan Adrian belum ada tanda-tanda ingin memegang stang kemudi.

"Terus?" Adrian melihat ke bawah.

Oh... Kirana mengerti. Maksud Adrian, pegangan pinggang?

Kendaraan Hilmi ini cukup gede, jadi seseorang yang dibonceng harus menumpu ke seseorang yang didepannya. Gitu kan konsepnya?

Perlahan kedua tangan Kirana terulur, memegang pinggang Adrian.

"Maksudnya gini?" senyum Adrian mengembang, untung saja lelaki itu menghadap membelakangi, jadi Kirana tidak bisa melihat ekpresi wajah merah tomat Adrian.

Dan akhirnya Adrian menancap gas, setelah kepekaan Kirana mode-on.

---

KIRANA (COMPLETED)Where stories live. Discover now