2. DUNIA KALE

Magsimula sa umpisa
                                    

"Gue pengen bebas, Le, selagi masih bisa melihat dunia," kata Aluna di pesta ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Waktu itu gue iseng saja menanyakan bagaimana kalau suatu saat dia tiba-tiba dijodohkan. Sebelumnya gue pernah mendengar omongan Papa dengan seseorang di telepon di ruang kerjanya tentang perjodohan, membuat gue semakin tak betah di rumah.

Gue membunyikan klakson beberapa kali tepat di depan Aluna karena cewek itu tampaknya menggunakan volume penuh untuk mendengarkan lagu dari ponsel. Gue menggelengkan kepala, heran dengan Aluna. Bisa-bisanya setelah menghilang dua hari tanpa kabar, tiba-tiba sudah di sini, bersandar di tiang parkiran dan menunggunya. Tetapi pada akhirnya tadi malam Aluna membalas belasan chat WhatsApp, membuat gue lega.

Gue lepas headset Aluna usai memarkirkan motor. "Selamat pagi, Na," sapa gue. "Long time no see."

"Lebay lo. Bilang aja kangen sama gue!" Aluna mulai melangkah menuju gerbang sekolah.

"Eh, Venya mana ya?" tanya gue. Pandangan gue tertuju pada kelas 11 IIS D di lantai dua.

"Yeuu... tadi malam nyari-nyariin gue, tapi sekarang yang dicariin malah yang lain," gerutunya. "Lagian juga mana gue tahu. Lo kan yang suka sama dia, harusnya lo tahu jadwal-jadwalnya dong." 

Dari arah tangga, gue menangkap sosok yang tadi gue cari. "Lo ke kelas duluan, Na. gue mau ketemu Venya." Setelah berkata demikian, aku pun berlari menghampiri cewek berambut panjang kecokelatan itu. "Eh, Venya. Baru aja diomongin. Panjang umur berarti."

"Hai, Kale." Venya menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Pipinya memerah karena tersipu malu. Cantik banget, Tuhan!

"Nya, temenin gue makan yuk! Belum sarapan, nih."

Venya mengangguk, lalu kami langsung berjalan bersisian. Enggak lupa lupa gue menyampaikan niat untuk mengajaknya jalan sepulang sekolah nanti. Tetapi sebelumnya  gue berbasa-basi dulu.

"Nya, gue punya tebak-tebakan. Jawab, ya."

"Emangnya lo mau kasih gue apa kalo bisa jawab?"

"Ng..., gue mau ngajak lo jalan, gimana?"

"Okay. Tapi jangan yang susah-susah, ya. Nanti gue malah enggak diajak jalan sama lo."

Gue mengangguk-angguk. "Gampang, kok. Siap, ya! Nih, negara, negara apa yang hilang?"

Venya mengernyit. "Hah? Emang ada yang hilang? Kok gue enggak tahu?"

"Serius amat, Nya." Gue terkekeh.

"Ih, malah diketawain." Venya duduk di salah satu kursi di meja terdekat. Gue pun ikut duduk di sampingnya. "Serius, Le, emang ada?"

"Kan ada." Gue tergelak lagi sampai perut gue sakit sendiri.

Venya mendengkus. "Jawabannya apa, Kale? jangan bikin orang bete deh." Dia melipat tangannya di atas meja.

"Ya itu jawabannya, KAN-ADA." Gue kembali tertawa, sedangkan Venya melayangkan tatapan geram. Tetapi suara tawa itu lenyap ketika ponsel gue bergetar. Mama menelepon. "Bentar ya, Nya. Nyokap nelpon."

"Oh, silakan."

Gue beranjak dari kantin dan berjalan agak jauh, lalu dengan malas gue mengangkatnya, "Iya, Ma. Kenapa?"

"Kale, dengerin Mama."

"Aduh, apaan lagi sih, Ma? Udah mau masuk, nih."

"Kamu harus nerima perjodohan ini."

"Untuk apa, Ma?" Gue benar-benar jengah dengan masalah ini.

"Ini semua demi masa depan kamu, Kale."

SORRY [slow update]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon