Chapter 3

417 69 17
                                    

“Huft,” Aku mengelap keringatku yang bercucuran dengan handuk kecil yang kubawa dari rumah, untung saja mom mengingatkanku tadi.

Pintu ruang ganti terbuka sedikit, aku melirik jam tangan yang terpasang di tangan kiriku, jam enam lewat sepuluh menit tertunjuk di sana, kenapa masih ada orang?

Kumasuki ruangan itu perlahan, eh?

“Kak Caroline?” Sapaku, bukan, sih, lebih tertuju untuk terkejutnya aku.

“Briana, ada apa?” Tanyanya dengan suara yang masih sama; menenangkan.

“Ada yang ketinggalan.” Jawabku singkat,

“Ternyata kakak masih di sini, ya” Sambungku lagi, lalu duduk di sampingnya.

Aku menyampingkan badanku agar bisa melihat wajah Caroline dengan jelas, “Kenapa kakak nolak Luke?”

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih keras, kenapa aku menanyakan hal ini, sih!

“Dia orang baik, Briana suka Luke, ya? Aku mau kami tetap bersahabat, makanya tenang aja, karena aku nggak bakal pacaran sama Luke” Jelasnya, diakhiri dengan senyuman tulusnya.

Aku mengangguk senang, lalu beranjak menuju loker, mengambil sepatu olahragaku, “Duluan, ya, Kak!” Seruku yang dibalas dengan anggukan darinya.

Sahabat, berat ya. Tapi berati, bagi Caroline, Luke adalah orang yang istimewa..

---

“Kenyangnya!” Rasanya semangatku semakin bertambah karena makan siang hari ini, ah, puas sekali!

Aku berjalan kecil ke arah lapangan, sekedar untuk menyegarkan mata. Dan, ha.

“Luke juga latihan pas istirahat makan siang, ya!” Seruku di balik besi tinggi yang menjulang, pembatas antara lapangan dan jalan lewat untuk anak-anak lain.

“Udah mak-“

“Kau tau? Ada gosip tentang Caroline! Lagi-lagi tadi pagi dia pergi ke sekolah sama cowok yang berbeda!” Pertanyaanku terputus karena mendengar pernyataan dari dua seniorku yang lain-terlihat dari warna seragamnya yang berbeda denganku.

“Bohong! Jadi yang mana yang dia suka?!” Tanya gadis lain dengan cekikan, aku menatap Luke, pandangannya kosong ke depan, kuyakin dia kecewa.

“Dia mau memiliki semuanya mungkin!”

“Wah, aku jadi iri!”

Duk!

Luke menjatuhkan bola basketnya, “Sampai sekarangpun Luke masih suka sama Caroline, kan?”

“Nggak juga. Lagipula aku sudah ditolak.” Jawabnya,

“Bohong!”

“Aku nggak bohong!”

“Kau keras kepala.”

Luke menoleh, “Bodoh!” Serunya,

“Sakit jiwa!” Balasku,

“Nggak punya otak!”

“Nggak punya perasaan!”

“Ah!”

“Jadi kau masih menyukainya?”

Luke duduk di pinggir lapangan, membuatku masuk ke lapangan dan mengikutinya, “Suka pun percuma,” Katanya lagi,

“Itu ngga-“

“Kau juga,”

“Berhentilah mengejarku.” Luke menatapku dengan tatapan kosong itu lagi, membuat jantungku berdetak tak karuan. Dia lalu beranjak, dan meninggalkanku sendiri.

Seberapapun Luke bersikap cuek, sebenarnya dia sedang menatap Caroline, duh, aku jadi teringat yang dikatakannya tadi, aku nggak bakal pacaran sama Luke. Dipikirkan seperti apapun, perasaanku dan Luke sama-sama tidak sampai.

Tapi Luke, jangan pasang wajah begitu, aku tidak mau melihat wajah sedihmu.

“Luke!” Seruku, membuat Luke yang hampir meninggalkan lapangan berhenti bergerak.

Aku tersenyum puas, “Mau bertaruh?”

Game Over | hemmingsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora