10th.

724 106 84
                                    

Seokjin tidak tahu bagaimana ceritanya sampai terbangun di atas ranjang sendiri. Terakhir yang dia ingat, dirinya diangkat terbang oleh Namjoon dan ... dia lupa.

Saat bangun, tubuhnya lemas, tapi tidak merasa sakit lagi. Hanya, sisi kiri wajahnya terasa terbakar, tapi masih bisa ditolerir. Pakaian semalam belum lepas darinya. Berarti Namjoon hanya membaringkan dan membiarkannya. Setelah mengganti baju dan sedikit cuci muka, Seokjin keluar. Dia melirik jam dan langsung sadar sudah terlambat untuk pergi bekerja.

" ... pakai mulut kecil itu dengan baik. Satu-satu, eit! Jangan rakus kamu." Namjoon terdengar berbicara ke telapak tangannya, membelakangi Seokjin tepat di depan mesin pembuat kopi di dapur.

"Namjoon?"

Yang dipanggil langsung berpaling dan menghampiri, makhluk di tangan melompat jauh sampai mendarat ke kepala Seokjin dan mendengkur lucu. Rasa dingin menyenangkan terasa meluber di kepalanya, tapi dibiarkan saja.

"Sweetie, kamu oke? Bagaimana rasanya sekarang?" Namjoon menyentuh sisi wajah Seokjin, menatap khawatir, "apakah masih ada yang sakit atau nyeri atau apa pun? Katakan padaku."

Seokjin bimbang sebaiknya mengatakan rasa panas di wajah kirinya atau tidak, tapi akhirnya diam saja. Tidak mau sampai Namjoon menganggapnya lemah atau manja.

"Aku baik. Kau dari tadi di sini? Sudah makan? Um, aku terlambat. Kau ...."

Namjoon menggeleng. "Nope, nope. Kamu tidak perlu pergi bekerja hari ini. Pulihkan dulu keadaanmu, ya? Aku sudah berbicara dengan Becca," ujarnya, memapah Seokjin pelan ke ruang tamu yang ternyata ada sepasang kursi bantal empuk di sana. Masing-masing berwarna biru dan merah muda pastel. Seokjin bingung. Apalagi di bawahnya, terbentang karpet bulu yang lembut dan nyaman. Meja lipatnya lebih besar dan bagus, terbuat dari kayu. Ada dua pot kaktus mini di atasnya.

"Namjoon? I-ini ... oh, Lord! Apa yang kau lakukan dengan dapurku?" Seokjin terkesiap oleh jejeran makanan siap saji, rak piring mini, gelas, dan alat makan lain yang tertata apik. Dia baru sadar isi flat yang nyaris kosong itu, lebih berwarna dan hidup lagi. "Namjoon?"

Yang ditanya duduk ke sebelahnya. Tersenyum ramah. "Ini hanya hal kecil. Hitung-hitung sebagai penebus keterlambatanku menyelamatkanmu kemarin. Maaf, ya? Kamu ...."

Seokjin menggeleng. "Tidak, Namjoon. Maksudku, aku, semua ini, kau melakukan sihir sesukamu lagi?"

Namjoon mendengkus. "Tunggu, sebelum itu, aku sudah membuatkanmu cokelat hangat. Baik untuk mengembalikan tenaga. Sebentar, ya?" Kemudian dia pergi ke dapur. Saat kembali ada dua cangkir minuman mengepul pelan, disodorkan ke Seokjin salah satunya, dan lainnya diseruput sendiri. "Tidak ada sihir, sweetie."

"Jadi, kau membelinya? Untuk apa?"

Namjoon meletakkan cangkirnya ke meja,  lalu duduk menghadap Seokjin. "Supaya saat kita menghabiskan waktu dengan mengobrol lagi, semua lebih nyaman."

"Jadi, maksudmu yang sebelum-sebelumnya tidak?"

"Bukan. Aku tidak masalah bagaimana keadaannya. Kamu yang kupikirkan. Setelah lelah bekerja, kamu bahkan tidak bisa duduk dengan nyaman. Itu mengangguku."

"Biasanya aku langsung bebersih dan tidur. Sejak ada dirimu saja aku jadi suka di luar. Lagipula, aku sudah biasa melantai."

"Sekarang tidak lagi. Lebih enak begini, 'kan?"

"Kau membeli ini semua?" Namjoon mengangguk lagi. "Pakai ...." Seokjin tidak pernah melihatnya mengeluarkan uang. Seluruh kopi yang diminumnya di cafe itu, gratis, jadi tentu saja dia bertanya.

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang