4th.

724 115 27
                                    

Dan, ternyata biasa saja. Ujung-ujungnya Seokjin dan Namjoon hanya terduduk saling tatap di ruang tamu. Di lantai. Karena perabot di dalamnya sudah dijual Seokjin sebulan lalu.

Mereka sama-sama mengesampingkan pengungkapan isi hati dan lebih terfokus pada masalah pelik Seokjin. Cenderung Namjoon faktornya. Seokjin tidak mau bercerita soal aib dan kecerobohannya, tetapi kedua mata indah Namjoon memelas, atau sesuatu seperti itu dan Seokjin tidak tahan untuk menghiraukan.

"Aku datang ke kota ini bermodal beasiswa dan uang sedikit. Aku kabur. Karena toh, keluargaku tidak menginginkanku di sana karena terlalu malu soal ... keanehanku."

"Apa itu?"

Seokjin tengadah. "Aku menyukai laki-laki."

Namjoon bersandar lebih nyaman di seberangnya. Melipat lengan, memamerkan otot-otot bagus itu dan melipat satu lutut. Tersenyum seolah sudah tahu dan tidak menganggapnya sesuatu yang perlu dipusingkan.

"Di negaraku, itu tabu."

"Kita pernah dari negara yang sama kalau begitu."

Seokjin lupa. Mereka satu negara, hanya berbeda kota dan mungkin jalan kehidupan. Seokjin bodoh, makinya dalam hati.

"Lalu? Mereka benar-benar tidak mencegah atau mencarimu?"

"Tidak. Mereka punya anak yang lebih baik dan menjanjikan masa depan."

"Kakak? Adik?"

" ... kakak."

"Rebel, i like it." Seokjin mengernyit, dia melanjutkan, "sudah berapa lama sejak itu?"

Seokjin terdiam berpikir, sebenarnya tidak ingat pasti. Rasanya sudah sangat lama. "Dua tahun, mungkin."

"Lalu?"

"Awal-awal hidup di sini, sangat sulit, tentu saja. Untung kemampuan berkomunikasiku baik. Aku bisa tinggal di asrama kampus beberapa bulan sampai harus kesulitan makan karena belum punya penghasilan memadai. Dari melamar jadi pelayan resto cepat saji, pembagi flyer, pencuci mobil, juga pengantar koran. Aku menghemat sebisanya, bahkan hanya makan sehari sekali kalau perlu. Namun, ternyata semua itu malah mengacaukan jadwal kuliah dan nilaiku turun. Terpaksa, aku merelakan beberapa dari itu demi memperbaiki nilai dan tetap memiliki beasiswa. Di tengah jatuh bangun itulah, aku bertemu dengannya."

Namjoon belum bergerak di posisinya. Seokjin memeluk lutut, merasakan punggungnya dingin karena dinding di belakang terlalu lekat. Dia yang sengaja menekan, seolah ingin melesak ke dalamnya dan hilang dan tidak perlu menceritakan apa pun.

Namun, Seokjin sudah janji. Dia ingin berubah. Mulai memercayai orang lain, dan pilihannya jatuh pada Namjoon.

"Aku tidak sengaja menumpahkan kopinya ke laporan neraca yang tengah dia baca. Dengan panik kukatakan, aku bisa membuat kembali semua itu asal diberikan data mentahnya, dan kulakukan langsung di depan matanya. Siapa sangka dia menyukainya dan tertarik lebih karena neraca yang kubuat lebih ringkas dan mudah dipahami juga dipresentasikan. Keesokan harinya, dia datang ke tempatku berkerja lagi. Dia menawarkanku kelancaran kuliah serta jaminan hidup sehari-hari, jika aku bisa menjadi asisten pribadinya alih-alih merasakan kerja nyata. Aku tentu langsung mengambilnya karena tidak punya pilihan. Keadaan membuatku menerima tanpa memikirkan risiko di kemudian hari. Aku masih terlalu bodoh saat itu.

Awalnya masih wajar. Dia memberikan upah, sesuai dengan apa yang kukerjakan. Dari uang sampai barang. Aku tentu termotivasi dan mengerjakan semua pelaporannya dengan baik. Apalagi karena itu, aku tidak perlu lagi bekerja dan fokus kuliah. Aku juga diberikan apartemen. Bisa kau bayangkan sesinting apa aku saat itu? Dia sungguh memanjakanku. Aku tinggal berkata, esoknya aku mendapatkannya.

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang