1 - Her Savior

6.6K 322 5
                                    

Rose

Kehangatan sang surya meresap menembus kulit wajahku dan membuat kelopak mata ini terpaksa untuk membuka. Mataku yang masih dengan susah payah berusaha untuk membuka lebih dari separuh itu mencoba mengenali keadaan sekeliling.

Jendela kayu dengan kaktus-kaktus kecil yang diletakkan di tepiannya. Sebuah lemari kayu tua dengan ukiran artistik yang diletakkan tepat di sebelah jendela. Sebuah cermin berukuran setengah badan dengan frame yang senada dengan lemari kayu tersebut. Dan sebuah meja kayu di sebelah tempat tidur kayu yang sedang kugunakan, di atasnya terdapat setangkai mawar putih yang berada dalam vas kaca bening.

Aku terkesiap dan terduduk di atas tempat tidur. Tempat tidur kayu itu mengeluarkan bunyi-bunyian yang membuatku yakin kalau benda itu sudah cukup berumur. Sekali lagi aku memperhatikan sekitarku.

Di mana ini?

Aku baru menyadari tubuhku sudah dipenuhi oleh balutan perban. Balutannya sedikit berantakan tapi aku tahu orang yang merawatku ini telah menangani lukaku dengan sungguh-sungguh. Tapi, ada perban di bagian tubuhku yang seharusnya tidak terluka sama sekali

Sebenarnya apa yang terjadi selama aku tidak sadarkan diri?

Pintu kayu yang terletak di pojok ruangan terbuka. Di balik daun pintu itu, terlihat sesosok pria yang memakai pakaian serba hitam. Badannya tinggi dan tegap. Meski pun kurus, lelaki itu memiliki dada yang bidang dan atletis. Kulitnya putih pucat, begitu pucat hingga menyerupai mayat. Rambut cepaknya yang berwarna pirang keemasan terlihat berantakan namun tetap enak dipandang. Parasnya tampan dengan hidung kecil tapi mancung dan matanya berwarna hijau tua bak zamrud yang begitu menawan.

Jantungku berdegup kencang. Otakku seperti mengenal ciri-ciri makhluk yang kini berada tepat di depanku. Namun auranya tak sama dengan buruanku selama ini. Selain itu warna matanya begitu indah, tidak seperti vampir-vampir brengsek itu.

"Wah, sudah bangun rupanya," ucapnya sambil meletakkan kotak obat di atas meja.

Lelaki itu menjulurkan tangannya kepadaku. Sepertinya dia ingin mengganti perban-perban yang melekat di tubuhku. Aku menghindar dan menatapnya tajam.

"Siapa kamu? Di mana ini? Apa maksudmu menyelamatkanku? Tidakkah kamu sadar aku ini siapa?" tanyaku bertubi-tubi dengan nada yang kental dengan rasa curiga.

"Hei, hei apakah begitu caramu berterima kasih pada orang yang telah menyelamatkan dan merawatmu?"

Lelaki itu lalu tersenyum dan mencuri kesempatan untuk melepas perban yang membalut leherku.

"Kamu mau tahu siapa aku?" pria itu menjawab dengan senyum yang membuat tubuhku bergidik. Ada tatapan mengerikan yang terpancar dari matanya. Aku meraba leherku dan terkejut saat menyadari dua luka yang menyerupai lubang akibat gigitan vampir.

"Aku adalah orang yang telah menggigit lehermu yang jenjang itu dan menghisap darah yang keluar dari luka yang terbuka karena gigitan tersebut."

***

Peter

Mata abu-abu gadis itu terbelalak ketika mendengar jawaban yang terlontar dari mulutku. Rahangnya mengeras dan dia terlihat seperti mencoba memasang wajah garang sembari menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh, yang mungkin dia fungsikan sebagai perisai.

Aku hanya bisa terkekeh ketika melihat reaksi gadis dengan rambut ikal berwarna hitam legam itu. Menggemaskan.

"Canda kok, aku cuma bercanda."

Tawaku semakin menjadi saat dia menampakkan ekspresi bingung. Tawaku yang tak kunjung berhenti itu membuat gadis itu memasang wajah sebal yang terlihat dari pandangan mata dan mulutnya yang membentuk kerucut.

"Astaga wajahmu aneh sekali," ucapku di sela tawa, "baiklah akan kujawab pertanyaanmu tadi."

Aku berdehem dan meletakkan kembali perban yang sedari tadi kupegang ke dalam kotak obat.

"Namaku Peter Laroche, aku akan lebih senang jika kau memanggilku Pete. Saat ini kamu sedang berada di kediamanku. Aku menyelamatkanmu karena aku menemukanmu terkapar berlumuran darah di pekarangan rumahku. Boleh aku tahu siapa namamu?"

"Rose Cromwell," balasnya lirih. Terkesan sangat berhati-hati. Ia melanjutkan, "apakah aku bisa mempercayaimu?"

Aku memutar-mutarkan bola mataku beberapa kali sebelum kembali menatap matanya, namun kali ini Rose tidak menghindariku. Dia menatap balik dan terlihat seperti, menikmati. Degup jantungku seakan memberontak ingin keluar dari rongga dadaku, begitu menyesakkan. Ada sensasi yang muncul dari dalam diriku. Sensasi yang sama seperti malam itu.

"Tentu saja," balasku ringan. Sungguh pertanyaan retoris karena semua orang pasti akan menjawab sama denganku.

Ada yang janggal dengan gadis ini.

"Hei Rose, apakah aku sudah boleh untuk mengganti perbanmu?"

Dengan agak canggung Rose menganggukkan kepalanya dan tak perlu menunggu lama, aku sudah mulai melepas perban yang membalut tubuhnya dan menggantinya dengan yang baru.

Di tengah-tengah proses penggantian perban itu dia terlihat mulai memperhatikan sekujur tubuhnya sendiri. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari mata abu-abu gadis yang sedang menelaah setiap senti dari raganya sendiri.

***

Rose

Eh, kenapa aku memakai piyama? Dan lagi kenapa aku tidak mengenakan pakaian dalam?

Aku mencoba mengingat-ingat penampilanku pada malam hari itu--malam di mana buruanku berhasil bersekutu dan berhasil menyerangku. Seharusnya baju yang kukenakan berupa kemeja putih polos tanpa lengan yang dibalut blazer biru tua dengan rok di atas lutut berwarna sama. Seharusnya aku juga memakai kneesocks putih dan sepasang boot bertali yang tingginya tepat di bawah lututku. Bukan piyama biru tua bermotif garis garis vertikal putih yang sangat kebesaran ini.

"Peter..."

Peter yang sedang sibuk mengganti perban di kakiku menoleh karena mendengar namanya dipanggil. Ia menjawab singkat, "ya?"

"Jangan bilang kamu yang mengganti pakaianku?"

Peter terdiam sejenak, dia membuka mulutnya lalu beberapa detik kemudian menutupnya kembali. Dia terlihat seperti sedang menyusun kata-kata.

"Tentu saja. Tidak ada lagi yang bisa menggantikan pakaianmu di sini selain aku."

Aku merasakan wajahku memanas dan ada yang naik ke ubun-ubun. Melihat reaksiku, pria itu berdehem dan melanjutkan kalimatnya.

"Tapi tenang saja, aku tidak melihat ap--"

Belum selesai kalimat itu terlontar dari mulutnya, kepalan tanganku sudah terlebih dahulu menghantam kepalanya.

"DASAR MESUUUUUM!!!!"



The Red MoonWhere stories live. Discover now