Semua masih bisa kukatakan sebagai jalan keluar yang menjanjikan, ketika akhirnya dia menampakkan apa yang selama ini ada di otaknya tiap kali hanya diam melihatku bekerja."

Seokjin merasakan Namjoon bergerak. Pria itu meluruskan cara duduknya. Jadi tegap dan lebih fokus. Tidak mengatakan apa pun. Seokjin menelan ludah.

"Dia tahu soal penyimpangan orientasiku, karena dia pandai bersilat lidah. Selain itu dia memang pendengar yang baik. Aku yang bodoh tentu langsung suka. Dengan mudah, dia menguasaiku. Dalam uang dan setiap barang yang diberikannya, aku semakin diikat, tanpa kusadari."

Seokjin memainkan jemarinya. "Maksudku, aku tidak punya siapa pun di sini. Aku berjuang hidup sendiri dan dia memberikan segala hal yang kubutuhkan. Bagaimana aku bisa menolak? Aku ... tentu saja memberikan semuanya. Selain rasa percaya dan diriku sendiri, aku punya apa?"

Namjoon menurunkan lututnya dan duduk bersila. Seokjin seperti diadili hanya dengan ditatap lurus begitu.

"Sampai, suatu saat kusadari itu semua salah. Dia sudah punya istri dan dua anak di kota sebelah. Ternyata secara bertahap, aku jadi simpanan dan pelampiasan. Kedatangannya di kota ini untuk keperluan bisnis semata. Maka dari itu kami terkadang tidak bertemu selama sebulan, tapi tugas yang diberikannya tetap lancar, begitu pun upah dan hadiah yang kuperoleh. Dan ... saat dia datang, aku ... menghabiskan waktu bersama. Aku tidak punya pilihan. Merasa berhutang dengan semua kenyamanan, yang diberikan, yang berikutnya kusadari itu salah. Aku bekerja untuk itu. Mengerjakan pelaporannya. Tapi, dia selalu punya cara untuk ... kau tahu? Menyentuh. Um. Tidak harus kusebutkan dengan detail, 'kan?"

Namjoon menggeleng ringan. "Tidak perlu. Aku sangat paham apa itu. Lanjutkan saja."

Seokjin merasakan wajahnya panas. Senyum Namjoon memang terukir lugas, tapi perginya secepat munculnya.

"Seleranya, sedikit aneh dan kasar. Aku mencoba memberi tahu, tapi dia akan marah dan semakin kasar. Aku mulai sadar itu tidak benar, dan perlahan melawan." Seokjin mengerjap, bagaimana bisa lupa malam yang sadis itu?

"Puncaknya, aku kabur. Meninggalkan apartemen itu dan syukurlah mendapat flat ini. Dengan sisa tabunganku. Aku masih sesekali kerja sambilan tanpa diketahuinya. Dia mencariku dengan gigih setelahnya sampai akhirnya ditemukan, aku mengembalikan apa pun darinya yang masih melekat di badanku. Aku mengusirnya sekuat aku bisa, dengan cara apa pun setiap hari. Sampai suatu saat aku dibantu Hoba dan Ma'am. Yang kebetulan lewat dan menyaksikanku tarik ulur dengan dia. Karena menemukan orang satu negara, aku langsung ikut tanpa ragu dengan Hoba. Mulai dari sana, pelan-pelan aku memperbaiki diri yang berantakan, dan sekali lagi untungnya dia dipindah kembali ke kotanya.

Tentu saja aku tetap harus mengembalikan semua uang yang diberi. Apalagi dia dengan sombong berkata, aku tidak akan bertahan tanpa dirinya. Itu kujadikan motivasi. Sampai sekarang, aku tetap pada pendirian dan terus berusaha melunasi semua uang sialan itu. Biaya kuliahku sungguh tinggi sayangnya, dan dia melunasinya sampai selesai. Sungguh pintar."

Namjoon menurunkan lengan, meremas-remas pergelangan kakinya sendiri. Seokjin lebih tenang setelah melewati bagian paling memalukan tadi.

"Ma'am dan Hoba sangat baik, tapi aku tidak bisa melibatkan mereka lebih dari sekadar menolongku. Aku tidak ingin mereka direpotkan lebih dari yang seharusnya. Dan, sekarang, termasuk dirimu, Namjoon."

"Aku kenapa?"

"Atas bantuanmu tadi pagi, terima kasih, tapi cukup di sana saja. Aku ...."

"Bukankah kamu mau kita lebih dari teman?"

Seokjin terdiam.

"Kamu sudah sangat luar biasa terbuka seperti ini padaku, dan aku menolak hanya menganggap ini pep talk tidak berguna."

The Only Drugs That Allow | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang