Menurutku lebih baik fokus pada nilai sejarahnya daripada berdebat soal nama. Seperti kata William Shakespeare, pujangga besar asal Inggris yaitu apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi. Tapi memang harus diakui bahwa berdebat tentang suatu masalah dari yang sifatnya ringan hingga berat adalah salah satu hobby orang Indonesia, termasuk aku sepertinya.

Sebenarnya di dalam kompleks tersebut didapatkan tujuh buah bangunan candi yang sudah runtuh dan banyak arca berserakan disana - sini. Salah satu dari tujuh candi yang dapat diselamatkan dari kemusnahan adalah candi yang sekarang kita sebut Candi Singosari. Sayangnya arca - arcanya banyak yang dibawa ke Belanda, sedangkan arca - arca yang berada di halaman Candi Singosari saat ini berasal dari candi - candi yang sudah musnah itu.

Kembali ke masalah genting yang aku alami sekarang yaitu intinya aku benar - benar tidak punya gambaran pasti keadaan daerah di balik tembok istana ini. Apalagi tidak ada google map yang dapat dimintai tolong. Parahnya lagi aku tidak memiliki sepeserpun uang, lalu dengan apa aku bisa hidup?

Tidak ada tempat tujuan √

Tidak ada saudara atau kenalan √

Tidak punya uang √

Lengkap sudah syarat - syarat untuk menjadi gelandangan di Tumapel. Padahal di masa depan saja, saat tua nanti hidupku ditanggung pemerintah dalam bentuk dana pensiun. Ingat juga bahwa aku ini adalah anak satu - satunya yang tentu akan mewarisi kekayaan orang tuaku yang tidak sedikit itu. Mirisnya, kehidupan masa depan dengan kehidupan masa lalu yang aku alami ini berbanding terbalik bagai bumi dan langit.

Aku kadang terpikir mungkin seharusnya aku melakukan perjalanan ke Jakarta tepatnya ke kawasan Museum Gajah dan di sana aku akan menjatuhkan diri atau membenturkan kepalaku, siapa tahu aku bisa kembali ke masa depan. Hal itu karena aku yakin bahwa diriku ini tidak melewati pintu ajaib sehingga bisa terdampar di Tumapel seperti sekarang. Namun bahkan dalam pikirankupun itu nampak sebagai usaha yang terdengar tidak hanya bodoh tetapi tolol.

Bayangkan, aku kini berada di daerah sekitar Kota Malang, Jawa timur. Jangankan pesawat, sepeda saja belum ada. Lalu bagaimana aku bisa sampai ke Jakarta? Tidak mungkin juga aku menghentikan seseorang yang sedang berkuda di tengah jalan dan ikut numpang hingga Jakarta. Selain nampaknya sulit diizinkan, tetapi kemungkinan paling parah yaitu siapa tahu orang itu malah penjahat? Jika itu benar maka sudah dipastikan aku bukannya diantar ke Jakarta tetapi malah ke alam baka. Syukur - syukur aku langsung dibunuh, bagaimana jika aku diperkosa dulu sebelum dibunuh?... Ngeri pake bangeeet guys...

Pilihan terakhir tentu berjalan kaki, tetapi Memikirkannya saja membuatku lebih merinding. Jujur, aku tak tahu berapa tepatnya jarak dari Malang ke Jakarta? Jika ingat peta Pulau Jawa sepertinya jaraknya amat sangat... sangat... sangat jauuuuuh. Jangan - jangan lebih jauh daripada jika aku berjalan berkeliling Negara Singapura.

Masih ingat tentang proyek infrastruktur yang nanti dibangun pada masa Kolonial Hindia - Belanda pada sekitar tahun 1808. Proyek 'gila' tetapi sangat bermanfaat bagi manusia di masa depan yaitu Jalan Anyer - Panarukan yang nama sebenarnya adalah Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg.

Kebijakan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Gila karena dengan sumber daya maupun peralatan yang terbatas ingin diciptakan jalan sepanjang kurang lebih 1.000 km yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Gilanya lagi, hal itu berhasil dilakukan dalam waktu sekitar setahun katanya karena jalan tersebut sudah mulai digunakan pada tahun 1809. Tentu hasilnya banyak nyawa yang menjadi korban karena pemberlakuan kerja rodi itu.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant