Sekali lagi

Mulai dari awal
                                    

"Halo, Daniel."

Merasa terpanggil, Daniel langsung menoleh. "Eh, halo, Om."

"Masih siang kok udah di sini? Masih pakai seragam lagi. Kamu bolos?"

"Enggak, Om, sumpah! Tadi sakit perut makanya pulang cepat."

"Sakit perut apa sakit perut?"

"Seriusan sakit perut, Om. Saya, tuh, kalau maag udah kambuh suka lebay, berasa mau mati Om. Makanya izin pulang cepat."

Damian tertawa, sebelah tangannya terangkat mengusap puncak kepala Daniel. "Makanya jangan suka telat makan. Harus bisa atur waktu. Kapan waktunya belajar, main, makan, dan istirahat," ujarnya kemudian. "Om enggak bisa jagain Awang, makanya Awang sampai sakit. Jadi, kamu harus pintar-pintar jaga diri, ya. Jangan sampai sakit."

Dewangga merasa bersalah mendengar ucapan papinya. Andai saja ia tidak sakit, mungkin sang papi tidak akan sesedih ini. "Pi, aku sakit bukan karena Papi. Ini emang udah takdir aku. Aku harus terima, 'kan?"

"Tapi, kalau Papi sama Mami enggak memaksakan kehendak dan menuntut kamu menjadi apa yang kami mau, mungkin kamu enggak akan seperti ini, Nak."

"Semua yang aku lakukan bukan karena tuntutan Papi sama Mami, tapi baktiku sebagai seorang anak. Jadi, jangan pernah merasa bersalah atas apa yang terjadi sama aku, Pi. Papi sama Mami cuma perlu nemenin aku sekarang karena aku butuh kalian di samping aku. Aku mau sembuh kok, Pi. Aku mau berjuang sekali lagi."

"Ini baru jagoan Papi. Semangat, ya, Nak. Hasil tes kamu bagus, jadi kemungkinan dalam waktu dekat ini terapinya bisa dijadwalkan."

Daniel mematri senyum. Sakitnya tadi mendadak lenyap mendengar kalimat itu terucap dari bibir Dewangga langsung. Lega sekali rasanya karena pada akhirnya Dewangga mau berjuang, tak langsung menyerah menunggu kematian.

"Daniel udah makan?"

"Belum, Om."

"Makan dulu, ya. Biar Om titip sama mamanya Awang. Kebetulan lagi di kantin."

"Nanti aja, Om. Belum enak perutnya. Saya juga cuma mampir sebentar, kok, mastiin Awang enggak tidur terus."

Lagi, Damian tersenyum. Ia tak lupa bagaimana anak itu berulang kali menghubunginya untuk sekadar menanyakan kondisi Dewangga. "Ya udah, kamu pulang dulu sekarang dan langsung istirahat. Kalau enggak sibuk, Om pasti kabarin kamu terus kok. Jangan khawatir."

"Iya, Om. Makasih, ya," sahut Daniel. Lelaki itu kemudian melirik Dewangga, lantas berkata, "Wang, gue balik dulu, ya."

"Iya hati-hati."

***

Pulang dari rumah sakit tadi Daniel benar-benar langsung tidur. Ia malas melakukan apa pun, bahkan sekadar makan  siang. Nafsu makannya juga belum kembali. Padahal, sang bunda sudah berulang kali memintanya makan. Entahlah, ia merasa begitu berantakan. Perasaannya juga masih tak bisa didefinisikan setelah mendengar kebenaran kondisi Dewangga tempo hari.

"Daniel, Awang sakit. Kanker darah. Tadinya Awang mau berobat, asal Om enggak bilang ke kamu sama Hyena soal penyakitnya, tapi Om tahu Awang kesepian. Jadi, kalau enggak keberatan ... Om minta kalian temenin Awang, ya."

Kalimat tersebut serupa guntur di siang bolong. Meskipun menaruh curiga sejak lama, hal itu tetap menjadi kabar yang paling tidak ingin Daniel dengar.

"Wang ...." Pemuda itu mengigau dalam tidurnya.

Sang bunda yang sejak tadi duduk di sebelahnya, turut terluka menyaksikan hal itu. Jika apa yang terjadi sedemikian besar dampaknya pada Daniel berarti seorang Dewangga memang sebesar itu pula peran dan pengaruhnya di hidup Daniel.

Sejak pulang tadi Daniel demam, terhitung dua kali juga anak itu muntah. Fara bingung harus bagaimana karena Daniel menolak makan, minum obat, apalagi ke dokter.

"Nak, bangun dulu, yuk," ujarnya pelan sembari menepuk pelan pipi putranya.

Daniel menggeliat, tetapi masih tampak enggan bangkit dari tidurnya.

"Hei, udah sore lho. Kamu harus makan."

Ucapan sang bunda berhasil membuat Daniel membuka mata. "Bunda."

"Iya, Nak?"

"Awang janji mau berjuang sekali lagi."

Sedari tadi hanya kalimat itu yang Fara dengar setiap kali membuka mata. "Iya. Awang, kan, anak hebat. Jangankan sekali. Dia bisa dan pasti mau berjuang bekali-kali."

"Tapi, Awang bohong enggak, ya, Bun? Soalnya dulu Ayah bilang gitu, tapi nyerah juga."

"Nak, setiap orang pasti pulang kalau sudah waktunya begitupun kamu dan Bunda. Ini bukan soal menyerah atau tidak, tapi tentang ketentuan. Rezeki, jodoh, hidup, juga mati seseorang sudah tercatat bahkan sebelum orang itu dilahirkan. Jangan anggap Ayah ingkar janji, ya, karena kepulangannya berdasarkan apa yang sudah Allah tetapkan bukan atas rencana atau apa yang manusia janjikan."

Daniel menelan salivanya susah payah, meskipun pahit, apa yang dikatakan bundanya benar. Saat ini, Daniel tidak punya kuasa apa pun atas hidup dan mati Dewangga. Jadi, ia hanya bisa berdoa, memberi dukungan, dan berharap semoga Tuhan masih berkenan memberi sedikit kemurahan dengan membiarkan Dewangga tetap tinggal.

-BERSAMBUNG-

Halo, teman-teman. Lama banget, ya, aku lanjutin cerita ini? Maaf, ya, daripada asal-asalan dan stop di tengah jalan lagi aku memutuskan buat pelan-pelan nulis cerita ini. Aku nulis ini dalam waktu 4 hari btw :") padahal biasanya sehari pun sanggup. Kalian apa kabar? Semoga baik-baik aja ya.

Dewangga [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang