02 - Breath

Mulai dari awal
                                    

"Udah, tapi nggak boleh pulang malem-malem."

Alvarez berjalan mendahului, mereka berdua menuju tempat parkir.

Zea bersyukur saat sampai di tempat parkir, keadaan sekitar cukup sepi. Kalau saja keadaan masih ramai, sudah pasti mereka akan menjadi pusat perhatian.

"Cepetan Zea jalannya, lemot banget kayak bekicot." Ujar Alvarez saat laki-laki itu sudah berada di tempat motornya terparkir.

Zea berlari kecil untuk segera sampai. Di sana Alvarez membuka jaketnya. Ia melemparkan jaket itu pada Zea. "Pake itu buat nutupin paha."

Rupanya Zea telat berpikir mengenai jaket Alvarez. Karena tak sabar dan gemas, Alvarez kembali merebut jaketnya dari tangan Zea. Laki-laki itu mendekat dan mengikat lengan jaketnya pada pinggang Zea.

"Otak lo gampang nge-lag sih?" tanya Alvarez.

"Inget ya, Zea. Kalo naik motor pake rok, pake apa pun buat nutupin pahanya. Gue nggak mau mata cowok jelalatan lihatin paha lo. Siapa pun nggak boleh, termasuk gue. Jaga badan lo baik-baik." Omel Alvarez.

Zea mengangguk. Alvarez mengomel sudah persis seperti papanya. Namun kali ini nasihat Alvarez benar. Tumben? Bantin Zea.

Alvarez naik ke atas motornya, ia mengambil helm full face dan memakaikannya pada Zea meski kebesaran. "Lo nggak bawa helm, kan? Pake helm gue aja."

"Berat, Kak. Kakak aja yang pake. Lagian juga Kakak yang nyetir. Kalo ada apa-apa gimana?"

"Setidaknya, kalo ada apa-apa, lo aman. Kasihan gue sama kepala lo. Udah punya otak lemot, kejedot nanti tambah lemot. Dah pake aja."

Gadis itu meledek Alvarez dengan memanyunkan bibirnya seolah mengikuti omelan Alvarez tanpa suara, untung saja bibirnya yang manyun itu tak terlihat karena helm full face yang dikenakannya. Kalau saja Alvarez tahu bibir Zea meledeknya, entah hinaan apa lagi yang Zea dapatkan dari mulut itu.

•••000•••

Di toko musik, Zea melihat Alvarez berbincang dengan salah satu pegawai di sana. Zea sendiri duduk di sofa yang disediakan. Ia malas jika harus ikut Alvarez. Lagipula ia tidak paham musik. Biarkan Alvarez sibuk sendiri.

Bosan, Zea mengeluarkan ponselnya, memainkan benda elektronik itu sebagai pelarian. Sesekali, Zea mencuri pandang pada Alvarez. Ia masih tidak menyangka bisa jalan berdua dengan Ketua OSIS galak yang katanya alergi pada perempuan. Setahun menjadi pesuruh Alvarez bukan waktu yang singkat. Satu bulan Zea menjalani siksaan ini saja sudah seperti setahun.

Zea buru-buru mengalihkan pandangannya saat Alvarez menatap dirinya. Seperti tengah tertangkap basah memperhatikan Alvarez, Zea malu sendiri.

Alvarez kembali berbincang dengan pegawai toko musik. Beberapa menit kemudian, baru Alvarez menuju meja kasir untuk membayar barang yang dibelinya. Selesai membayar, Alvarez menghampiri Zea, duduk di sampingnya tanpa disuruh.

"Udah selesai, Kak?" tanya Zea.

"Makan apa kita?" tanya Alvarez balik.

"Aku langsung pulang aja, Kak." Zea berdiri dan menyerahkan jaket Alvarez.

Saat Zea hendak berbalik hendak pergi, Alvarez mencekal pergelangan tangan Zea. "Mau ke mana?"

"Pulang, naik angkot."

Alvarez memutar bola matanya muak. Ia kembali mengikat lengan jaketnya pada pinggang Zea.

"Lo itu udah izin ke orang tua kalo bareng gue. Ya gue harus tanggung jawab anter lo sampe rumah dengan selamat Zea Lakeisha."

Alvarez menggenggam tangan Zea, menariknya keluar dari toko musik.

Sedetik, dua detik, Zea masih mencerna tangannya yang digenggam Alvarez. Namun pada detik ketiga, gadis itu langsung sadar. Refleks Zea melepas genggaman Alvarez saat mereka sudah berada di halaman depan toko musik. Mereka tidak terlalu akrab untuk bergandengan. Zea gugup karenanya.

"Aku bisa jalan sendiri, Kak." Ujar Zea.

"Baper lo?" ejek Alvarez.

"Enggak!"

"Kalo enggak ngapain ngegas?"

"Ya... ya Kakak yang mulai nuduh. Aku ...."

Alvarez menunduk dan mendekati wajah Zea. Jarak wajah mereka terlalu dekat dan itu langsung membuat Zea membatu. Mata mereka saling bertabrakan.

"Kalo lo baper, gue bakal tanggung jawab, kok." Ujar Alvarez seraya memamerkan smirk-nya.

"Aku nggak baper, Kak. Jangan ngarang."

"Cewek mana sih yang nggak baper sama gue?"

"Aku."

"Yakin?" tanya Alvarez semakin mengikis jarak wajahnya dengan Zea.

Dan sedetik kemudian, Zea langsung cegukan. Diagfragmanya berkontraksi tanpa sengaja. Mungkin efek dari ia menahan napas dan gugup berlebihan.

Alvarez tertawa, memamerkan sederetan gigi rapinya. Ia mengetuk jidat Zea gemas. "Cieee, si lemot baper."

"Enggak baper, Kak! Hik!"

"Iya, hik! Percaya, hik! Hahahaha." Ledek Alvarez.

"Ih! Kak Alvarez kok ngeledek aku, sih? Hik!" protes Zea.

Alvarez menangkup wajah Zea yang secara tidak langsung menyuruh Zea hanya fokus padanya. "Tarik napas." Suruh Alvarez.

Zea menggeleng.

"Mau cegukannya hilang, nggak? Ilmu ini cuma orang pinter kayak gue yang tahu."

Kali ini Zea mengangguk.

"Nurut! Sekarang tarik napas."

Zea menarik napasnya perlahan.

"Tahan. Gue hitung sampe sepuluh."

Zea kembali mengangguk seraya menahan napas.

"Satu," Alvarez mulai berhitung. Matanya tak berhenti mengunci mata Zea. Memperhatikan manik mata coklat tua yang begitu memesona.

"Dua."

"Tiga."

Sampai pada hitungan ke sembilan, Alvarez tak melanjutkan. Zea yang sudah tak tahan menahan napas akhirnya menghembuskannya.

"Kak Alvarez kenapa berhenti ngitung? Aku nungguin Kakak selesai ngitung." Ucap Zea dengan nada kesal.

"Mau tahu alasannya?"

"Iya."

Gue nggak rela ngelepas mata lo dari mata gue Zea lemot. Batin Alvarez.

"Pengen tahu aja lo masih hidup atau enggak tahan napas lebih dari sepuluh detik, lumayan buat kelinci percobaan kecil-kecilan. Hahahahaha."

"Kak Alvarez!" sentak Zea.

"Ganteng pake banget!" sambung Alvarez.

Alvarez tertawa puas karena berhasil meledek Zea, sedangkan Zea tak berhenti memasang wajah kesal. Sampai akhirnya sebuah suara menginterupsi keduanya.

"Zea," panggil suara itu.

- To be continue -

Tebak siapa 👄

ALVAREZ [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang