VIII

48 6 2
                                    

Untuk menuruti apa kata hati, seseorang terkadang melupakan keberadaan sahabatnya.”
—A Sticker For You; Bab 8


BRIAN!”

Brian menoleh dan mendapati Clara yang berlari ke arahnya. “Ya?”

Clara melepas salah satu tali ranselnya, lalu membuka sebagian tas dan mengambil sesuatu yang diberikan Jessica kemarin. “Buku kamu,” katanya sambil memberikan buku yang tidak diberi sampul tersebut kepada si pemilik.

“Oh, cepet banget kamu kalau udah merangkum semuanya?”

“Dua lembar buat tiap mapel, sih, nggak terlalu banyak, Yan,” ujar Clara. “Ngomong-ngomong, akhirnya kamu pacaran juga sama Jessica.”

Benar. Kedua orang itu resmi menjalin hubungan. Tepat tiga bulan setelah memasuki kelas delapan. Clara adalah orang pertama yang tahu karena Jessica bercerita kepadanya kemarin, ketika gadis itu mengunjunginya sebentar untuk meminjamkan buku catatannya dan juga catatan Brian.

“Oh, Jessica yang bilang?” tanya Brian setelah tanpa sadar membelalakkan mata. Baru menyadari bahwa gadis di sampingnya ini adalah sahabat Jessica, pantas saja dia tahu lebih awal daripada teman-teman sekelasnya. Meskipun Clara tidak masuk sekolah selama dua hari, itu bukan halangan bagi Jessica untuk memberi kabar terbaru.

“Selamat, ya. Dari dulu, udah kuduga kalau kalian bakal lebih dari sekadar teman.” Clara tersenyum kecil. Berbanding terbalik dengan keadaan hatinya yang tiba-tiba didera sebuah ketidakrelaan. Namun, perasaan itu langsung hilang ketika mendapat balasan berupa tawa malu dari Brian. Kecocokan yang ada pada Jessica dan Brian menumbuhkan sedikit perasaan senang untuknya. Aura kebahagiaan yang mereka pancarkan memberikan energi positif yang membuat Clara sejenak melupakan rasa tidak menyenangkan yang sempat hinggap.

“Jessica ngomong nggak akan bilang ke siapa-siapa, eh dianya sendiri cerita ke kamu.” Brian berkata dengan sisa-sisa tawa di wajahnya. “Tapi ya sudah, aku percaya kalau kamu nggak bakal ember ke anak lain.”

Clara hampir saja menghentikan langkah. Percaya …. Dia sempat merasa salah dengar ketika kata tersebut membelai daun telinganya. Bagi orang lain, mungkin itu hanya sebuah kata, tetapi bagi Clara, mendapatkan kepercayaan dari orang lain adalah sebuah hal yang menyenangkan sekaligus membuatnya penasaran. “Kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa kamu percaya sama aku?”

“Aku kenal kamu, Ra. Nggak terlalu banyak omong kecuali sama Jessica dan nggak gampang percaya sama orang lain.” Brian tersenyum. “Itu semua Jessica yang bilang. Dari situ aku bisa tahu, kalau … buat Jessica, kamu itu teman yang penting banget.”

Benar. Apa yang dikatakan Jessica merupakan sebagian sifat Clara. Clara senang jika sahabatnya mendapat poin seratus dalam memberi sedikit gambaran mengenai Clara. Namun, gadis itu tiba-tiba merasa sedih. Clara tidak berpikir bahwa dia mengenal Jessica sebaik Jessica mengenalnya. Di sisi lain, Clara tidak mengerti mengapa Brian mendapat kesimpulan seperti itu. Sayangnya, ketika Clara ingin bertanya lebih jauh, mereka sudah sampai di depan kelas yang masih sangat sepi. Hanya ada satu orang yang sudah hadir. Aris, teman sebangku Brian yang sedang tidur.

“Ya ampun, si tukang tidur.” Brian bergumam. Salah satu sudut bibirnya terangkat, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala. Sudah maklum dengan kebiasaan Aris.

Sementara itu, Clara memasuki kelas setelah Brian dan segera mengambil sapu usai menaruh tas di bangku. Hari ini, dia harus memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan piket sesuai jadwal.

***

“Ra, maaf, ya, kita nggak bisa ngerjain tugas bareng. Aku mau jalan bareng Brian soalnya.”

A Sticker for YouWhere stories live. Discover now