"Ayo kita takhlukkan dia bareng-bareng," bisiknya.

Dan seolah mendapat suntikan energi, aku mengangguk.

Ya, ayo kita buat si kecil itu merestui kita. Lirih aku merapal doa.

"Uhm, bisa kamu bilang pada gadis itu untuk membuka pintu? Aku harus bekerja. Atau jika kelamaan di ruangan ini, aku takut kita akan melakukan lebih dari ini," ucap Bae kemudian.

Aku tergelak. Dan ketika aku berteriak pada Elsa untuk membuka pintu, Bae melepaskan pelukannya.

°°°

"El, yang tadi nggak usah cerita ke Mas Aron, ya?" Aku berucap sesaat setelah Elsa masuk dan Bae sudah pergi meninggalkan ruangan ini. Melanjutkan perjalanan ke tempat kerjanya.

“Yang mana, Mbak? Yang sosor-sosoran tadi?” Ia berucap enteng.

Uhuk. “Elsaaa!” jeritku.

Gadis itu menyeringai. “Habisnya, kayak muantep banget gitu,” ujarnya lagi. "Emang kenapa, Mbak? Apa Mbak nggak direstui sampai-sampai Mas Aron nggak boleh tau?" Ia meletakkan cangkir kopi yang uapnya masih mengepul. Entah sudah ke berapa kali ia membuat kopi baru agar ia bisa menghidangkannya padaku dalam keadaan masih panas. 

“Panjang ceritanya, El. Intinya, kami belum bisa terang-terangan menunjukkan hubungan kami karena---” Kalimatku terhenti. Ragu apa aku harus menceritakan ini pada Elsa atau tidak.

“Karena pria tadi suami orang?”

Aku menepuk jidat mendengar ucapan Elsa. Anak ini ya Gusti. Nggak kebayang kalo kelak ia bakal jadi ipar.
“Bukan gitu, Elsa….”

“Lha terus?”

“Karena pria tadi adalah tetanggaku, dia sahabat sejak kecil, dan sekarang ia duda beranak satu.” Aku menjawab singkat, padat, dan jelas.

Elsa ternganga. “Duda?!” Ia menggumam. Aku mengangguk.

“Nggak apa-apa, deh. Duda jaman sekarang juga keren-keren, kok.” Ia kembali berujar. “Jadi, Mbak Zoya serius nih sama yang ini?”

“Ya iyalah.”

“Lha terus, Mas Daniel gimana?”

Seketika aku kicep. Seolah baru saja teringat akan sosok itu. Sosok pria kaya raya yang baik, yang gentle, yang cakep, yang sudah memperkenalkan diriku pada orang tuanya.

“Mas Daniel yang kasihan ….” Terdengar Elsa bergumam lagi, membuat diriku makin didera rasa bersalah. Beringsut, aku menjatuhkan tubuhku di sofa dengan lunglai.

“Dipikirin bener-bener ya, Mbak. Jangan sampai salah pilih.” Elsa seolah kembali mengingatkan.

Aku bergeming. Mengabaikan aroma kopi di hadapanku. Nanti, sepertinya aku harus bicara serius dengan Daniel.

***

Aku melirik ke arah halaman rumah Om Hans. Mobil Bae belum ada, jadi bisa dipastikan pria itu belum pulang. Setelah memarkir mobil, aku melangkah ringan ke dalam rumah. Baru saja hendak mencapai anak tangga, aku mendengar obrolan Mami, Papi dan Mas Aron di ruang tengah. Aku memutar tubuh dan bergerak ke sana. Tampak raut muka mereka serius.

“Ada apaan, sih?” Aku menyambar gelas di meja, mengisi dengan air, lalu menenggaknya pelan sambil duduk di sisi Mas Aron.

“Nih, Masmu bilang mau kawin,” jawab Mami.

Aku nyaris saja menyemburkan air dari mulut. “Jangan bilang kalo Mas bakal nikah sama Elsa?” tebakku.

“Ya sama dialah, sama siapa lagi. Hubungan kami tuh serius. Makanya aku pengen cepet-cepet nikah.” Mas Aron menjawab sambil menggebu-gebu. Aku melongo. Kok Elsa nggak cerita kalo hubungan mereka berkembang secepat ini?

Sexy BaeWhere stories live. Discover now