01 - Poor Zea

Mulai dari awal
                                    

Kembali lagi, Zea baru saja sampai di lapangan indoor sekolah. Ia melihat Alvarez baru saja selesai bermain basket. Guru olahraga juga sudah meninggalkan lapangan.

Tanpa ragu, Zea menghampiri Alvarez, menyodorkan sebotol air mineral pada pria itu. "Kak, air minumnya." Ujar Zea.

Alvarez mengambil botol minum itu, memperhatikan dengan saksama. "Gue mau es jeruk."

"Tapi kantin lagi rame, Kak. Keburu haus, nanti aku lagi yang Kakak omelin?"

Alvarez melotot, "Ngomel lo bilang?"

"B—bukan gitu... maksud aku, nanti Kakak eum ...," Zea panik, ia memikirkan kata yang pas untuk berbicara pada Alvarez. Namun tidak menemukan kata yang pas. Memang Alvarez suka ngomel.

"Lo mau? Setahun lo jadi pembantu gue buat lunasin hutang lo ke gue, jadi seumur hidup gara-gara belas kasihan gue ke lo hilang?"

"J—jangan, Kak. Yaudah aku beliin di kantin." Baru saja Zea berbalik hendak berlari ke kantin, namun, Alvarez menarik lengan seragam Zea untuk menghentikan langkah gadis itu.

"Bareng!"

"Hah?"

"Gue bilang bareng." Tekan Alvarez.

•••000•••

Di kantin, lagi-lagi meja Alvarez menjadi sorotan. Duduk Zea dan Alvarez di sana, hanya berdua. Jarang sekali Alvarez bersama dengan perempuan. Jadi pasang mata yang menangkap kejadian langka itu terheran-heran.

"Pesen sana." Ujar Alvarez bersikap cuek seraya memainkan ponselnya.

"Udah, Kak. Kakak mau pesen apa lagi selain es jeruk?"

"Gue bilang lo, sana pesen."

"Hah? Eum, enggak, Kak. Uang aku di tas, lupa nggak dibawa."

Alvarez memutar bola matanya muak. "Gue bayarin. Gue tahu lo miskin. Sana."

Sudah terbiasa, Zea hanya tersenyum paksa menerima hinaan Alvarez. Ya, bukannya tak pernah, sering sekali Alvarez menghinanya. Miskin, tolol, sok cantik, bermacam-macam. Sampai teman Alvarez—Bilal—mengatakan bahwa Alvarez memang seperti itu. Bilal juga sering mendapat hinaan. Mulut Alvarez memang suka menghina. Entah menurun dari siapa, Zea tidak paham sama sekali kenapa bisa ada manusia seperti Alvarez.

"Enggak, aku bisa bayar sendiri. Meskipun nggak sekaya Kakak, aku masih mampu beli makan di kantin pakai uang saku lima belas ribu aku." Balas Zea sedikit menyindir.

"Dih! Sok banget. Yaudah kalo gak mau."

Alvarez berdiri, ia menggebrak meja, sempat membuat Zea terlonjak.

Zea mendongak, menunggu apa yang dilakukan Alvarez yang berdiri dan sudah menjadi pusat perhatian karena gebrakannya yang tiba-tiba itu.

"Hari ini, jajanan kalian gue bayarin! Yang mau nambah sana nambah." Ujar Alvarez.

"Serius, Al?"

"Serius, Kak Alvarez?!"

"Yoi! Sekarang hari jum'at. Bunda gue yang paling cantik sedunia selalu ngajarin gue buat beramal setiap hari jum'at. Ya karena gue baik kayak bunda gue, gue traktir kalian semua makan sebagai amal jum'at gue minggu ini."

ALVAREZ [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang