“Tenang ya. Stefi pasti gak jauh-jauh dari sini. Kita cari bareng-bareng yuk.”

“Nin, aku...” Gracia jadi merasa tak enak. Tapi kemudian menganggukkan kepalanya pelan.

“Aku juga bantu cari-”

Ucapan Angel terhenti saat dering telepon di meja menginterupsi. Gadis itu memberi gestur memohon untuk tak ditinggal. Dengan cepat diraihnya ganggang telepon.

“Halo, ini-”

Ngel, di situ masih ada Anin, 'kan? Kasih telponnya ke dia.”

Angel mengerutkan kening mendengar ada nada panik di suara Manda. Tak mau banyak tanya, langsung saja ia panggil orang yang dimaksud.

“Kak Anin, ada telpon dari Kak Manda. Penting katanya,” ujarnya seraya memberikan ganggang telepon.

Anin menerimanya dengan kerutan kecil di kening, sementara Gracia yang sedari tadi ingin pergi tak bisa. Sebelah tangannya masih digenggam Anin.

“Ya Kak, ada apa?”

Si Bos kasih perintah buat gantiin dia sampai batas waktu yang gak ditentuin.”

“Hahh?!”

Sekarang lo balik cepat. Langsung ke ruang meeting buat rapat keberangkatan ke Singapore ntar malam.”

Tut.

Sambungan diputus sepihak oleh si sekretaris sang Bos.

“Apa-apaan si cungkring satu itu...” gumam Anin menatap tak percaya pada ganggang telepon.

 Pikirannya yang tengah mencaci si Bos terusik saat genggamannya dilepas.

“Eh-”

“Kamu kalau sibuk biar aku cari sendiri aja. Gak papa kok. Makasih, ya. Aku pamit dulu. Dah Angel,” sedikit tergesa Gracia bicara. Bahkan tak menghiraukan balasan dari dua perempuan itu. Langsung saja menggerakkan langkah kakinya menyusuri gedung besar ini.

 Fokusnya hanya pada Stefi. Putrinya.

----

Shani memperbaiki gendongannya agar si gadis kecil ini merasa nyaman. Entah ada angin apa sejak Stefi menyambut perkenalannya, Shani langsung mengajak anak itu pergi makan ke cafe tak jauh dari kantor. Anehnya lagi si gadis kecil itu malah mau-mau saja diajak pergi orang asing.

 Sudut bibirnya tak sedikit pun turun sejak Stefi mau dekat dengannya. Sisi lain Shani seakan keluar tanpa ia sadari saat dengan perlahan mengimbangi obrolan si gadis kecil. Bahkan Shani seolah tak peduli pada setiap pandangan yang ia terima.

 Fokusnya hanya pada Stefi. Si gadis kecil yang langsung mencuri perhatiannya.

Saat ini keduanya baru saja balik ke kantor dengan Stefi yang berada dalam gendongan Shani. Gadis itu tanpa segan minta digendong. Shani pun tak masalah, malah terbesit rasa khawatir saat merasakan suhu badan Stefi. Satu pikiran melintas untuk memeriksakan kondisi Stefi ketika bertemu kembali dengan orang tuanya nanti.

Sampai di kantor lagi, keberuntungan masih di pihak Shani. Keadaan masih cukup lengang, masih jam kantor. Langkahnya ingin memasuki lift khusus menuju lantainya terhenti karena gadis di gendongannya menepuk-nepuk pelan pundaknya.

“Ya?” tanya Shani, menaikkan satu alis bertanya.

“Ituuu, Momnya Ntep. Shaniii ituuu..” suara Stefi sedikit tertahan, badannya menyamping sambil menunjuk-nunjuk pada siluet yang langsung hilang dari pandangannya.

“Mana?” mengabaikan pintu lift yang terbuka, langkah Shani berjalan mengikuti arahan Stefi.

Stefi ingin teriak memanggil, tapi ia takut membuat ribut. Meski ada Shani bersamanya pun, gadis kecil itu tak mau semakin membuat repot perempuan ini.

Invisible String (with you)Where stories live. Discover now