Manda mengecek layar tab di pangkuan lengannya.
“Jam tiga nanti meeting buat persiapan ke Singapore nanti malam. Itu aja, sih.”
Shani melirik jam tangannya, pukul 2:35.
“Aku mau istirahat bentar.”
Pesan singkat tanpa nada. Kemudian melenggang pergi begitu saja, meninggalkan beberapa karyawan yang akhirnya bisa menghela napas lega.
Meski entah sudah berapa lama berkerja di bawah pimpiman seorang Shani Indira Natio, mereka masih saja merasa canggung dan segan. Mungkin memang karena sifat dan pembawaan sang bos yang penuh intimidasi, tegas, datar, perfeksionis tanpa cela. Meski begitu, sosok Shani tetap membuat mereka merasa hormat, walau umurnya masih terbilang muda sebagai pemimpin salah satu perusahaan berpengaruh ini.
Shani berjalan-jalan sendirian. Entah ada angin apa, tetiba ingin saja mengecek suasana kantornya ini. Sesekali berpapasan dengan karyawannya, membalas tanpa ekspresi berlebih pada sapaan hormat, segan, serta canggung mereka. Shani tak memedulikan reaksi mereka akannya.
Tak pernah peduli sedikit pun.
Hingga langkah kaki jenjang nan indah itu berhenti, kala manik cokelat manisnya tak sengaja terpatri pada seorang gadis kecil yang mendongak tinggi. Penasaran. Satu rasa yang mendadak muncul di hati bekunya.
Kenapa?
Melirik pada apa yang menjadi pusat perhatian si gadis kecil, berbagai macam selebaran dan poster di dinding informasi.
Menarik.
Shani masih diam di tempatnya, masih memperhatikan, tanpa mempedulikan sekitarnya. Kebetulan suasana juga sedang sepi. Hingga keningnya berkerut serius saat dilihatnya dua perempuan berpakaian kantor muncul tiba-tiba dan menghampiri si gadis kecil.
Seperti ada yang mengusik hatinya saat melihat dua perempuan itu mengganggu si gadis kecil. Pikirannya menolak, menyuruh mengacuhkan. Hatinya pun meski terusik tak ada niat untuk mendekat. Tapi entah mengapa, si alam bawah sadar seolah mengambil alih kontrol, dengan tenangnya bergerak melangkah menuju si gadis kecil.
“Kalian berdua,” panggilan dalam nada datar nan tegas, seketika menarik perhatian.
Kedua perempuan itu terdiam ketika mendengar suara dan saat menoleh ke belakang, terkejut mendapati sang bos berjalan ke arah mereka. Seketika berdiri gugup dan salah tingkah.
“Uh umm Bu Indira, ada ap-”
“Pergi.”
Satu kata perintah tanpa nada membungkam si perempuan yang bersuara. Aura mengintimidasinya membuat perempuan yang satunya lagi semakin salah tingkah dan menyenggol temannya.
“Ka-kami permisi Bu,” dengan tergesa melangkah pergi.
Shani melirik diam kedua perempuan itu pergi, meninggalkannya hanya berdua saja dengan si gadis kecil. Perhatiannya beralih pada gadis itu, mengerutkan kening kala mendapati si gadis kecil berjengit kaget dengan tatapannya. Menutup mata seraya menghela napas pelan, Shani kembali membuka mata dengan senyum kecil tercetak di wajah datarnya.
“Hallo...” sapa Shani, entah kenapa malah kikuk sendiri.
Saat ini tak ada pikiran apa pun terlintas di otaknya. Hanya saja, seperti ada perasaan yang menggerakkannya untuk bersikap ramah pada gadis kecil nan asing ini. Seorang Shani Indira Natio yang dingin dan datar-
“Nama kamu siapa? Aku Shani.”
Memperkenalkan diri seraya berjongkok di depan si gadis kecil, mensejajarkan tinggi. Sungguh, bergerak dan berucap begitu saja. Bahkan raut datarnya melunak, aura dingin yang mulai menghangat, serta senyum simpulnya masih menyapa ramah.
YOU ARE READING
Invisible String (with you)
General Fiction"Hell was the journey but it brought me heaven" ...and at the end, I'm with you <3
