“Papiiiii bando ungu Ge gak adaaa??!!” teriakannya menggema di dalam mobil, dengan cepat mendapat perhatian kedua orang tuanya dan sang kakak.

Kebetulan si Oom Naoki di tengah keasyikan bermain harus undur diri karena ada urusan mendadak.

Rencana untuk balik ke vila pun harus ditunda karena si bungsu merengek dan menangis tak henti ingin mencari bando ungu kesayangannya. Jadilah si Papi dan Gracia kecil, sedangkan si Mami bareng si Kakak mencari dimana sekiranya bando ungu itu terjatuh.

“Bando ungu dimanaa hiks hiks..” masih terisak, binar manik kelam yang kini sendu itu mengedar ke sekelilingnya. Mencari-cari di sela-sela langkah kaki orang-orang. Cengkramannya di celana sang Papi tak sekalipun ia lepas, mengikuti ke mana arah pria dewasa itu melangkah.

Saat masih mencari, perhatian gadis kecil itu tak sengaja tertuju pada seorang gadis berkaos putih berlari kencang entah dari mana. Tanpa sadar pandangannya mengikuti gadis asing itu yang seketika berjongkok dan menyambar sesuatu dari tanah. Napasnya sempat tertahan saat melihat gadis itu hampir saja ditabrak, bahkan terinjak orang-orang yang berlalu-lalang. Untungnya dia baik-baik saja.

Manik kelamnya masih memperhatikan, kemudian terkejut saat memusatkan pandangan pada 'sesuatu' di tangan gadis itu.

“Bando ungu!” serunya tanpa sadar.

“Hah? Mana? Kamu liat bando kamu? Dimana?” Deva yang mendengar seruan putrinya segera mengedarkan pandangan. Mencari-cari bando ungu Gracia.

“Itu..umm itu..” Gracia ingin memberitahu ayahnya, tapi tak jadi saat entah dari mana muncul dua orang laki-laki berbadan besar dan menakutkan sudah berdiri di belakang gadis asing itu.

Takut. Gracia tak berani.

Cengkramannya di celana sang ayah makin kuat, bahkan ia sampai menyuruk ke belakang, bersembunyi saat dilihatnya gadis asing itu mengedarkan pandangannya.

“Ge?” panggil Deva bingung. Tak dapat respon, ia pun berjongkok menghadap putrinya.

“Ge kenapa?”

Menggeleng pelan, “Papi, pulang.”

Kerutan tercetak dikening si ayah.

“Bando ungu Ge, gimana?”

Kembali menggeleng pelan. Kemudian memaksa menyuruk masuk dalam pelukan ayahnya.

Tak mengerti, tapi tetap mendekap sang anak, memberinya ketenangan dan rasa aman. Mengecup pelan puncak kepalanya, Deva pun bangkit berdiri dengan sang putri dalam gendongan. Perasaan khawatirnya bertambah saat dirasa Gracia menenggelamkan diri di ceruk lehernya.

“Yaudah, kita pulang ya.”

Mereka pun berlalu dengan kilasan pandangan Gracia kecil pada gadis asing yang juga berbalik dan berjalan menjauh.

--<3---

Toelan kecil di pipi dari jari mungil itu menyadarkannya dari lamunan. Tersadar, menolehkan pandangan pada gadis kecilnya dalam gendongan.

“Ya?”

“Mom gak papa?” nada pelan, tatapan, serta raut yang menunjukkan kekhawatiran. Tampak menggemaskan.

Menarik sudut bibir, tersenyum menenangkan sebelum menjawab pertanyaan itu.

“Mom gak papa kok, sayang. Cuma keinget sesuatu aja,” seraya mengusap-usap lembut wajah sang putri, menghilangkan raut khawatirnya.

“Ohya! Ntep maunya yang mana, nih? Yang ini? Apa yang ini?” Gracia mengalihkan perhatian Stefi pada aneka pernak-pernik di depan mereka.

Ini pertama kalinya setelah sekian lama Gracia tinggal di kota ini, Jogjakarta, bermain di alun-alun bersama Stefi. Kesibukan dan fokusnya pada kerjaan serta sang putri membuatnya tak menghiraukan segala hiburan yang ada. Waktu luang yang ia punya hanya digunakan untuk istirahat dan quality time bersama putrinya.

Invisible String (with you)Where stories live. Discover now