Puisi Tanpa "yang"

50 4 0
                                    

Puisi Tanpa "yang"


Hari lalu biarlah menjadi abu

Dalam kenangan terpecah

Menentukan hidangan hingga berseteru

Tentang bumbu sayang atau gelisah


Kehadiranku tak perlu ditunggu

Aku akan datang bersama angin

Dengan atau tanpa kautahu. Tanpa suara, kelu

Karena kamu terlewat dingin

Untuk disentuh. Mungkin malu

Meski ingin


Pertikaian tak berarti

Ketika hati memilih kembali kata kopi

Menyeruputnya di malam hari

Karena kutahu pagi tak mendukung menuliskan puisi


Orang-orang bilang menulislah di mana saja

Aku pun pernah berkata demikian

Namun, tidak pernah puas menulis asal begitu saja

Aku ingin waktu untuk menyelam lebih dalam lautan pikiran juga perasaan

Biar aku tenggelam di dalamnya

Satu, dua, tiga bulan akan kutunggu meski lama

Asal bisa memastikan aku suka dengan tulisan

Baru aku bisa menyajikan itu kepada kalian


Puisi penuh angkara

Puisi dengan kepribadian

Puisi dengan keajaiban

Puisi penuh makna tak terbatas pada tatanan


Aku ingin mempersembahkan

Bagian jiwa terkirimkan

Membuat puisi itu berbicara

Mengajukan tanya besar pada sebagian besar dunia


Aku percaya

Puisi adalah sarana

Menyalurkan perkataan jiwa

Menyampaikan pesan berisi kutukan hingga cinta


Aku percaya

Puisi mengerahkan segala suara

Dalam indahnya bahasa

Dari mana pun itu asalnya


Dia mengunci keraguan

Ketika diri menemukan pesan

Terlampau lama tak diutarakan

Keluar begitu saja bersama kata pertama. Kebebasan


Puisi adalah kejujuran berbicara

Dari seorang dengan pasung di lehernya

Juga rantai di kedua tangan dan kakinya

Selama mulut dapat bicara

Selama otak tak tertancap besi tua

Selama paru-paru tak ditembus timah panas

Selama itu pula puisi tetap bersikeras

Membersihkan pikir dari kotoran

Menguatkan diri menghadap kematian


Puisi ini tak terhentikan

Dia bercampur pada darah di lantai dansa

Mereka melakukan itu ketika merasa meraih kemenangan

Padahal tidak, udara merekam derita

Dari puisi seorang pujangga

Dia mati bersama mimpinya

Di mana puisi itu berkali mengingatkan

Menjadi saksi mimpi terwujudkan


Mimpi untuk menjaga kemurnian dari puisi dibuatnya

Tidak tercampur dengan keinginan penguasa

Puisi beretika, tak membuat wanita jatuh cinta

Dia puisi kesatria dengan taring terpampang hingga akhir hayatnya


Bahkan musuh menari dengan sedih

Dirasuki penyesalan juga rasa pedih

Mereka tahu puisi menatap tajam di udara

"Kutunggu kalian"

Kalimat itu masih terngiang di telinga

Dari baris terakhir puisi terbaca

Musuh menghentikan tari, mulai berduka

Lantai dansa tak lagi menunjukkan ramahnya


Tentara berdatangan, mayat pujangga ditemukan

Musuh dihujani tembakan

Mulut mereka menganga

Seolah melihat pujangga tersenyum di udara

Bersama puisinya

(Tangerang, 28 Mei 2020)

Memaki Manusia, Menasihati DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang