10. Bisa pasti bisa

Start from the beginning
                                    

"Terimakasih ma, walau Leta bukan putri kandung mama dan bahkan mama nggak tau tentang Leta tapi mama masih baik sama Leta," Leta menggeleng, "nggak baik aja ma, tapi baik banget" lanjutnya mengembangkan senyum manis kepada Vina.

Vina tertegun, ia mengangguk. "yaudah, mama keluar dulu ya, jangan begadang oke" ucapnya berdiri berlanjut keluar kamar.

Leta masih tersenyum menatap piring ditangannya sambil terus menyuap nasi.

Drrt ....
Leta menoleh kearah nakas kedua alisnya terangkat melihat ponselnya yang bergetar.

"Eh, siapa?" gumamnya meletakkan piring ke nakas berlanjut meraih ponsel merah muda miliknya.

"Nino?" ucap Leta membaca panggilam dilayar teleponya.

"Kenapa?" tanya Leta pada sahabatnya yang berada diujung sana. "Akhirnya lo angkat juga, kesel anjing dari tadi gue telfon mulu nggak ada yang ja—"

"apa sih no lo bawel banget deh, jadinya kenapa?" kesal Leta mendengar Nino yang cerewet mendengungkan telinganya.

"Gue kesel sama lo. Dari ta—"
Leta berdecak, menjauhkan ponsel dari telinganya sambil memasang muka malas.

"to the point atau gue matiin telefonya" teriak Leta masih menjauhkan ponselnya.

"Jangan anjim!" teriak Nino yang dapat Leta dengar dari arah ponsel sejauh 4 cm ini.

Leta menghela nafas, kembali mendekatkan ponsel pada telinga.
"Ayo ngomong"

"Jadi gini, gue butuh bantuan lo Alleta" Leta mengernyit perasaanya sudah tidak beres sekarang.

"Lo tau kan bentar lagi kita ujian nah Mama gue nih nyuruh gue nyari guru Les. Lo bayangin nggak sih tersiksanya gue kalau guru Lesnya tua" lanjut Nino.

"Terus?"
"Ya lo paham lah, gue mau lo jadi guru Les gue" Leta mengangkat tangan kirinya menutupi kedua mata. Sahabatnya ini memang selalu menyuasahkan.

"Lo mau kan let? Kalau lo yang ngajar kan enak gue bisa santai liat body lo juga ngga bikin stres ya kan tenang deh kalau masalah uang"

Leta berfikir sejenak mendengar kata uang. Nampaknya ini salah satu penawaran yang mantap. Apalagi sekarang uang jajan dari Revin juga hanya cukup untuk beli soto sepaket dengan es teh dikantin sekolah.

"Oke deh lo atur" jawab Leta terkekeh puas, memang ada untungnya juga punya sahabat seperti Nino. Lagian mengajar Nino bukan hal yang sulit. Selama ia punya jurus andalan semuanya beres kalau masalah Nino.

"Asik, Alhamdulillah masalah segede gunung gue beres, makasih alleta cakep elo memang sahabat gue yan—" Leta meroling malas kedua bola matanya mematikan sambungan telepon dengan Nino. Tidak ada gunanya mendengarkan ocehan lelaki setengah perawan seperti Nino.

Ia meletakkan kembali ponselnya melihat bajunya yang nampak basah keringat. Dengan ragu, Leta mencium bajunya.

"Asem banget emang keringet perawan" gumamnya terduduk lemas diujung tempat tidur. Leta menarik nafas mengumpulkan niat untuk mandi.

15 menit, Leta menoleh ke arah jam dinding. Ya 15 menit sudah ia mengumpulkan niat. Dengan langkah lesu Leta berjalan ke arah kamar mandi.

°•°•°•°

"Cupu banget lo anj" gerutu Revan menoleh kearah saudara kembarnya yang tak mau ia ajak taruhan bermain playstation.

"Lo tau nggak van kenapa dia ngga mau taruhan lagi?" tanya Vano menahan tawa melirik Revin yang hanya diam memasang tampang kesal.

Revan menggernyit berbalik menatap Vano yang duduk di sofa kamarnya.
"Apa tuh? Muka lo macam nahan berak gitu kayanya ada sesuatu yang primitip" ucap Revan melirik Revin.

"Nahan berak palalu!" Vano melempar pop corn yang sedari tadi ia makan kearah Revan yang malah dengan senang hati menangkap dengan mulutnya.

"Enak anjir rasa caramel"
Vano berdecak, menatap Revan yang sibuk mengunyah.

"Tau kan lo kemarin kemarin tuh gue sama Revin taruhan main eh dia kalah rugi dah uang jajan dia 1 hari" lanjut Vano tersenyum penuh kemenangan.

"Nggak rugi sih no sebenernya, kan pas pulang dia bawa mbak bidadari" ejek Revan menaik turunkan alisnya sambil menyenggol bahu Revin.

Vano tertawa mendekat kearah Revan dan ber hi-five.
"Lo berdua bisa diem ngga sih?"
Revin mulai kesal, bermaksud kesini untuk menenangkan pikirannya dari masalah Leta malah dibuat stress berat.

"Nggak bisa sih Vin, eh bisa kalau lo mau taruhan" ucap Revan melirik kunci motor Revin yang ia bawa. Ya Revan berniat mendapatkannya.

"Ogah gue taruhan, dosa goblok" tolak Revin menoyor kepala Revan.

"Bapak lo goblok" balas Revan balas menoyor kepala Revin.

Revin melotot, mengeraskan rahangnya bersiap menerjang Revan yang memasang muka tengil.

"Elo yang goblok anjir bapak gue bapak lu juga tolol" kesal Revin mengangkat tangannya ke udara hampir meninjukannya ke pipi mulus Revan.

Vano berdiri, menahan Revin. "Sabar vin, Revan emang minus, otaknya kecil"

Revan terkejut mendengar perkataan Vano, ia berdiri berkacak pinggang menatap Revin dan Vano.

"Sok tau banget kalau otak gue kecil, otak lo noh ilang diambil mang ujang buat bikin bakso"

Revin mendengus, kalau ia terus disini ia akan tambah stress.
Revin berdiri, Berjalan keluar kamar meninggalkan kedua monyet yang masih beradu argumen. Ia menarik nafas, berpikir apa harus kembali ke kamarnya? Tapi Revin sedikit tak enak karena Leta pasti akan merasa canggung dan tak leluasa.

"Revin"
ia tehenyak, mengernyit menoleh kearah kanan. Matanya menangkap sosok Leta yang berjalan mendekat dengan baju tidur bergambar kartun lagi. Rambutnya nampak terurai sedikit basah.

"Tadi, buku gue udah dibawa ke sini belum?" tanya Leta sesampainya didepan Revin. Revin mengangguk,
"Ada di kamar" jawab Revin seadanya.

Leta ber-oh ria berbalik hendak meninggalkan Revin, ia berhenti menoleh kembali "Lo ngga tidur?" tanya Leta. Revin menaikkan sebelah alisnya, tidur?.

Revin berdehem, "Tidur" ucapnya kemudian berjalan mendahului Leta ke arah kamarnya. Leta menggeleng heran sambil tersenyum, Revin itu sulit ditebak pribadinya juga sangat tertutup.

"Apa bisa jadi istri Revin yang seutuhnya? Bukan cuma status aja"
gumamnya ikut berjalan menyusul Revin.

°•°•°•°

Kalian tim siapa?
Revan, Revin atau Nino?
Next ngga nih?
 

                           

Married Dadakan Where stories live. Discover now