(4) friends

210 22 0
                                    

Kelly Gibson

.

.

"Semalam saja tak ada salahnya, Kelly."

Tom menyangkal kalimatku sebelumnya. Aku bilang pada Tom kalau aku enggan berlama-lama di tempat pengungsian ini. Aku ingin keluar dan mencari ayahku tapi Tom meyakinkanku kalau Ayah akan datang ke sini. Aku percaya tidak percaya dengan perkataannya karena sudah lebih dari enam jam Ayah belum menyusul kami.

Tempat pengungsian ini dibuat sedemikian rupa agar muat banyak orang. Tempat ini aslinya adalah tempat peristirahatan di jalan antar kota. Tapi, karena hari sudah gelap banyak orang yang memutuskan untuk berhenti di sini dan tempat ini terlihat seperti pengungsian.

"Apa kau tidak mengkhawatirkan Ayah?" tanyaku heran pada Tom. Daritadi ia terlihat baik-baik saja dan tidak gelisah seperti aku.

Tom mengangkat kedua bahunya. "Kalau Ayah melihatmu, pasti ia menegurmu karena terlalu berlebihan. Sudahlah, Ayah pasti datang. Kau tidak usah khawatir."

Aku duduk di salah satu bangku meja piknik yang tersedia di sana. Orang-orang sedang menikmati makan malamnya sambil berbincang-bincang dengan santai dan hal itu membuatku heran. Bagaimana mereka bisa tenang seperti ini kalau di dalam kota sana bakal ada banyak mayat hidup yang siap menggerogoti tubuh mereka?

"Makanlah," Tiba-tiba Tom menyodorkan piring berisi burger daging yang aromanya menggodaku. "Kau harus mengisi perutmu, kita belum sempat makan sejak siang tadi."

Aku menerima piring itu namun masih belum mau menyentuh burger hangat tersebut. Aku belum nafsu makan dan aku tahu itu bakal membuat kakakku uring-uringan. Terkadang, ia bertindak sama seperti ibuku. Sewaktu aku kecil, Ibu sering uring-uringan kalau aku malas makan. Ternyata sifat Ibu menurun kepada anak laki-lakinya.

"Kelly, makan burgernya. Kalau kau pingsan, aku tidak mau menggotongmu ke mobil ya." kata Tom yang sudah menggenggam burger miliknya sendiri. Perlahan ia menggigit dan mengunyah burger itu.

Aku menunduk menatap burgerku. Sekarang aku bisa enak-enak makan, tapi Ayah bersusah payah melawan makhluk busuk itu di dalam kota. Bagaimana bisa aku makan setenang Tom kalau otakku dipenuhi pikiran seperti itu? Rasanya aku ingin kembali saja ke kota untuk mencari Ayah. Setidaknya untuk memastikan Ayahku masih hidup atau tidak.

Tidak, Ayah pasti masih hidup. Aku yakin.

Ayah pasti masih hidup.

Tom masih memandangiku, menungguku melahap burger yang ia bawa. Tom akan terus memandangiku sampai aku makan. Kalau pun aku baru makan besok subuh, Tom masih tetap menunggu sambil membujukku makan. Daripada kemungkinan itu terjadi, lebih baik aku makan saja. Burger ini tidak buruk-buruk amat kelihatannya.

Gigitan pertama terasa lama untukku karena aku mengunyah dengan ogah-ogahan. Tom sedikit menyeringai dan bersandar ke depan mobil lalu menikmati makanannya. Ia tahu kalau aku bakal makan makanan itu karenanya. Melihatku menggigit sekali saja ia sudah merasa lega.

"Kita tidur di sini?" tanyaku yang memecah keheningan antara aku dan Tom.

Tom menelan kunyahan terakhirnya dan mengiyakan. "Kita tidur di mobil kok, tenang saja. Aku tahu kau tidak suka berbagi tempat tidur dengan orang asing."

Aku tersenyum berterima kasih pada kakakku. Rupanya ia sangat memperhatikanku bahkan sampai ke detil-detil kecil. Syukurlah aku bisa pergi dengannya. Tidak bisa terbayang kalau aku kabur dari rumah seorang diri. Yang ada mungkin aku sudah mati duluan gara-gara zombie.

Semakin banyak mobil yang berdatangan ke area parkir. Matahari juga sudah mulai menyembunyikan wujudnya dan bersiap mengganti warna langit ke warna yang lebih gelap. Tempat peristirahatan ini terletak di tengah jalur kotaku dengan kota sebelah. Jadi, bisa dipastikan esok hari orang-orang akan menuju ke tempat yang sama denganku.

outbreak (l.h.)Where stories live. Discover now