(8) his help

189 20 3
                                    

Kelly Gibson

.

.

Untaian kata tidak mampu menggambarkan seberapa terkejutnya aku saat itu. Melihat sosoknya di dalam sana membuatku tak mampu mengeluarkan suara selain jeritan dari mulutku. Aku sadar kalau jeritanku itu berlebihan sehingga aku menutup mulutku yang terbuka lebar dengan kedua tanganku.

Pemandangan itu melegakan sekaligus mengerikan. Ayahku terduduk lemas dan bersandar ke dinding sementara ada dua Corpse di sekitarnya. Yang satu sudah tergeletak tak berdaya di samping kiri ayahku sementara yang satu lagi masih berusaha mendekati ayahku, seolah tak sadar akan rak kayu yang menimpa tubuhnya. Ayah hanya berjarak beberapa meter dari Corpse itu, ia sengaja memberi jarak agar Corpse itu tidak mencabik tubuhnya dengan tangan berbau busuk yang berusaha menggapai kedua kaki ayahku.

Lengan ayahku tampak mengenaskan, banyak luka di kulitnya. Satu hal yang aku syukuri saat melihat keadaannya, untung tak ada bekas luka gigitan di sana. Tapi sepertinya kaki ayahku patah karena aku bisa mendengar rintihannya.

"Ya Tuhan, syukurlah kau datang, Kelly." ucapnya saat mataku saling bertemu dengan milik ayahku.

Aku lekas menghampiri ayahku sementara Luke membuat Corpse yang terjepit di bawah rak itu tak bergerak lagi dengan salah satu anak panahnya. Ia menyusulku kemudian dan duduk di samping ayahku.

"Bawa aku pergi dari sini, Kels." Kemudian ayahku mengaduh dan mengeluh tentang rasa sakitnya. Ayahku ini kuat tapi ia juga punya batas dan kurasa ia sudah berada di ambang batasnya.

Aku masih menatapnya dengan rasa tak percaya. "Apa yang terjadi? Bagian mana yang sakit, Yah?"

Ayahku menunjuk ke bagian bawah lutut kirinya. "Kurasa aku mematahkan salah satu tulangku dan aku butuh kakakmu. Di mana dia?"

Tentu ia membutuhkan Tom, bukan aku. Aku belum mampu menangani yang seperti ini, tidak seperti Tom. Tapi ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku, sesegera mungkin aku coba untuk hilangkan. "Ia sedang mencari Ayah juga di lantai bawah. Sebaiknya kita ke sana sekarang sebelum dihalangi oleh Corpse atau yang lain."

Luke yang daritadi diam saja dengan sigap menopang lengan ayahku di bahunya. Ayahku mampu berjalan walaupun nyeri yang ditahannya luar biasa. Langkahnya tertatih-tatih saat aku dan Luke membawanya keluar. Aku yang menempati barisan depan kalau-kalau ada Corpse yang tiba-tiba muncul di depan kami.

Kutengok ke belakang dan Luke rupanya sedang mengamatiku. Pandanganku langsung bertautan dengan miliknya. "Kau masih kuat kan?" tanyaku. Aku berhutang banyak padanya hari ini dan itu membuatku tidak nyaman.

Luke mengangguk pelan. Sekarang ia tidak sebawel tadi, mungkin dia takut dengan ayah, atau bisa juga karena tidak mampu bicara karena terlalu berat membawa ayahku. Lengan ayahku besar dan kau bisa tebak bagaimana bentuknya kalau kau tahu seberapa sering ia membawa pistol dan senjata api lainnya. Kulirik lagi ayahku dan aku baru sadar kalau sejak tadi ia sudah menggenggam pistol di tangan kanannya, tangan yang tidak dikalungkan di leher Luke.

"Kalau ayah tidak bisa menahan sakitnya, bilang saja padaku atau Luke. Kita bisa berhenti sebentar. Di sini tidak terlalu banyak Corpse." Aku menggumam sendiri sementara Luke tidak berekspresi apa-apa. "Oh, ya aku lupa memperkenalkan pada Ayah, ini Luke. Luke, ini ayahku."

Perkenalan sambil berjalan itu terasa aneh tapi mau tidak mau kami harus tetap berjalan. Luke sepertinya merasa canggung karena belum begitu dekat dengan ayahku tapi harus membopongnya pulang. Mau bagaimana lagi? Aku sendiri tidak kuat kalau harus membawa ayahku, dan kalau kami berdua yang membopong, yang ada kami bisa kehilangan waspada saat Corpse datang.

outbreak (l.h.)Where stories live. Discover now