(1) first runaway

423 31 10
                                    

Kelly Gibson

.

Enam bulan sebelumnya.

Aku mengetuk pintu kamar ayahku yang berhadapan tepat dengan pintu kamarku. Aku sudah berdiri sekitar tiga menit namun Ayah belum juga keluar dari kamarnya. Sudah kucoba untuk membuka kenop pintunya tapi hasilnya nihil karena ayahku menguncinya dari dalam. "Yah, kita sudah hampir terlambat! Jangan terlalu lama berdandan." ucapku ke pintu yang membisu.

"Iya, tunggu sebentar lagi Ayah selesai." balas Ayah dengan lantang. Aku tidak mengerti apa yang dilakukannya di dalam. Jarang sekali Ayah menghabiskan waktu lama untuk memperhatikan penampilannya. Ah, mungkin ia sedang mencukur kumis dan merapikan pakaiannya. Aku mencoba berpikir positif saja karena dia ayahku.

Tak lama, Ayah muncul dari kamarnya dan mengikutiku menuruni tangga rumah kami. Pakaiannya sudah disetrika rapi dan tidak terlihat sedikit lipatan pada kemejanya. Tebakanku benar, kumis Ayahku sudah dipangkas habis karena rambut yang menghiasi wajahnya hanyalah rambut yang memutih di kepalanya saja sekarang. Di balik keriput kulitnya, aku tahu dia masih ayahku yang sama, yang tak pernah kehabisan energi apalagi untuk anaknya.

"Kau menungguku untuk sarapan?" tanya Ayah saat melihat roti panggang yang masih utuh di atas piring.

Aku mengangguk. "Ya, aku tidak suka makan sendirian." Setelah jawabanku tersebut, aku dan ayahku menempati kursi dan berdoa bersama sebelum sarapan. Kemudian kami mengambil roti untuk masing-masing dan aku mengoleskan mentega di atas rotiku.

"Jam berapa penerbangan Tom?" Ayahku bertanya walaupun masih ada makanan di dalam mulutnya. Aku mengisyaratkannya untuk menelan terlebih dahulu baru bicara.

"Setengah jam lagi," gumamku setelah melirik jam dinding di samping. "Aku harap dia tidak terlambat seperti biasanya. Aku tidak terlalu suka menunggu di bandara."

Ayah menarik kedua sudut bibirnya dan tersenyum. "Jangan begitu, Kelly. Tom jarang sekali pulang, jadi menunggu sebentar tidak ada salahnya bukan?"

Aku hanya menghembuskan napas panjang dan mengangkat kedua bahuku. Tom, kakakku, memang jarang sekali pulang. Ia terlalu senang menghabiskan waktu di kampusnya yang berada jauh di luar kota. Ya, bisa dibilang Tom adalah mahasiswa yang pintar, nilai indeks prestasinya selama enam semester ini sudah di atas rata-rata. Aku heran kenapa dia bisa begitu padahal makananku dan dia sama namun otak kami tidak berkapasitas sama.

Lima menit kemudian aku sudah mendaratkan tubuhku di jok mobil SUV milik ayahku. Tadinya aku mau meminta ayahku mengendarai mobil kerjanya saja, tapi ayahku tidak sedang dalam tugas dan dia tidak ingin terlihat sebagai polisi kalau sedang libur. Katanya ia ingin sekali-kali terlihat seperti warga kota yang biasa.

Aku mengagumi ayahku yang merupakan seorang kepala polisi di tempat kelahiranku. Apalagi kalau sudah mendengar ceritanya saat mengejar para buronan. Melihatnya menyetir seperti sekarang, menambah rasa syukurku. Kenapa? Pasalnya, Ayah masih mau membesarkanku walaupun harus berjuang sendiri. Ibuku sudah meninggal karena endokarditis yang dideritanya semasa aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Sejak ibu pergi, ayah menjadi uring-uringan.

Tom mengurusku selama beberapa hari sampai Ayah sadar bahwa ia masih memiliki tanggung jawab untuk mengurusku dan Tom. Tom sempat kesal dengan sikap Ayah dan dia akhirnya memaafkan ayah karena ia tahu betapa beratnya posisi Ayah pada waktu itu.

Selama perjalanan, aku hanya bersenandung menyanyikan lagu yang diputar di radio. Kepulangan Tom mungkin bakal menjadi awal yang bagus untuk libur musim panasku. Semester awal di masa perkuliahanku terasa sedikit berat dan mungkin Tom mau membantuku mengerjakan tugas-tugasku, mengingat betapa jeniusnya isi kepala Tom.

outbreak (l.h.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang