#12: Alive Or Just Breathing?

197 49 50
                                    

Benedict Collins

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Benedict Collins


Kalau dipikir-pikir, sebenarnya hidupku ini cukup mengenaskan.

Aku bukan bicara soal dompet, karena yang satu itu siapa sih yang tidak punya, bukan juga soal koleksi wine-ku yang mungkin saja melebihi koleksi abang-abang crazy rich paling rich sekalipun (oke, aku bercanda, kalau yang itu sih tidak mungkin, secara, aku masih belum lulus kuliah dan di bulan-bulan tertentu masih bisa bokek sampai kering dan hanya makan nasi dengan chiki).

Tapi aku bicara soal teman. Sekumpulan makhluk hidup bertingkah laku aneh-aneh yang biasanya kalian ajak nonton film bareng atau mantengin rumah gebetan sambil cekikikan tidak jelas. Jangan coba-coba kalian sebut Kate masuk dalam daftar. Kalau yang itu sih teman seumur hidup karena dia saudari kandungku.

Mau menyebut Noreen, Cora, dan Eric? Yang itu kebanyakan adik kelas semua, bahkan yang paling tua, Eric, masih di bawahku setahun. Di Elysium dan di lingkaran sosialku yang minim itu, aku kebagian peran sebagai induk semang alias tetua yang paling tua. Kalau kami tumbuh tua bersama kelak, aku pasti jadi yang pertama yang bakal kena osteoporosis atau perlu gigi palsu. Akan kuhabisi Kate kalau dia sampai mengirimku ke panti jompo dan bikin berita bodong kalau aku mengidap Parkinson.

Semenjak masuk ke Pelita Cahaya tiga setengah tahun yang lalu, aku memang tidak terlalu bergaul dengan lingkunganku. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena mereka selalu memandangku seakan-akan aku ini orang gila yang hanya mau bergaul dengan orang-orang dari kalanganku.

Sudah bisa membayangkan, kan, apa alasannya? Iya, karena gaya berpakaianku yang—kutekankan sekali lagi—klasik dan berkelas. Banyak orang yang bilang gaya berpakaianku serta Kate terkesan jadul dan ketinggalan zaman, seakan-akan kami tidak ingin beranjak dari tahun 1940-an. Belum lagi, aku juga dengar-dengar kalau namaku serta Kate yang berbau kuno (namun berkelas, tekankan itu), Catherine dan Benedict, seperti nama-nama yang kalian temui dalam jajaran keluarga kerajaan. 

Yah, karena kami sadar kami hidup di tahun milenial yang orang-orangnya lebih suka pakai baju kaus ke mana-mana dan celana jins yang sepertinya sesak di kaki dan tidak nyaman digunakan itu, aku dan Kate memutuskan untuk memberi sentuhan modern pada gaya berpakaian kami.

Biasanya, aku bakal mengenakan dasi bergaya jadul yang terlihat seperti kerang atau bunga, dengan sarung tangan serta dalaman renda dan blazer berekor yang lebih panjang, lengkap dengan kaus kaki putih selutut dan pantofel kinclong, sementara Kate, aku tidak perlu menjelaskan lagi, bayangkan saja cewek-cewek tahun 1920-an yang hobi mengenakan gaun kebesaran berbentuk rata dengan topi fedora mungil beraksen bulu dan aksesoris dari mutiara.

Iya, kami senorak itu.

Tapi kupikir itu karena kami bebas mengekspresikan diri kami seperti yang kami lihat dari saudara-saudara kami yang bersekolah di luar negeri. Lalu aku sadar, kita bukan di luar negeri, bagaimana pun juga kita masih harus mengikuti tren dan opini orang walaupun kami tidak terlalu menyukainya.

PERSONA (2020)Where stories live. Discover now