Bab 8 - A Devil That Born From Angels

3.2K 370 35
                                    

A Devil That Born From Angels

Ketika Adel menjemput Awan jam enam petang itu, pria itu muncul dari kosnya dengan stelan yang rapi. Pun ketika dia masuk ke mobil Adel, ia memakai parfum yang tadi diberikan Adel.

"Besok aku kirim lebih banyak parfum ke rumahmu," kata Adel sembari melajukan mobil.

"Aku bisa beli sendiri," jawab Awan dingin. "Aku juga udah punya uang sekarang."

"Okay, terserah." Adel mengedik cuek. "Ada beberapa hal yang perlu kamu tahu tentang aku. Aku tadi lupa mau ngasih tahu kamu."

Awan tak menjawab, tapi Adel tahu pria itu mendengarkan.

"Kamu udah tahu tanggal lahirku, kan? Well, umurku tiga puluh akhir tahun lalu. Makanan kesukaanku nggak ada. Aku bisa makan apa pun dengan baik, aku bukan pemilih dalam hal makanan. Minuman kesukaan juga nggak ada. Warna favorit dan lainnya yang favorit gitu juga nggak ada. Aku nggak suka hidupku diatur, aku suka kebebasan.

"Umur dua puluh tahun, aku kerja sambilan di kafe dan aku ngerasa cocok dengan kerjaan itu. Tiba-tiba ada orang nawarin investasi ke aku buat bikin kafe. Waktu itu aku naïf, jadi aku terima dengan senang hati. Tapi, dua tahun setelahnya, aku tahu dari mana uang investasi itu dan aku balikin semuanya. Aku mulai dari nol.

"Aku mutusin buat pinjam uang mama sama papaku buat beli kafe pertamaku. Kafe tempat kita ketemu. Dalam dua tahun, aku udah bisa balikin semua uang mereka, termasuk bunga investasinya. Kafeku sukses dan bisa sampai sekarang. Itu yang terjadi selama sepuluh tahun hidupku yang paling penting. Masa kecil atau masa remajaku nggak penting, aku nggak begitu ingat," cerita Adel.

Ketika tak ada tanggapan, Adel menoleh pada Awan. Ternyata pria itu sedang menatapnya. Adel menatap ke depan lagi ketika bertanya, "Ada yang mau kamu tanyain?"

"Apa kamu bahagia sama hidupmu sekarang?" tanya Awan.

Adel terkejut karena pria itu bertanya tentang hal seperti itu. Namun, ia menjawab, "Ya. Aku bahagia. Karena itu, aku nggak mau ngelepasin kehidupanku yang kayak gini. Aku udah tiga puluh tahun dan keluargaku berusaha ngejodohin aku. Jadi, aku mutusin buat nyari suami sendiri. Suami yang aku pengen. Dan itulah yang terjadi sama kita."

"Kalau gitu, aku akan berusaha buat bikin hidupmu terus bahagia," sahut Awan.

Adel mendengus pelan. "Thank you buat kerjasamanya. Aku juga akan ngasih kompensasi yang memuaskan begitu ini selesai."

"Siapa pacar pertamamu?" tanya Awan tiba-tiba.

Adel mengerutkan kening. Ketika mobilnya berhenti di lampu merah, Adel menoleh pada Awan. "Pacar pertama?" Adel berpikir sejenak. "Kalau sekarang anggapannya kamu pacarku, berarti kamu pacar pertamaku."

Awan mendengus. "Nggak mungkin."

"Aku nggak kayak kamu yang butuh pacar buat bertahan hidup," ledek Adel.

Awan terdiam.

"Kenapa? Kamu tersinggung? Aku kan, cuma ngomongin fakta," sebut Adel.

"Iya, kamu benar," jawab Awan, tapi dengan nada dingin.

Adel menghela napas. Ia melajukan mobil ketika lampu berganti hijau. "Dengar ya, Bocah, aku nggak punya waktu ngurusin ngambekmu yang terus-terusan itu. Jadi, meskipun kamu ngambek ..."

"Bocah?" Awan mendengus kasar.

"Cuma bocah yang masih ngambekan kayak yang kamu lakuin itu," singgung Adel.

"Kamu mau tahu apa yang bisa dilakuin bocah ini?" tantang Awan sembari mencondongkan tubuh ke arah Adel.

Adel menghela napas, lalu membelokkan mobil dengan tajam ke pelataran parkir restoran tempat janji temunya dengan orang tuanya. Di sebelahnya, Awan terlempar ke sisi mobil dengan keras. Pria itu mengaduh sambil mengumpat.

Marriage For Sale (End)Where stories live. Discover now