Bab 1 - This F Thirty Thing

7.2K 563 120
                                    

This F Thirty Thing

Adelia Wiratmadja memijat pelipisnya dengan tatapan tertuju ke layar laptop. Ia sedang membaca laporan keuangan kafenya, tapi bukan itu yang membuatnya pening. Seperti enam tahun terakhir, profit kafenya di setiap cabang tak mengecewakan. Kafe yang memiliki puluhan cabang bahkan hingga di luar kota dan pulau, kafe yang susah payah dibangunnya selama sepuluh tahun terakhir.

Namun, bukan itu masalahnya. Adel baru saja genap berusia tiga puluh tahun bulan lalu, tepatnya akhir tahun lalu. Dengan statusnya yang masih single, tidak memiliki kekasih, pun tidak memilik sejarah tentang kekasih, ia sudah terbiasa dengan rumor yang mengatakan ia punya selera yang 'berbeda'. Adel tidak peduli tentang itu juga.

Yang jadi masalah adalah kakeknya. Tony Wiratmadja. Ketua Grup Wiratmadja. Puluhan tahun lalu, kakeknya gagal menjodohkan mamanya dengan pria pilihannya, membuat mamanya memutuskan keluar dari rumah Wiratmadja dan menikah dengan papa Adel atas nama cinta. Kini, kakeknya sepertinya ingin menuntaskan perjodohan itu lewat Adel.

Semalam, ketika Adel mendapat kiriman berkas tentang kandidat calon suaminya, Adel hanya bisa tertawa. Tertawa. Kakeknya memberi Adel saham di grup Wiratmadja dan setelahnya, Adel berfungsi sebagai penguat kekuasaan bagi calon suaminya. Belum lagi, ia harus menjalani kehidupan palsu sebagai istri yang bermartabat dari direktur ini atau CEO itu di grup bla bla bla.

Adel sudah sukses dengan jerih payahnya sendiri. Di atas semua itu, ia bebas. Tidak ada tekanan, tidak ada aturan. Singkatnya, Adel bahagia dengan hidupnya. Ia tidak butuh suami sialan yang akan memanfaatkan sahamnya dan menuntutnya untuk menjadi istri yang sempurna.

Adel menggeram kesal memikirkan itu dan berdiri. Ia menyambar ponsel dan tasnya, lalu keluar dari ruangannya. Siska, sekretarisnya, menghampiri Adel dengan kaget.

"Bu Adel mau ke mana? Apa ada janji mendadak atau ..."

"Aku mau ke kafe," ucap Adel pendek.

Siska mengangguk mengerti. Kalimat itu, tanpa embel-embel mengecek atau audit dan lain-lain, berarti pemberitahuan jika Adel tidak mau diganggu. Adel merogoh ke dalam tasnya mencari kunci mobil, lalu pergi ke basemen parkir VIP, di mana Adel hanya perlu berjalan tiga meter untuk tiba di mobil Audi merahnya.

Ia butuh waktu sendiri di kafenya, kafe pertama yang ia bangun di kota ini, kafe yang sudah seperti rumah baginya. Adel selalu pergi ke sana untuk menenangkan diri. Tanpa menunggu lebih lama, Adel melajukan mobilnya melintasi basemen parkir.

***

Awan Cakrawala, pengangguran tak berguna yang paling beruntung karena bisa hidup menumpang dompet kekasih cantiknya. Seperti saat ini. Awan dan Vida, kekasihnya, duduk di kafe yang populer di kalangan anak muda di kota itu. Awan memesan setidaknya tiga piring makanan dan tiga gelas minuman. Itu semua, tentu saja, dibayar oleh Vida.

Harga diri? Siapa yang peduli? Kalau sampai Awan mati kelaparan, harga diri tidak akan menyelamatkannya. Begitulah ia hidup selama ini.

Awan baru saja akan melahap piring pertama makan siangnya ketika Vida berkata, "Aku mau kita putus."

Tunggu. "Gimana, gimana? Kamu bilang apa barusan?" Awan tak yakin dengan pendengarannya.

"Aku mau kita putus, Wan," ulang Vida.

"Kenapa?" Awan meletakkan sendok dan menegakkan tubuh, memasang pose keren. Pose yang sudah menahan beberapa mantannya untuk putus, meski pose itu hanya berlaku dua atau tiga kali selama masa pacaran sebelum akhirnya ia diputuskan juga. Jika dengan Vida, pose ini sudah ia lakukan untuk ke ... tiga kalinya. Sial.

Marriage For Sale (End)Where stories live. Discover now