Bab 7 - Ada Tapi Tak Terlihat

3.5K 376 33
                                    

Ada Tapi Tak Terlihat

Awan tak tahu kenapa ia tak bisa menghentikan tatapannya yang terus tertuju pada Adel. Untuk pertama kali seumur hidupnya, di depan makanan, Awan lebih mengutamakan menatap wanita yang duduk di depannya.

"Kenapa kamu ngelihatin aku terus?" tanya Adel tanpa mengangkat tatapan dari piring makan siangnya. "Kamu nggak makan? Tadi katanya lapar."

"Iya, emang lapar," jawab Awan, tapi ia masih menatap Adel.

Adel menghela napas, lalu menatap Awan. "Kenapa?"

Awan tersenyum, menggeleng. "Aku nggak nyangka aja, kamu bisa baik juga."

Adel mendengus. "Jangan salah paham. Kalau aku mecat Nugie, dan dia tahu gimana kita ketemu, dia bisa nyebarin cerita itu ke orang-orang. Aku berencana makai kenaikan gajinya buat bikin dia tutup mulut tentang cerita sebenarnya pertemuan pertama kita kemarin."

Awan mengernyit. Apa wanita ini selalu seperti ini?

"Mending kamu buruan habisin makan siangmu karena kita masih harus belanja banyak," kata Adel tajam.

Awan menghela napas. Apa yang ia harapkan dari wanita iblis ini?

"Kamu udah mikirin di mana kamu mau tinggal setelah kita nikah?" tanya Adel.

Awan menggeleng, lalu mulai melahap makan siangnya dengan cepat.

"Gimana kalau kamu tinggal di apartemenku?"

Awan seketika tersedak mendengar itu. Ia terbatuk sembari menepuk dadanya. Adel mengernyit jijik menatapnya, tapi sempat mendorong gelas es teh Awan ke arah Awan.

Awan menghabiskan segelas es teh untuk meredakan batuknya. Ia mengusap matanya yang berair dan berdehem untuk membersihkan tenggorokannya.

"Kamu ... bilang apa barusan?" tanya Awan.

"Kalau kamu belum punya tempat tinggal baru, kamu tinggal di apartemenku aja," ulang Adel.

"Tinggal sama kamu? Tapi, katamu ..."

"Bukan tinggal sama aku," potong Adel tajam. "Apa yang kamu pikirin?"

Awan berdehem. "Trus, maksudmu aku tinggal di apartemenmu ..."

"Di lantai apartemen tempat aku tinggal cuma ada dua unit. Salah satunya aku tempati dan satunya masih kosong. Mending kamu tinggal di sana aja. Jadi, lebih gampang buat kita koordinasi tentang kehidupan pernikahan kita," terang Adel.

Ah, jadi begitu maksudnya.

"Apa ini? Kamu berharap kita tinggal bersama?" Adel mengucapkannya dengan nada jijik.

Awan mendesis kesal. "Aku juga nggak sudi tinggal sama cewek galak kayak kamu," balas Awan.

"Jaga kata-katamu. Kita lagi di tempat umum, dan ini kafeku," Adel mengingatkan.

Awan mendengus sebal. "Kamu urus aja enaknya aku tinggal di mana. Aku nggak begitu peduli, sih. Yang penting, ada tempat buat berteduh pas hujan, berlindung pas panas, dan tempat buat pulang."

Adel mendengus. "Emangnya kamu pernah nggak punya tempat berteduh pas hujan, berlindungi pas panas, dan tempat buat pulang?" cibirnya.

Awan menatap Adel lekat, memutuskan untuk tak menjawab. Adel mana tahu perasaan seperti itu? Wanita itu memiliki segalanya.

Karena itulah, dia selalu bersikap seenaknya dan tak bisa menghargai orang lain. Wanita itu selalu menilai segalanya dengan uang. Meski harus Awan akui, dengan keberadaan uang, orang-orang bisa hidup dengan nyaman.

Marriage For Sale (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang