29.

939 84 11
                                    

Siang itu angin berhembus dengan kencangnya. Bulan Oktober yang sangat khas di London. Semakin hari semakin dingin pula suhu kota itu. Begitu juga suasana hati yang dimiliki oleh laki-laki yang sedang berjalan di trotoar setelah turun dari mobilnya. Langkahnya terlihat terburu-buru dan ekspresi di wajahnya juga tidak terlihat begitu bagus.

Ia menapaki jalan dan berhenti pada sebuah gedung megah dan menjulang tinggi. Ia menurunkan tudung kepala yang sedari tadi menutupi rambutnya yang diikat. Ia melesat menuju lift yang tersedia di lantai dasar gedung itu seakan takut ada yang melihatnya. Untung saja, di dalam lift itu kosong sehingga ia bisa bernapas lega.

Lift itu membawa laki-laki itu ke atas, tepatnya ke lantai sepuluh. Saat keluar lift, ia menggerutu sepanjang perjalanan. Ia melewati beberapa pintu dan berharap segera sampai. Setelah melihat pintu yang diinginkannya, laki-laki itu menghembuskan nafasnya dan mengetuk pintu di hadapannya. Ia berdoa orang yang akan ditemuinya belum kabur dari sana.

Pintu pun terbuka dan kemudian muncul seorang perempuan berambut gelap. Melihat orang yang ditemuinya di balik pintu, perempuan itu terkejut dan langsung berusaha terlihat tenang. Dagunya terangkat dan ia tidak ingin tampak ketakutan di depan Harry.

"Ah, kau Harry, silahkan masuk." kata perempuan itu. Dari nadanya, Harry tahu kalau perempuan itu cukup senang dengan kehadirannya di situ. Harry memasuki ruangan dan mengingatkan dirinya ia tidak boleh jauh-jauh dari pintu keluar.

"Tumben sekali, kau merindukanku?" tanya perempuan itu sambil menyeringai. Perempuan itu memang tidak mengundang Harry dan ia tidak perlu melakukan itu karena sejujurnya saja, Harry tidak mau ke tempat itu kalau ia tidak terpaksa.

Harry ingin sekali langsung mengatakan apa yang ia tahan daritadi, tapi ia tahu pembicaraannya dengan perempuan ini tidak pernah berakhir dengan waktu kurang dari satu jam. "Tidak." jawab Harry cepat.

Perempuan itu mendesah dan bertanya, "Lalu ada apa?"

"Tolong jauhi aku dan Gi." ujar Harry tanpa ragu. Akhirnya Harry bisa mengucapkan apa yang daritadi memenuhi otaknya sepanjang perjalanan menuju ke flat yang ia injak saat ini.

Kendall tertawa hambar. "Jadi, kau kemari hanya untuk mengatakan itu? Ya ampun, Harry, kau repot-repot sekali." Kendall tidak habis pikir dengan Harry yang mau menghampirinya hanya untuk Gi yang biasa saja.

Tangan kanan Harry mengepal namun ia menahan amarah dalam dirinya. "Iya, aku cuma minta kau menjauhiku dan Gi. Bukankah itu hal yang mudah?"

"Tidak mudah, Harry. Kau perlu melakukan beberapa hal agar aku bisa melakukannya. Kau tidak tahu betapa aku menyayangimu, Haz." kata Kendall. Sebenarnya ia ragu apakah ia benar-benar menyayangi Harry.

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu." sela Harry dengan jijik.

Kendall memutar bola matanya. "Terserah, yang jelas aku tidak bisa menjauhimu."

"Kalau begitu, jauhi Gi. Apa susahnya menjauhi seseorang? Kau bahkan tidak mengenalnya."

Kepala Kendall menggeleng ke kanan dan kiri. Ia duduk di sofa sementara Harry berdiri menyandar ke tembok flat Kendall. "Kau salah, Harry. Aku mengenalnya, bahkan lebih mengenalnya daripada kau mengenal Gi."

Harry mengerutkan alisnya. "Mengenalnya lebih dari aku? Kau aneh."

"Tidak, memang benar kenyataannya seperti itu. Aku sudah tahu bagaimana dia yang asli kan." balas Kendall dengan senyumannya yang memuakkan.

"Kau tidak mengenal Gi sama sekali. Jangan berlagak seperti itu." kata Harry.

"Sebetulnya, apa yang kau lihat dari Gi?" Kendall mengalihkan pembicaraan.

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang