54.

546 60 26
                                    

Gi melangkah dengan gontai keluar dari bar.

Liam merangkul bahu Gi dan menjaganya agar gadis itu tetap berada di sisinya. Keadaan Gi yang sekarang membuat Liam hanya bisa menelan ludah dan tetap hening sampai gadis itu memutuskan untuk bicara lebih dulu. Ia takut semakin merusak suasana hati Gi.

Alkohol belum terlalu mempengaruhi isi kepala Gi. Rasanya ia ingin menenggak lebih banyak lagi, siapa tahu wajah Harry yang terlintas di pikirannya bisa sirna. Kalau Liam tidak menahannya, mungkin dia sudah menghabiskan satu botol untuk dirinya sendiri.

"Kenapa kau menahanku sih?"Gi menyenggol tubuh Liam dengan lengannya.

Liam menengok ke arah Gi sambil masih terus berjalan di trotoar. "Aku tidak mau ada satu korban di dalam bar itu hanya karena kau terlalu mabuk. Terlalu menarik perhatian."

Mereka terus berjalan sampai Gi menghentikan langkahnya di taman tempatnya bersama Niall dan Tia menghabiskan makan siang mereka. "Aku tidak mau pulang." Gi memberengut ke arah Liam. Ia mengancingkan mantelnya rapat tanpa menghiraukan wajah bingung Liam.

"Lalu mau ke mana?"

"Ini malam pergantian tahun baru, kalau langsung pulang pasti semua orang di rumah bertanya-tanya." Gi mengalihkan pandangannya ke sekitar. Taman itu tidak terlalu sepi. Banyak orang yang menongkrong menunggu jam dua belas datang dan menantikan kembang api."Kita di sini saja, tifak apa-apa kan?"

Liam mengangguk. "Boleh saja, asal setelah jam dua belas kita langsung pulang. You need some rest."

Gi mendengus sambil berjalan ke salah satu bangku taman yang kosong. "Aku baik-baik saja, Li. Aku tidak mabuk dan aku sehat."

"Yakin? Jangan suka membohongi diri sendiri," Liam ikut duduk di samping Gi dan memperhatikan lingkaran gelap di mata Gi yang sudah berada di sana sejak beberapa hari terakhir. "Lebih baik kau beritahu aku, apa yang tadi kau bicarakan dengan Harry?"

"Kau benar-benar ingin tahu ya?" Gi memicingkan matanya ke arah Liam.

"Ya, bagaimana aku tidak penasaran kalau setelah menelepon kau langsung meneguk alkohol tanpa berpikir." timpal Liam.

Gi diam sebentar menatap Liam lalu mengalihkan pandangannya ke air mancur yang berada tidak jauh di depannya. Beberapa orang berkumpul bersama sambil membawa kaleng bir di tangan mereka. Tawa tampak jelas di wajah mereka, sangat kontras dengan suasana hati Gi saat ini.

"I break up with him," Mata Gi masih menerawang jauh ke kumpulan orang di dekat air mancur. "Kurasa memang sebaiknya aku berpisah dengannya, supaya dia bisa lebih leluasa bertemu dengan Kendall. Ya kan?"

"Ini rasanya tidak benar Gi," Liam mendesah. "Pasti ada alasan lain kan?"

Sorot mata Gi menggelap. Ia menunduk memilih tidak mempertemukan matanya dengan milik Liam. Keputusan itu sudah bulat, sudah ia pertimbangkan dari sebelum Harry meneleponnya tadi. "Aku tidak suka pria yang mendua, Li. Tadi saja dia tidak mengelak saat aku bilang ceritanya dan yang sudah beredar sama. Kalau memang kenyataannya berbeda kan pasti dia membantah kalimatku."

Liam membuka mulutnya untuk menyela Gi. Tapi Gi mengacungkan telunjuknya ke depan wajah. "Jangan memotongku, Payno, aku belum selesai," kata Gi. "Aku takut kalau aku tetap bersama Harry, dia akan melakukan hal yang sama. Kepercayaanku ini disalahgunakan dan aku tidak bisa menerima hal itu.

"Dia sudah berjanji padaku kalau akan mengabariku selama kami tidak bertemu. Tapi nyatanya, aku tahu dia bertemu Kendall dari internet, bukan dari Harry yang sudah janji denganku. Kalau ternyata dia sembunyi-sembunyi bertemu dengan Kendall selama aku masih di London, bagaimana?"

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang