CHAPTER 21

47.5K 1.9K 237
                                    

BACA DARI AWAL DULU KARENA BANYAK YANG DIRUBAH!!!

Seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, Alex datang lima belas menit lebih telat dari janji awalnya di telpon. Padahal, dia jelas-jelas tahu kalau orang tuaku paling benci orang yang suka datang terlambat.

Untung saja, hari ini orang tuaku agak sibuk mengurusi soal televisi mereka yang tiba-tiba saja layarnya mati dan tak mengeluarkan gambar. Papa sok ahli dengan membuka bagian belakang telivisi, tapi akhirnya juga menyerah karena televisi itu tetap rusak, walaupun diotak-atik sedari tadi. Alhasil, mama mengomel beberapa menit karenanya. Soalnya, dari awal memang mama sudah menyarankan papa supaya memanggil tukang servis saja. Tapi ya... namanya juga papa, dia ingin menunjukkan keahliannya memperbaiki sesuatu.

Pintu diketuk dari luar ditengah-tengah omelan mama. Sudah pasti Alex, pikirku, maka akupun membuka pintu segera.

Seikat bunga mawar disodorkannya, saat aku membuka pintu. Meskipun aku tahu ini hanyalah bagian dari kepura-puraan Alex, tapi hatiku masih saja bereaksi dengan jurus klasik macam ini. Pipiku pun terasa panas saat menerima bunga itu dari tangannya dan melihat wajah si pemberi yang tersenyum.

Nampaknya satu kejutan saja tak cukup, karna saat aku hendak menaruh bunga tadi ke belakang, Alex malah menangkap bahuku dan menyampirkan lengannya di situ, layaknya pasangan sungguhan. "Tersenyumlah!" bisiknya.

Hampir saja senyumku mengembang. Tapi mama malah menatap kami dari atas ke bawah dengan tatapan curiga. Seakan-akan ekspresi wajahnya mengatakan 'kalian ngapain? tingkah kalian aneh sekali' ke arah kami berdua. Senyumku pun pudar.

"Duduk kalian sini cepat. Nggak perlu saling berpelukan gitu. Aneh... kok tiba-tiba sok romantis kalian! Biasanya juga bertengkar di kamar belakang gara-gara tugas kelompok atau taruhan main karambol kalah. Makanya itu papa dan mama merasa aneh kalau tiba-tiba kalian memutuskan nikah kayak gini!" tegur mamaku yang memang mempunyai sifat yang blak-blakan.

"Hmmm... biasalah tan. Tresno jalaran soko kulino (cinta karena sudah terbiasa). Walaupun sering bertengkar, tapi kan kami sudah menjadi sahabat selama bertahun-tahun. Di situlah lama-lama kami sadar kalau kami sebenarnya saling mencintai. Ya kan, An?!" Alex mengedipkan sebelah matanya padaku dengan genitnya. Aku sampai harus mengingatkan diriku bahwa ini hanya pura-pura dan aku tak boleh terbuai karenanya.

"Hehehe iya. Percaya dikit kenapa sih, ma. Toh kata orang bijak... cinta itu datangnya tak bisa diprediksi. Kadang hari ini cuma teman biasa. Tapi lain waktu bisa jadi kekasih dan akhirnya menikah."

"Tapi... kenapa secepat ini memutuskan menikahnya? Kalian pacaran aja enggak!" tegur papa, masih dengan raut wajah curiga.

"Toh uda saling mengenal lama, pa. Ntar pacarannya pas nikah aja. Lagian, ngapain lagi menghabiskan waktu kalau sudah yakin. Banyak kok yang pacaran lama, ujung-ujungnya malah cerai," jawabku langsung. Sebenarnya aku sudah menyiapkan jawaban ini sejak tadi siang, sepulang dari kantor Alex. Aku tau hal ini akan jadi salah satu pertanyaan papa atau mama.

Papa tampak sedang mempertimbangkan kata-kataku dan Alex. Untungnya, papa akhirnya menyerah dan berhenti menginterogasi kami berdua. Hanya mama saja yang masih terus saja melontarkan pertanyaan-pertanyaan menjebak untuk membuktikan kalau kami hanya berpura-pura.

"Sudahlah, ma... percuma kamu terus nyelidiki mereka. Toh anak jaman sekarang kalau sudah keinginannya, biasanya dihalang-halangi juga, mereka akan cari cara sendiri untuk mewujudkannya. Daripada nanti kawin lari, tambah bingung nanti kita. Biarkan aja mereka melakukan apa yang mereka. Asal... nanti kalau terjadi apa-apa, harus bisa bertanggung jawab sendiri. Jangan bawa-bawa orang tua. Lagipula Alex juga bukan anak yang tak bertanggung jawab. Dia mana mungkin menyia-nyiakan anak kita!"

Alex langsung menatapku setelah mendengar perkataan papa. Raut wajahnya mengatakan betapa tak nyamannya dia setelah mendengar itu. Mungkin di lubuk hatinya, dia merasa bersalah, karena sebenarnya apa yang kami tampilkan saat ini, hanyalah sandiwara belaka.

Akhirnya mama pun melembut. Dia mencoba untuk memahami dan merestui kami. Makan malam pun dihidangkan setelah restu itu diberikan. Sekarang tinggal mempersiapkan pernikahan itu sendiri. Semoga aja semua berjalan mulus sampai hari pernikahan nanti.

.

"Mana Alex? Dia nggak ikut fitting baju pengantin hari ini?!" tanya mama Alex saat melihat aku sampai sendirian di depan butik pakaian pengantin miliknya.

"Masih sibuk kerja katanya. Nanti dia nyusul ke sini, kalau kerjaannya sudah selesai. Nggak apa-apa, tan. Kita mulai aja dulu tanpa Alex," jawabku sambil tersenyum. Hatiku sebenarnya sedang tak enak. Tadi sebelum pergi ke butik mama Alex, aku sengaja menelponnya agar dia mau sekali aja hadir dan ikut serta dalam persiapan pernikahan kami. Tapi tak kusangka dia malah membentakku di telepon. Dia berkata kalau pernikahan ini ideku, jadi akulah yang seharusnya mengurus ini sendiri tanpanya. Dia bahkan menambahkan kalau macam apapun gaun pernikahan yang akan aku pakai nanti, takkan ada artinya baginya. Matanya lebih ingin melihat Erna dalam baju pengantin dan bukan diriku. Merasa kata-kata itu mulai menyakitiku, aku pun langsung mematikan panggilanku. Sekali lagi, aku harus menjalani ini sendirian.

"Anak itu memang... masak kerjaan lebih penting daripada persiapan pernikahannya sendiri. Tunggu... biar mama telpon dulu!" Mama Alex mengambil ponselnya dari meja, tapi aku langsung melarangnya. Menurutku, toh nggak ada gunanya memaksa orang yang sudah menyatakan keberatannya untuk hadir bersamaku.

"Nggak usah, tan. Aku sudah menghubunginya tadi kok. Lagian aku harus cepat-cepat. Ada anak yang harus dikunjungi hari ini, karena sudah lewat dari tiga hari absen tanpa kabar. Ayo tan, baju mana yang harus aku coba dulu." Aku melangkah ke dalam penyimpanan baju-baju pengantin untuk melihat-lihat serta menunggu karyawan tante mengambilkan baju pengantinku yang sudah jadi. Itu aku lakukan supaya mengalihkan perhatian tante dari anaknya.

Gaun putih indah dengan renda di bahu dan di bawah kelipan gaun, dibawa kehadapanku. Memang design gaun seperti inilah yang aku pilih sejak awal. Tapi aku tak menyangka... saat gaun yang aku pesan itu benar-benar jadi, tampilannya jauh lebih indah daripada yang kulihat di majalah.

Tanganku tanpa sadar menyentuh dan menelusuri bahan gaun itu yang lembut dan mengagumi rasa yang diakibatkan oleh gaun itu di kulitku, padahal aku bahkan belum memakainya.

"Tunggu apalagi. Kok diam saja? Cepat pakai supaya kita lihat pas atau tidak. Karena jika tidak, kita biar bisa memperbaikinya," celetuk tante saat melihatku menyentuh gaun itu.

Tapi rasanya gaun itu sedikitpun tak perlu diperbaiki. Karna begitu aku memakainya, gaun itu melekat erat di tubuhku seakan telah menemukan pemiliknya. Aku menyukainya... sangat menyukainya.

"Wow... bagus sekali, An. Cocok sekali di badanmu. Tinggal milih aksesoris dan riasan wajah serta rambut yang tepat, kau akan tampil memukau dengan gaun itu."

"Iya... aku juga suka gaun ini. Cuma nggak tau... pantas nggak aku menggunakan gaun yang indah dan mewah seperti ini." Aku menyentuh lagi bagian pinggang gaun itu dan merasa mulai lebih lagi mengagumi gaun ini.

"Pantas kok. Aku jamin Alex pasti melongo melihat kau secantik ini nanti waktu muncul di depannya saat di altar."

Aku meragukannya, batinku. Aku tau aku tidak kelihatan jelek saat memakai gaun ini. Tapi jika dibandingkan Erna, tentunya aku bukanlah apa-apa. Masalahnya, Alex jauh lebih ingin melihat Erna di acara pernikahan nanti dan bukanlah aku.

***

PERNIKAHAN PARO WAKTU  [#wattys2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang