5. DEPRESI

44.7K 1.1K 53
                                    

BACA DULU DARI AWAL KARENA BANYAK YANG DIRUBAH!!!

Setelah hari itu, sikap Alex menjadi susah di dekati dan lebih tertutup dari sebelumnya. Seringkali bahkan dia tidak mau merespon saat di ajak bicara. Hal ini berlanjut sampai berhari-hari. Siapapun tidak bisa mendekatinya. Bahkan orang tuanyapun, tak bisa membujuknya. Aku berusaha membawakan jajanan kesayangannya dan DVD film-film terbaru yang biasanya dia suka, tapi itu pun tak mengubah pendirian si keras kepala itu. Dia lebih memilih bertapa di kamarnya dan sudah tak mau lagi menyentuh peradaban.

Aku menggigiti sandwich yang seharusnya kuberikan pada Alex sambil berpikir bagaimana mengubah kekeras kepalaan sahabatku itu, yang mulai membuatku ikut-ikutan emosi. Tapi nihil. Selalu saja hasilnya nihil. Bocah menyebalkan itu tetap saja bersembunyi di dalam kesunyian kamarnya dan tak mau bertemu dengan siapapun.

Puncaknya adalah saat suatu hari aku datang menjenguk Alex sepulang sekolah seperti biasanya. Tiba-tiba terdengar kegaduhan di lantai atas. Kontan saja, aku langsung berlari ke atas untuk melihat apa yang terjadi. Di sana, aku melihat Alex sibuk melempari barang-barang dari kamarnya ke dalam gudang. Aku penasaran ingin tau apa yang sedang dilakukannya. Betapa terkejutnya aku saat melihat beberapa gitar mahal koleksinya dan barang-barang kenangan Erna rusak berantakan di dalam gudang.

"Alex... Hei! Hentikan! Kamu sudah gila ya?!" teriakku seraya berusaha merebut barang yang ingin di lemparkannya. Celakanya barang itu berat dan hampir saja jatuh mengenai kakiku.

"Minggir!" hardiknya sambil mendorongku menjauh. Dia bahkan tak peduli kalau aku hampir terjatuh karenanya.

Bukan Anna namanya kalau menyerah begitu saja. Dengan sigap aku berdiri di belakangnya dan berusaha menarik tangannya, supaya dia berhenti membuat kegaduhan di rumah itu. Tetapi dengan gampangnya dia melepaskan diri dariku dan melanjutkan kegiatannya melempar-lemparkan barang. Tanganku kemudian meraih bagian belakang kaosnya dan menariknya kuat hingga akhirnya kami berdua terjengkang ke lantai.

"Kamu apa-apaan, An? Jangan ikut campur. Keluar sana!' teriaknya sambil berusaha bangkit dari lantai tempat dia terkapar bersamaku.

"Kamu yang apa-apaan??? Aku selama ini sudah berusaha sabar dan menahan emosiku. Tapi ini benar-benar sudah keterlaluan,"teriakku balik sambil tetap menarik kuat kausnya sehingga Alex kembali terkapar di lantai.

"Anna sekali lagi aku bilang....KELUARRR!!!" Mau berteriak macam apapun. aku takkan mundur dan membiarkan dia bertingkah seenaknya.

"NGGaakkk!!! Nggak mau! Aku akan tetap di sini dan mengubah sifat burukmu yang sudah membuat banyak orang tersiksa!"

Harusnya Alex ini sadar, pikirku. Masih bagus orang tuanya mau ngeladeni emosinya yang naik turun setiap waktu, nggak karu-karuan. Kalau di rumahku, dia sudah dibuat pecel lele sama mamaku. Boro-boro bertingkah depresi, nangis aja langsung disuruh kerja bersihin rumah. Alasanya biar sedihnya nggak jadi muncul, karena sudah digantikan capek.

"BUKAN URUSANMU! PERGI!!!" teriaknya kembali sambil tiba-tiba menarik kausnya lepas dari tanganku. Tapi karena gerakannya terlalu tiba-tiba dan hentakannya keras sekali, tanganku jadi terasa luar biasa sakit.

"Auwww....tanganku, patah jangan-jangan ini!" erangku kesakitan. Sebenarnya aku bereaksi berlebihan sih. Tanganku cuma sakit sedikit saja. Tapi biar si bocah yang lagi stres ini jadi kasihan aja melihatku.

Mendengarku merintih kesakitan, dia langsung berbalik dan memegang tanganku.

"Sorry! Sorry! Aku nggak sengaja. Yang mana yang sakit, An? Kamu sih dari tadi nggak mau minggir," serunya khawatir sambil terus memeriksa kedua tanganku.

"Tangan...tanganku sakit sekali." Sekali lagi aku berbohong. Aku bahkan berpura-pura merintih kesakitan untuk mendramatisir keadaan.

"Yang mana? Yang sebelah sini ya?" tanyanya sambil memeriksa tanganku yang sebelah kiri. "Atau gini aja deh. Kita ke rumah sakit aja. Daripada nanti tambah parah trus jadi kayak tanganku. Ayo! Kamu bisa berdiri kan?" dia mengulurkan tangan ingin membantuku berdiri.

"Harusnya seperti ini, lex." seruku seraya memegang tangan yang diulurkannya kepadaku erat-erat. Dia menatapku bingung, karena mengira tangan yang menggenggamnya itulah tangan yang sakit.

"Harusnya sama seperti aku menyambut uluran tanganmu, seperti itu jugalah seharusnya kamu membuka hatimu, membagi kesedihanmu dan membiarkan aku menanggungnya bersamamu, lex."

Alex terdiam. Dia tidak lagi berteriak-teriak atau bahkan mengusirku. Dari pandangan matanya, tampaknya dia tahu apa yang kumaksudkan.

"Aku tau kamu menderita, lex. Aku juga tau kamu sedang membangun tembok tinggi-tinggi dan menutup hatimu rapat-rapat agar orang lain tidak bisa melihat ke dalam hatimu dan tau tentang semua kesedihan dan luka-luka yang kamu simpan. Tapi biar kuberi tau teman... dengan begitu malah lukamu akan semakin membesar dan kesedihanmu akan semakin menjadi-jadi."

Perkataanku terhenti saat melihat air mata menggenang di kedua matanya. Hatiku menjadi iba melihatnya. Tadinya memang aku ingin menjotos hidung temanku ini, tapi melihat kesedihannya, hatiku pun jadi luluh. Aku sadar dia sedang terluka dan reaksi kasar yang diberikannya tadi adalah sebagai tameng untuk melindungi luka-lukanya dari serangan yang lebih menyakitkan lagi.

Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya yang selanjutnya lah yang membuatku terkejut

"Kau menipuku!" hardiknya sambil menekankan tangannya ke pergelangan tanganku. "Aku pikir tadi kamu beneran cidera tau! Kalau kayak gini kamu pulang aja deh."

"Dasar kepala batu! Kamu ini terkenal cerdas tapi kenapa akhir-akhir ini malah jadi bodoh! Aku ini sahabatmu Alex. Kalau lelah... bersandarlah padaku. Jangan di tahan-tahan! Jangan di tutup-tutupi! Ceritakan semua! Bagikan semua yang kamu rasakan! Aku nggak akan menghindar atau menutup telingaku. Aku-"

Tiba-tiba saja dia melingkarkan tangannya ke pundakku dan memelukku. Dia bahkan menyembunyikan wajahnya ke leherku. Jenggot-jenggot kecil yang mulai tumbuh di wajahnya menggesek kulit lembut leherku seketika dan membuatnya memerah. Tak pernah sebelumnya, seorang cowok melakukan ini padaku. Pipiku pun memerah sebagai efek dari sentuhan yang tak aku duga itu.

Semua kata-kata yang ingin aku katakan, seketika itu juga berhamburan dari otakku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan jantungku berdebar nggak karuan. Gelombang perasaan aneh pun perlahan meliputiku. Perasaan seperti ingin menangis dan melompat kegirangan pada waktu bersamaan. Aku bingung. Padahal seharian, aku baik-baik saja. Perasaan aku sehat dan sedang tak mengidap penyakit apapun akhir-akhir ini. Lantas mengapa tiba-tiba saja aku merasa panas dingin dipeluk begini.

Detik demi detik pun berlalu tapi perasaan tersebut malah semakin kuat. Karna penasaran, aku membiarkan saja semua perasaan tersebut dan mencoba perlahan mengenalinya. Hatiku menghangat seiring waktu. Seakan saat ini, Alex bukannya memeluk tubuhku, tapi malah hatiku. Ini pengalaman yang baru bagiku. Aku tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya.

Seketika itu juga, aku teringat dengan novel-novel romantis koleksiku. Aku pernah membaca hal ini sebelumnya, pikirku. Gejala yang aku alami mirip seperti yang pernah dialami Juliet dan tokoh tokoh perempuan lainnya dalam novel saat bertemu dengan kekasihnya. Akhirnya aku mengenalinya...

Bahwa perasaan yang merayap perlahan di hatiku ini... adalah... CINTA.

***

PERNIKAHAN PARO WAKTU  [#wattys2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang