CHAPTER 16

48.9K 1.3K 237
                                    

BACA DARI AWAL KARENA BANYAK YANG BERUBAH!!!

Mama? Dikira dia ibunya kali! Ibu kok ngejual anaknya!

Lima menit kemudian, Erna muncul. Dia memandang wanita di depanku dan setelah itu terkejut saat mendapatiku juga di sana. "Ya ampun... beneran datang to kamu! Gila ya... uda dibilangin... masih nggak mau dengerin!"

"Lha iya... temanmu ini bilang katanya mau ngeluarin kamu dari sini! Ide dari mana ini? Kamu yang nyuruh ta?!" tanya si wanita tadi sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.

Wajah Erna memucat. Dia menjawab dengan suara yang bergetar, "Enggak, ma. Anak ini yang kurang kerjaan sendiri. Nggak tau juga kenapa dia tiba-tiba jadi begini!"

"Sadar napa sih, Er. Kamu ditipu sama perempuan ini! Gimana kalau nanti kamu terkena penyakit menular di sini. Emang dia mau tanggung jawab! Mau tanggung jawab pun percuma menurutku kalau kamu sudah digerogoti penyakit kayak gitu. Makanya sebelum terlambat, kau harus mau aku ajak keluar dari tempat terkutuk ini!" Aku mengibaskan tanganku di depan hidung, untuk menyatakan rasa jijikku akan tempat ini.

"Keluar? Emang kamu punya uang untuk membayar ganti ruginya! Aku nggak punya uang sebanyak itu, tau!" semprot Erna kesal sambil sesekali melirik ke arah wanita yang dipanggilnya mama itu.

"Ngapain bayar... sudah aku bilang ini penipuan! Kita bisa lapor polisi sekarang kalau kau mau dan memasukkan orang-orang ini dipenjara! Bukannya bisnis semacam ini melanggar hukum?!"

"Oh... ngancam ya kamu! Kamu pikir mudah melaporkan kami! Kami punya banyak pihak berwenang yang sudah kami suap dan siap untuk membantu kami kalau ada masalah-masalah seperti ini! Jadi percuma aja!" Wanita paruh baya itu menunjuk-nunjukku lagi, kali ini dengan rokoknya.

"Kalau memang dia yang maksa buat nyuruh saya keluar dari sini, ya suruh aja dia ma yang bayarin semua uang ganti rugi itu. Kalau aku jelasnya nggak mau," seru Erna untuk memojokkanku.

"Aku nggak ada uang sebanyak itu, Er. Kalau sepuluh juta aku masih bisa bantu. Atau gimana kalau kita sama-sama menceritakan ini ke Alex. Aku rasa uang segitu bukanlah uang yang banyak untuknya. Aku jamin dia pasti bisa bantu!" jawabku bersemangat.

"Nggak perlulah. Ngapain menyeret-nyeret Alex. Kamu aja cukup kok. Ma, siapkan anak buah. Hari ini kita punya wanita penghibur yang baru."

Tiba-tiba saja dua pria berbadan tinggi besar, masuk ke dalam dan memegang kedua lenganku erat. Aku memang terlalu menganggap remeh orang-orang yang bekerja di bar, tempat Erna bekerja ini. Walaupun memang aku tak pernah menyangka Erna bisa menjebakku seperti ini. Teman yang pernah menemaniku kemana-mana dan berbagi cerita denganku, kini menganggapku bagaikan mangsa yang bisa dipakainya untuk menguntungkan dirinya sendiri. Tidakkah dia ingat kenangan kami dan betapa eratnya persahabatan kami dulu. Kami bahkan pernah berjanji akan saling menjaga seperti saudara kandung. Terlebih lagi karna kami berdua adalah anak tunggal dan tak mempunyai kakak maupun adik. Itulah yang membuat persahabatan kami menjadi dekat, hampir seperti saudara sedarah.

Erna menatapku dengan senyuman khasnya saat aku diseret ke lantai atas, ke sebuah kamar yang bernuansa merah muda dengan lampu berkelap-kelip dan menyilaukan mata. Para pekerja itu melemparkanku ke atas ranjang dengan kasarnya. Tanganku sampai terasa nyeri saat diputar tadi ke belakang dan didorong begitu saja ke atas tempat tidur. Anehnya, ranjang itu tiba-tiba bergelombang dan bergoyang saat tubuhku sampai di atasnya. “Ranjang air itu namanya! Cewek nggak berpengalaman kayak kamu, ngerasain ranjang air aja paniknya setengah mati!”

Kesal mendengar perkataan Erna barusan, aku bangkit berdiri dan mendekati wanita itu. “Salah! Justru itulah bedanya wanita baik-baik dan wanita murahan. Sayang sekali wajahmu itu, Er. Kecantikanmu kau jual murah sekali. Belum termasuk harga diri yang sudah tak ada harganya lagi. Aku bayangkan apa kata Alex nanti saat tahu wanita yang bahkan belum pernah disentuhnya, sudah menjajakan dirinya ke banyak pria hanya untuk segepok uang. Pakailah alasan apapun untuk menutupi betapa murahnya dirimu, tapi sekarang aku tak terkesan. Aku memang salah datang kemari untuk menyelamatkanmu. Mana kutahu kau sudah berubah menjadi sebejat ini. Kupikir kau masih temanku seperti dahulu. Kalau aku tahu kotornya hatimu itu, aku nggak akan menghiraukanmu tadi. Memang hanya perempuan kotor kayak kau inilah yang bisa berpikir untuk menjual temannya sendiri!”

“Wes nggak usah banyak ngomong. Lepas aja bajumu, biar bisa aku foto. Laki-laki biasanya langsung tertarik membeli kalau sudah lihat dalamannya. Ayo cepat… atau perlu aku bantu? Sini!” Erna memegang resleting rokku dan berusaha menurunkannya ke bawah. Kontan aku meremas tangannya dan menariknya kuat hingga terlepas dari resleting rokku. Tak ada orang lain di kamar itu, hanya aku dan Erna, itulah yang memudahkanku melawan iblis betina ini. Kupelintir tangannya ke belakang dengan tangan kananku. Dan kupeluk dia dari belakang sambil mendekatkan silet yang aku keluarkan dari dalam tasku ke lehernya dengan tangan kiriku.

Erna memekik ngeri melihat silet yang ada di lehernya itu, “Gila kau ya! Kau mau membunuh orang ta di sini?!”

Aku mendorongnya sampai keluar kamar sambil berkata, “Terbunuh pun kau, aku masih bisa mengatakan kalau aku sedang membela diri. Toh banyak orang akan membelaku kalau kuceritakan pada mereka yang sebenarnya. Skarang keluar cepat!”

Terlihat wajah para pekerja dan mama si pemilik bar yang terkejut saat kami keluar. “Nak Anna… ada apa ini?! Tenang dulu… kita bisa membicarakan ini baik-baik,” bujuk si pemilik bar dengan senyum yang penuh dengan kecemasan.

“Aku bukan anakmu! Buka pintu depan dan jangan ikuti kami!” Aku mendorong Erna sampai ke pintu depan dan menyuruhnya keluar menuju parkiran toko swalayan di dekat bar itu. Setelah sampai di depan motorku, aku menyuruhnya naik ke depan motor dan memboncengku sampai ke depan rumahku. Aku tak mau kalau aku membiarkannya pergi, anak buah si mama tadi malah mengejarku di jalan. Kalau Erna yang menyetir, aku hanya tinggal menusukkan silet, yang sebenarnya sudah dimasukkan ke tempatnya itu, ke punggung Erna.

Sesampainya di depan rumahku, Erna bingung harus melakukan apa. Karna papaku ada di depan saat kami datang dan mengajak Erna mampir untuk makan malam bersama. “Nggak usah, pa! Dia ini masih harus kerja dulu,” seruku melarang papaku. Justru sekarang aku yang nggak mau satu ruangan dengan wanita murahan itu.

Erna pun tersenyum kikuk dan pamit pada papaku. Sambil menunggu ojek online datang, Erna bersandar di depan pagar rumahku sambil gelisah karena baju super mininya itu, menarik perhatian orang yang lalu lalang. Kali ini dia pasti baru mengerti bahwa baju yang sedang dipakainya jauh dari kesan menarik. Yang ada justru baju itu hanya meneriakkan kata MURAHAN pada semua orang yang melihatnya.

“Kasihan lho temanmu harus pakai kostum kayak gitu. Perusahaan apa sih yang menyuruh pegawainya berpakaian begitu malam-malam begini? Dia kerjanya sebagai Sales Promotion Girl ya? Kasihan banget… pasti malu banget berpakaian gitu. Pinjamin jaketmu, biar nggak diliatin orang dia!” celetuk papaku saat kami ada di dalam rumah dan melihat banyak orang lewat yang melihat ke arah Erna.

“Nggak perlu. Dia nggak suka dikasih jaket. Tadi sudah aku coba. Biarin aja dia. Toh memang sudah menjadi pekerjaannya,” jawabku sambil menutup pintu dan menarik tirai agar menutupi jendela rumah kami. Biar tak ada yang mengira wanita murahan di depan itu, ada hubungannya dengan keluarga kami.

***

PERNIKAHAN PARO WAKTU  [#wattys2022]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang