16

1.1K 53 0
                                    

Won't give up 
Even though it hurts so much 
Every night I'm losing you in a thousand faces 
Now it feels we're as close as strangers
~5 Seconds Of Summer ‘Close As Strangers~
***
Cassie dan Aldi tentu saja akan terlihat awkward bila diperhatikan. Ternyata, mereka berdua mengakhiri hubungan di hari yang sama ketika Cassie mendapat tugas seorang diri dari Steffi. 
Dan kalian tahu? Ia menjalankan tugas itu bersama Karel dan teman-temannya, karena pria itu masih punya sedikit masalah dengan (namakamu).
Dan tugas dari Steffi hari itu berhasil. Besoknya (namakamu) dipanggil oleh kepala sekolah, tapi sayangnya... gadis itu tidak dikeluarkan dari sekolah. (namakamu) hanyalah mendapat hukuman dari sang kepala sekolah, apalagi ia ditemani Iqbaal yang otomatis membuat mereka makin dekat. 
Steffi masih harus menyiapkan rencana lainnya, ia tidak bisa diam saja melihat gadis itu asik bersama Iqbaal yang tidak lagi memedulikannya.
Hari ini, Cassie, Bella, (namakamu) dan Aldi duduk bersama di satu meja kantin. (namakamu) duduk disamping Aldi, sedangkan Cassie duduk dihadapan (namakamu) bersama Bella. 
Sudah beberapa hari ini (namakamu) tidak melihat Iqbaal dikantin, setidaknya ia tidak pernah bertemu dengan pria itu disini. Yang (namakamu) tahu, setiap jam istirahat pria itu lebih memilih masuk ke ruang seni dan berteleponan saat berjalan.
‘Coba jauhin Iqbaal'
'Jangan perhatiin dia, jangan berharap terlalu banyak. Karena bisa aja dia males buat ngeyakinin lo, dia ga mau buat Steffi sembuh, dan tetep mainin hati perempuan.’ Gumam (namakamu) dalam hati.
“Dimakan dong, (namakamu). Masa dari tadi lo cuma ngeliatin makanannya doang?” ucap Bella, membuyarkan lamunan dan pertanyaan di benak (namakamu).
“Masa lo ga mau makan makanan yang udah kita pesen sih?”
(namakamu) tersenyum tipis, ia mengambil sendok di sebelah piringnya dan mulai mengaduk nasi goreng tersebut.
“Eh, jangan diaduk-aduk!” ucap Cassie spontan.
Gadis itu mengerutkan alis, “Emangnya kenapa?”
“N-nanti... jadi dingin dan ga enak hehe.” Jawab Cassie diiringi cengiran polos.
Aldi menatap (namakamu) dengan sebelah alis terangkat, memang benar yang dikatakan Cassie kalau makanan diaduk-aduk bisa cepat dingin dan tidak menarik lagi. 
Tapi entah kenapa Aldi merasa ada yang ganjil dengan ucapan gadis bule itu. Terlebih lagi ekspresi Bella yang sempat menahan nafas saat (namakamu) baru mulai mengaduk nasi gorengnya. 
Sejujurnya (namakamu) tidak memesan makanan, karena ia tidak mood berada di kantin akhir-akhir ini. Tapi Bella dan Cassie memaksanya untuk ikut makan, setidaknya makan untuk merayakan keberhasilan Aldi mendapat nilai 99 di ulangan matematikanya.
Akhirnya (namakamu) mengiyakan untuk dipesankan makanan, karena bagaimana pun juga ia ingin menjaga perasaan Aldi. Sayangnya, pria itu hanya merespon dengan datar saat (namakamu) tersenyum kepadanya.
Bahkan, Aldi sendiri tidak berniat untuk merayakan hasil ulangannya. Ia makan karena ia memang lapar, sama sekali bukan perayaan lebay hanya karena mendapat nilai bagus.
Cassie dan Bella pura-pura tidak mengenal Aldi saat (namakamu) datang bersama pria itu, begitu juga sebaliknya. Tapi mereka berpura-pura tahu kabar bahwa Aldi mendapat nilai bagus karena banyak orang yang membicarakannya.
“Ayo dong dimakan, punya kita keburu abis nih!” sahut Bella dengan nada yang cukup imut.
“Ya...” 
(namakamu) menyuap nasi goreng itu dengan setengah hati, ia benar-benar tidak merasakan lapar. Ia mengunyahnya dengan asal dan menelannya sedikit demi sedikit. 
Dua suap sudah masuk ke dalam mulutnya, entah kenapa ia merasakan ada yang aneh diperutnya. Bukan sakit perut karena kepedasan ataupun ingin buang air. 
Anehnya, (namakamu) menghiraukan keanehan diperutnya itu dan terus menyuap nasi gorengnya. 
Sampai ketika ia benar-benar fokus dengan nasi goreng disendoknya, disanalah ia baru merasa cukup terkejut. Ada makhluk laut yang berekor tajam dengan kulit kejinggaan diantara nasi gorengnya. Ada udang di dalam nasi gorengnya!
Dan barulah perut (namakamu) merasa melilit saat itu, tenggorokannya terasa ingin mendorong keluar nasi yang sudah disuapnya. (namakamu) membanting sendoknya dengan keras, ia merasakan badannya mulai mengeluarkan keringat dingin. Gadis itu alergi udang, siapa yang berani menaruh udang di dalam nasi gorengnya?
“Lo kenapa, (namakamu)? Nasi gorengnya ga enak?”
Gadis itu menggeleng cepat dan menutupi mulutnya dengan tangan kanan. Lalu tangan yang lainnya memegangi perutnya, dan sedikit meremasnya dibagian yang terasa sakit.
Sebentar lagi pasti wajah (namakamu) berubah merah, dan ia akan memuntahkan nasi-nasi itu dengan menjijikannya. Ia ingin pergi dari kantin agar tidak membuat nafsu makan orang lain hilang, tapi perutnya terasa kram.
“Muka lo merah!”
“Astaga, lo kenapa sih (namakamu)? Sakit perut?”
Aldi berdiri tanpa aba-aba, ia tidak memedulikan makanannya yang masih tersisa seperempat piring. Ia membantu (namakamu) untuk berdiri dan merangkul bahunya dengan hangat.
“Gua anter lo ke UKS.” Ucap pria itu pelan.
(namakamu) mengangguk, ia masih menutupi mulutnya. Pasti sekarang bibir gadis itu sudah agak bengkak kemerahan, ia menahan tangannya untuk tidak menggaruk tangan, punggung, leher, dan kakinya yang gatal. 
Alergi udang ini benar-benar merepotkannya, siapa yang tega melakukan ini padanya? 
Pasti yang memesankan makanan itu. Tapi itu berarti Bella dan Cassie, kenapa mereka tega melakukan ini padahal (namakamu) pernah memberitahu keduanya bahwa ia alergi makan hewan laut?
Dapat Aldi rasakan suhu tubuh (namakamu) meninggi, dan terlihat gadis itu mulai menggaruk-garuk lehernya. Warna kulitnya jadi berbintik kemerahan, efek dari memakan makanan yang dialergikannya.
Segera saja Aldi membuka pintu ruang UKS dan membantu gadis itu duduk disalah satu ranjangnya. 
"Tunggu sampe gua balik kesini."
Tidak ada perawat ataupun anggota PMR disana, jadi Aldi terpaksa harus mengambilkan obat dan air minum untuk gadis itu. Ia membuka setiap laci yang ada diruangan UKS untuk mencari obat untuk alergi. Tidak mudah, karena begitu banyak jenis obat dan laci disana.
Sampai sekitar lima menit pria itu mencari, barulah ia menemukan obat bertuliskan ‘Incidal’ untuk obat gatal atau alergi. Sudah beberapa kali Aldi mendengar suara guratan kuku (namakamu) dikulitnya, bahkan gadis itu mengeluh keras-keras. 
Dan Aldi tidak perlu terkejut saat kembali ke ranjang (namakamu) dan melihat keadaan gadis itu.
“(namakamu)... lo kayak kelebihan darah merah, dibanding kayak orang alergi.”
“Ald, lo tau? Ini rasanya gatel banget! Arghhh”
Gadis itu kembali menggaruk daerah sikutnya, dan beberapa detik kemudian berpindah ke bawah dengkul.
"Gatel-gatel-gatel!”
“Kayaknya gua ga perlu ngasih obatnya, lo lucu kalo merah-merah gitu.”
“Cepet kasih obatnya, Ald! Lo ga mau buat jari gue rontok semua gara-gara garuk sana-sini kan?”
“Lebay.”
Aldi mendekat ke ranjang (namakamu), menyodorkan segelas air putih bersama satu tablet putih yang berukuran sedang.
(namakamu) tidak peduli efek atau apapun nama dari obat itu, ia tidak bisa berpikir jernih ketika semua tubuhnya merasa ingin digaruk. Dalam sepersekian detik obat itu sudah tertelan bersama air, dan (namakamu) kembali menggaruk-garuk tubuhnya.
‘Gua jadi kasian liatnya. Harusnya gua ngasih tau kalo tadi ngerasa ada yang aneh sama... ah udahlah, bentar lagi juga dia mendingan.’
“ALDI!!!!”
“Apaan sih lo? Lo pikir gua budeg?”
(namakamu) mengerutkan alis sebal ke arah pria itu. “Gue minta tolong ya?”
“Ga!”
“Ayolah Ald, ini menyangkut hidup dan mati gueeeee”
“Lo ga bakal mati gara-gara alergi, (namakamu)!”
“Tapi gue bisa mati kegatelan kalo lo ga mau nolongin gue. Please, Ald?” 
Melihat tatapan (namakamu) yang berubah seperti anak kecil yang memohon, Aldi jadi merasa kasihan. Ia menghela nafas, tapi masih menatap gadis itu dengan datar. 
“Kali ini aja gua mau nolongin lo.” Ucap Aldi dingin.
“Yeay! Lo ga boleh nolak ya, Ald? Ini bener-bener menyangkut hidup dan mati gue!”
“Selagi gua bisa, gua ga bakal nolak. Cepet kasih tau atau gua keburu berubah pikiran.”
“Okay, okay.”
(namakamu) menghirup nafas dalam-dalam dan meremas kedua tangannya sendiri. Ia cukup malu untuk mengatakan apa yang mungkin bisa ditolong oleh Aldi. 
Kalau saja tangannya cukup panjang untuk menggapai bagian itu, (namakamu) pasti sudah melakukannya sedari tadi. Tapi sayangnya, tangan gadis itu tidak cukup panjang untuk sampai di titik gatalnya di punggung.
Dan rasa gatal itu semakin menjadi-jadi, (namakamu) sudah menggidikan punggungnya beberapa kali. Aldi menatapnya heran, dan matanya langsung melebar saat gadis itu mengucapkan...
“GARUKKIN PUNGGUNG GUE DONG, ALD!”
‘Punggung? Kalo misalnya tangan gua ngenain itunya gimana, hah?’
“Ga ga ga! Lo gila? Gua ini cowok, ga mung—“
“Cuma lo yang ada disini, Ald... ayolah! Lo mau liat gue gesek-gesekkin punggung ditembok? Lo ga kasian sama gue?”
“Tapi (namakamu), gua takut ngenain itu lo!”
“Itu apaan? Cepetan Aldi, ini gatel banget!” 
(namakamu) menghadapkan punggungnya ke arah Aldi, ia memperlihatkan tangannya yang sudah berusaha untuk menggaruk titik gatalnya. Tapi tetap saja tidak sampai. Aldi mengatupkan bibirnya rapat-rapat, jelas sekali kalau ia menerawang ke seragam (namakamu).
Ia melihat sesuatu berwarna merah muda dibaliknya. Pengaman yang biasa digunakan wanita.
“ALDIIII GUE MOHON!”
“Tapi kalo kena itu lo gimana, hah?”
“Itu apaan sih?”
“Itu lo, (namakamu)!”
“Gausah ngode, Ald! Frontalin aja!”
Aldi menggigit bibirnya dalam-dalam, ia memejamkan mata sembari berucap, “Be-ha lo, bodoh!”
***
‘Garukkin punggung gue dong, Ald!’
‘Be-ha lo, bodoh!’
Iqbaal masih terus memikirkan teriakkan (namakamu) dan Aldi di UKS tadi pagi. Ia menyesal telah menguping, ia menyesal telah mengikuti Aldi yang merangkul (namakamu) ke UKS. Seharusnya jam istirahat tadi Iqbaal melanjutkan jalannya ke kelas, jadi ia tidak perlu mendengar teriakkan menjijikkan itu.
“Kenapa Aldi sama (namakamu) frontal banget?”
“Kenapa mereka berdua cepet banget deket?”
“Kenapa gua dibuat cemburu terus?”
“Kenapa gua harus Close As Strangers sama (namakamu)?”
“Kenapa? Kenapa? Kenapa?”
“Kak Iqbaal kenapa?”
Pria itu langsung mengubah posisi tidurnya di sofa, menjadi posisi duduk tegak. Steffi yang baru saja turun dari kamarnya membuat pria itu terkejut. 
Masalahnya ia sedang membicarakan (namakamu) pada dirinya sendiri, kalau Steffi mendengar... bisa-bisa dikira bahwa Iqbaal dan (namakamu) semakin dekat. Ia tidak mau melihat Steffi melakukan hal tidak wajar lagi pada (namakamu).
Steffi duduk di sofa hadapan Iqbaal sembari membuka kunciran rambutnya. Ia menatap sang kakak yang memakai celana selutut kebesaran dengan kaos bertuliskan ‪#‎5SOSFAM‬ di dada kirinya. Iqbaal selalu terlihat tampan meski pakaiannya santai, Steffi tidak bisa menghindari untuk tidak menatapnya.
“Aku gapapa, Steff.” Jawab Iqbaal pada akhirnya.
“Ah, boong! Buktinya tadi kakak ngomong sendiri kan? Jangan-jangan kakak—“
“Aku ga mikirin (namakamu) kok!”
“(n-namakamu)?”
Iqbaal langsung merapatkan mulutnya yang berbicara tanpa saringan. Sudah beruntung Steffi tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan dengan dirinya sendiri, namun mulutnya tidak bisa dijaga. 
Apa yang ada dipikirannya, terlontarkan begitu saja karena rasa rindu yang cukup menyakitkan. Dapat Iqbaal lihat ekspresi Steffi menjadi kesal, gadis itu mengalihkan pandangan dan mengambil ponselnya di meja.
“Eh, Steff, maksud aku... aku ga mikirin apa-apa ataupun siapa-siapa kok."
"Tadi aku bukan lagi ngomong sendiri, tapi lagi ngapalin lirik lagu.” Alibi Iqbaal sembari menunjukkan deretan giginya yang bersih.
Steffi tidak membalas ucapan Iqbaal, ia sibuk mengetikkan sesuatu di layar. Iqbaal mencoba mencuri-curi pandang, tapi tidak berhasil karena tertutupi oleh rambut panjang Steffi dari belakang.
“Jangan marah, Steff. Aku ga sengaja ngucapin nama dia kok, soalnya aku lagi mikirin soal yang dikerjain pas dihukum sama (namakamu) tadi.”
“Katanya lagi ga mikirin apa-apa? Kok boong banget sih kak!”
“Ah-eh, maksud aku ya gitu. Iya deh ngaku kalo aku lagi mikirin—“
“Kak (namakamu), hm?” Steffi melirik sinis.
Iqbaal menggeleng disertai senyuman manisnya. “Mikirin kamu, Steff.”
“Mikirin aku tapi kok nyebutin nama ‘dia’ tadi?”
“Ya, aku lagi mikirin kamu. Mikirin kenapa kamu nyuruh Cassie sama Bella untuk naruh udang di nasi gorengnya (namakamu)?"
"Aku kan udah janji untuk jauhin dia, Steff. Aku udah janji untuk selalu telepon kamu di jam istirahat. Tapi nyatanya? Kamu masih aja ngengganggu dia.” Jelas Iqbaal, wajahnya berubah serius.
Steffi melempar ponselnya sembarangan ke sofa. Ia kembali menghadap Iqbaal dan menatap mata kakaknya intens. 
Ah, ternyata ia memikirkan Steffi karena gadis itu masih melanjutkan aksinya. Steffi pikir Iqbaal memikirkannya karena sadar bahwa Steffi-lah gadis yang paling peduli padanya. Tapi sayang, Steffi salah, Iqbaal tetap saja memikirkan (namakamu) walau hubungan mereka terlihat sudah merenggang.
“Kalo kakak emang ngejauhin dia, ya kakak gausah mikirin dia atau merhatiin dia lagi. Aku nyuruh Bella sama Cassie kayak gitu, buat ngetest kakak. Ternyata... kakak tetep aja peduli sama dia, berarti kakak belum ngejauhin dia.”
“Emangnya kamu bisa ngejauhin seseorang yang pernah ngebuat kamu bahagia dengan cepet?” Steffi membuka mulut tanpa suara. “ga bisa kan, Steff?”
“Tapi kan beda, kak! Kakak ga pernah bahagia sama kak (namakamu), dia ga bisa bahagiain kakak! Dia itu sama kayak cewek lain yang bisanya nyakitin kakak!”
“Steffi, udah aku bilang jangan kayak gini. Jangan kayak anak kecil."
"Seenggaknya kamu udah janji untuk berhenti di rasa sayang sama aku kan? Tapi buktinya kamu masih terlalu protektif, kamu masih ga terima kalo aku beneran cinta sama cewek lain.”
“Kamu itu sama aja nyakitin kakak. Kamu egois."
"Kamu nyuruh kakak ngejauhin (namakamu), gausah peduliin dia, jangan cinta sama dia. Tapi kamu sendiri? Ga mau untuk ga cinta sama aku, ga mau untuk berhenti sampe di rasa sayang ke aku.”
Iqbaal mengacak rambutnya dan mengalihkan pandangan dari Steffi. Ia tidak mau membuat gadis itu menangis, tapi ia juga tidak ingin membuat hatinya menangis. 
Hatinya menangis karena tidak bisa berdekatan lagi dengan (namakamu), tidak bisa membuat Steffi sembuh dari brother complex-nya dengan cepat. Setidaknya sifatnya sebagai pemain hati orang lain sudah mulai sirna.
Kalau saja (namakamu) berhasil membuat Aldi ramah lebih dulu, dan ternyata Iqbaal tidak berhasil sama sekali, maka mereka akan tetap Close As Strangers. Karena perjanjiannya adalah saling meyakinkan, bukan hanya (namakamu) yang berhasil meyakinkan Iqbaal karena ia tidak berpaling ke Aldi. 
Dan bukan hanya Iqbaal yang berhasil meyakinkan (namakamu) untuk melindunginya dari Steffi dan rasa sakit hati.
‘Gua takut gagal, Steffi sama sekali belum ada tanda-tanda untuk ngapus cintanya ke gua...’
“Kalo gitu, bantu aku buat move on dari kakak.” Ucap Steffi tiba-tiba, nada suaranya terdengar sendu namun ditahan dalam-dalam.
“Kamu serius kan, Steff? Kamu ga cuma buat aku seneng sesaat kan?” Iqbaal menatap mata Steffi penuh harap.
“Aku serius, aku mau buat kita berdua sama-sama seneng.” Jawab Steffi dengan senyuman menahan tangis.
“Aku sadar, mau seberapa banyak pun aku berdoa sama Tuhan supaya kita dipersatukan, Tuhan tetep ga akan ngizinin. Dari awal kita udah punya takdir untuk jadi adik-kakak, ga lebih.” 
Satu bulir air mata jatuh dari mata Steffi. Iqbaal ingin buru-buru menghapusnya, namun ia tahan. Karena ia tidak ingin memeluk Steffi, ia tidak ingin gadis itu salah mengartikan setiap pelukan dan perlakuan manisnya pada Steffi.
Iqbaal tidak mau membuat Steffi merubah pikirannya, ia mau Steffi benar-benar sembuh dari brother complexnya. 
Sakit rasanya melihat adik kesayangan kita sendiri menangis karena mencintai kita. Sakit rasanya berada dalam lingkupan brother complex dan close as stranger, setelah sebelumnya Iqbaal merasakan friendzone. 
“Dan sebanyak apapun aku nyoba buat kakak cinta sama aku, sebanyak itu juga aku gagal. Kakak emang kakak yang baik karena ga mencintai aku sebagai seorang gadis idaman."
"Aku ga bisa bayangin kalo kita berdua sama-sama complex, papa-mama pasti ga bisa maafin diri mereka sendiri.”
Iqbaal tersenyum lembut. “Aku bakal bantu kamu move on, Steff. Aku mau kamu bahagia sama pria yang lebih baik dari aku. Yang bisa jadi kakak, sahabat, sekaligus kekasih buat kamu.”
“Tapi semuanya ga bisa dalam waktu cepet, kak."
"Aku mohon supaya kakak ga berhubungan sama siapa-siapa dulu sampe aku bisa nemuin pria yang pas. Aku takut move on aku ini gagal karena cemburu ngeliat kakak sama cewek lain.”
“Dan aku juga mohon satu hal, Steff.” Iqbaal menatap mata Steffi dalam-dalam. 
“Jangan ganggu (namakamu) lagi, karena saat ini aku sama dia bukan siapa-siapa lagi. Kita cuma sebatas strangers. Jadi, jangan ganggu dia kalo kamu mau aku ga peduli sama dia. Bisa kan?”
‘Close As Strangers sama orang yang kita cintai itu nyakitin. Tapi kalo demi kebaikan kita berdua, gua yakin semuanya bakal baik-baik aja.’
“Aku bakal berusaha kak.”
Ponsel Steffi berdering diatas meja, ia segera mengambilnya dan menatap nomor penelepon. Sebelum menekan tombol hijau, ia menatap Iqbaal takut-takut. Perasaan pria itu pun jadi tidak enak, apa yang akan terjadi setelah ini?
“Siapa, Steff?”
“Produser di SonyMusicIndo, kak.”
“APA? Kenapa kamu bisa—“
“Demi kebaikan kita. Kakak angkat teleponnya, ya?”
.
.
‘Jadi kamu pelajari aja lagunya, hari minggu kita sudah harus rekaman. Dan kalau berhasil, kamu akan kami ikutsertakan di konser band Rockidz sebagai soloist pembukanya.’
“Konser yang di lima kota luar Jakarta itu, pak?”
‘Ya. Dan saya yakin kalo rekaman minggu ini akan berhasil. Sampai ketemu di hari minggu, Iqbaal Dhiafakhri.’
“Baiklah...’
Iqbaal mengembalikan ponsel itu pada Steffi. Mungkin sudah lima belas menit lebih Iqbaal mengobrol dengan produser musik itu. Ia tidak menyangka Steffi membalas email di akun Iqbaal waktu itu, dan beginilah jadinya. 
Iqbaal harus rekaman di hari minggu, dan kalau berhasil maka ia akan ikut tour. Meninggalkan bangku sekolah sementara, tidak akan bertemu (namakamu), dan tidak akan bersama Steffi.
“Demi kebaikan kita kan, kak?”
“Kalo kakak jauh dari aku, aku yakin memudahkan aku buat hapusin cinta ini sama kakak. Karena selama ini kita selalu berada dibawah atap yang sama, makanya aku ngarepin kalo rekaman kakak berhasil."
"Kakak tour, kita kepisah, aku udah move on, kakak pulang, dan kita bakal jadi adik-kakak yang normal.”
“Steff... mungkin apa yang kamu bilang bener juga. Kalo aku jauh dari kamu, bisa buat kamu cepet ngapusin cinta kamu ke aku.”
‘Tapi gimana sama (namakamu)? Gimana kalo dia nganggep gua ga mau nyembuhin Steffi dan malah asik tour dan ketemu cewek-cewek baru lagi?’
‘Ah, tapi itu justru tantangan buat (namakamu). Kalo dia emang cinta sama gua, dia bakal yakin kalo gua bakal kembali untuk dia. Dan kalo dia emang cinta sama gua, dia ga bakal jatuh cinta sama Aldi selagi gua ga ada dideketnya.’
‘Mau gimana pun akhirnya nanti... seenggaknya sekarang ini gua sama (namakamu) cuma Close As Strangers. Ga lebih.’

Bersambung...

Sweet Bad DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang