9

1.3K 67 0
                                    

Steffi adalah seorang gadis yang cerdas dan bisa berpikir cermat. Saat dimintai penjelasan oleh Iqbaal mengenai acara telepon-teleponannya itu, Steffi hanya bilang bahwa ia naksir seseorang di sekolah Iqbaal. 
Steffi bilang bahwa pria itu perhatian namun tidak peka, dan pria itulah yang bilang bahwa Iqbaal dan (namakamu) membolos sekolah. Steffi bilang ia terdengar marah ditelepon, karena cemas terhadap Iqbaal yang tak kunjung pulang padahal diluar hujan deras.
Lalu Steffi menceritakan bagaimana bisa ia kenal dengan Cassie. Jadi mereka sempat satu SMP, waktu Steffi jadi peserta MOS, Cassie-lah yang menjadi senior untuk regunya. Dari sana mereka saling kenal dan bersahabat lama sampai sekarang ini. Dan saat ini Cassie sedang membantu Steffi untuk dekat dengan cowok yang ditaksirnya itu. Steffi memang pembohong yang handal.
Beruntung Steffi tidak bertelepon menggunakan loudspeaker, jadi Iqbaal tidak mendengar balasan ucapan dari Cassie di seberang sana. Dan beruntungnya lagi, Iqbaal sangat mudah percaya dengan ucapan Steffi. 
Iqbaal menyesap cokelat hangat yang tadi dibuatkan oleh Steffi. Handuk kecil menggatung di kepalanya dan sekarang Iqbaal terduduk di sofa sembari meringkuk dalam selimut. Di sofa hadapannya ada Steffi yang sedang menatapnya penuh perhatian. Senyuman gadis itu melebar ketika Iqbaal balas menatapnya. Dan pria itu pun ikut tersenyum.
“Steff, ada yang mau aku tanyain.”
“Nanya aja kali kak, kayak ga pernah nanya sama aku aja.” Jawab Steffi diakhiri dengan kekehan kecil.
“Beberapa hari lalu kan bibir bawah aku robek lagi. Kok kamu ga merhatiin ataupun bilang kalo aku berantem lagi? atau bilang kalo aku ciuman sama monster gitu?”
Steffi menatap sang kakak dengan kernyitan kecil. Ia tahu Iqbaal sedang mencoba menyeledikinya mengenai ia yang berciuman dengan (namakamu). 
Tentu saja Steffi sudah tahu pasti penyebab bibir kakaknya robek beberapa hari lalu adalah karena ciuman dari (namakamu). Tapi Steffi tidak mungkin menjawab bahwa ia tahu, bisa-bisa ia ketahuan memotret saat keduanya sedang berciuman.
Kalau saja Iqbaal tahu waktu itu Steffi menangis ketika melihat (namakamu) berada dipelukan Iqbaal. Mencium bibir pria itu dan mendapat balasannya. Lalu saat pagi-pagi Iqbaal membawakan pisang goreng untuknya, meledeknya habis-habisan dan mengingat ciuman mereka tadi malam. Sungguh Steffi hanya bisa bersembunyi dibalik pintu kamar, ia menangis sembari terduduk. 
(namakamu) telah mengambil sebagian kasih sayang Iqbaal. Belum lagi penjelasan dari Cassie dan Bella mengenai mereka berdua yang sering menghabiskan waktu bersama di sekolah. Duduk sebelahan, dihukum bersama, satu kelompok saat tugas, dan membolos bersama ke tempat yang Steffi sendiri belum pernah datangi. 
Iqbaal melambaikan tangan di depan wajah Steffi, membuat gadis itu tersentak dari lamunannya. 
“Kenapa malah bengong?”
Steffi tersenyum kecut, “Aku lagi mikirin kakak yang kayaknya udah ga peduli sama aku lagi. Makanya aku juga ga mau peduli waktu bibir kakak robek lagi, walau sebenernya aku pengen banget ngobatin.” Jawab Steffi sembari memajukan bibirnya ke arah Iqbaal.
“Aku masih peduli dan akan selalu peduli sama kamu kok, Steff. Kamu kan adik aku satu-satunya, orang yang paling tahu dan paling aku sayang selama ini.”
“Kalo kakak sayang sama aku, kenapa kakak ga mau bawa bekel dari aku lagi? Kenapa ga telepon aku pas jam istirahat? Kenapa ga coba jemput aku di sekolah? Dan kenapa... ga pernah ngajak aku jalan-jalan lagi.”
“Tapi kan bukan berarti aku ga peduli sama kamu. Kita masih bisa ngabisin waktu di rumah setelah pulang sekolah kan? Aku cuma ga mau ganggu kamu yang lagi belajar atau lagi ngumpul sama temen-temen cewek kamu, Steff.”
“Bohong! Pasti karena kak Iqbaal punya pacar! Iya kan?”
“Aku baru putus sama Fay tadi pagi, kamu bisa tanya sama Cassie.”
“Kalo gitu, bisa aja kakak ga peduli sama aku karena sekarang kakak bener-bener cinta sama cewek lain.”
Iqbaal memutar matanya, adik kesayangannya ini benar-benar keras kepala. Ada benarnya juga akhir-akhir ini Iqbaal terlihat cuek pada Steffi, tapi ia melakukan itu agar Steffi juga lebih dewasa. 
Iqbaal kan sudah besar, apa iya ia harus tetap membawa bekal dari adiknya yang juga sibuk sekolah? Lalu harus meneleponnya saat asik berkumpul dengan temannya di sekolah? Atau bahkan harus menjemputnya, padahal jam pulang Steffi dua jam lebih cepat dibanding Iqbaal.
Sebenarnya ada satu alasan lagi. Yaitu mungkin, ia memang benar-benar sedang mencoba mencintai seseorang. Bukan hanya disukai, dijadikan pacar, dijadikan koleksi mantan, ataupun dijadikan hiburan. Melainkan untuk benar-benar ia cintai. 
Eh, tau apa Iqbaal soal cinta? Dia kan badger boy yang hanya bisa memainkan perasaan diatas penderitaan orang yang sungguh mencintainya.
Iqbaal berdeham pelan, lalu menggenggam jemari tangan Steffi. 
“Aku tau kita udah sama-sama dewasa, Steff. Ga selamanya apa yang kamu bilang mengenai cewek-cewek itu bener, aku tau mana yang bener dan yang salah.”
“Jadi bener kan dugaan aku!” Steffi melepas kasar genggaman Iqbaal. 
“Kakak cinta sama cewek lain. Kakak udah kebawa sama ucapan dan perlakuan manis dari cewek itu. Dia belum tentu baik, kak!”
“Dan dia juga belum tentu buruk, Steff.”
“Aku udah berusaha ingetin kakak supaya ga disakitin sama cewek-cewek kayak gitu, tapi kakak malah ga mau denger...”
“Steffi, ga semua cewek itu kayak yang ada dipikiran kamu. Aku capek nyakitin mereka mulu. Ada cewek yang emang butuh aku sebagai tempat sandarannya, dan aku juga butuh seseorang untuk jadi tempat sandaran aku.”
“Kakak bisa nyandar sama aku, karena aku ga bakal pernah nyakitin kakak.”
“Astaga Steffi, maksud aku itu... aku butuh sandaran sampe aku tua nanti. Kita adik-kakak, kamu juga bakal jatuh cinta suatu hari nanti, dan bakal lebih sayang sama cowok lain. Kita ga bisa gini terus Steff,”
Steffi mendengus tajam, ia menatap Iqbaal dengan intens. “Kita bisa gini terus, kak. Kita sama-sama saling sayang, kita sama-sama bisa jadi sandaran, kita—“
“A D I K – K A K A K, Steff. Beberapa tahun atau belas tahun ke depan, aku pasti menikah. Kamu juga bakal nikah. Dan kita ga bakal bisa sama-sama terus, kita bakal punya rumah tangga masing-masing. Jadi berhenti buat cemburu kalo aku suka sama cewek lain. Cinta bahkan.”
Setetes air mata langsung jatuh dari mata Steffi. Gadis itu mengalihkan pandangan kebawah, meremas ujung sofa dengan kesal. Hatinya sakit mendengar ucapan Iqbaal, pria itu tidak mencintai Steffi seperti Steffi mencintainya. Pria itu tidak terkena ‘Sister complex’. Dan Iqbaal sama sekali tidak mengerti perasaan Steffi yang terkena ‘Brother complex’.
Diliriknya Iqbaal yang hendak memeluknya, namun tidak jadi karena bel rumah berbunyi. Iqbaal menghela nafas lalu menyibakkan selimut dari tubuhnya.
“Jangan nangis, Steff. Kakak sayang kamu.”
Setelah berucap, Iqbaal langsung pergi ke arah pintu rumah. Steffi hanya bisa membekap mulutnya agar isakkannya tidak terdengar keras. 
Kakaknya memang sudah dewasa, sudah mengenal yang namanya cinta pada gadis lain. Tapi Steffi tidak bisa terima, karena selama ini ia sudah menaruh hati pada Iqbaal dan menolak pria-pria yang menembaknya.
Sedari pertama melihat (namakamu) di pantai waktu itu, perasaan Steffi memang sudah tidak enak. Karena disana ia melihat Iqbaal yang terlonjak senang, namun (namakamu) mengakhiri pertemuan mereka dengan tamparan. 
Tidak biasanya ada gadis yang berlaku seperti itu dengan Iqbaal. Dan... kenapa mereka bisa satu sekolah, satu kelas, dan bahkan duduk bersama?
Lagi-lagi air mata Steffi turun deras. Sama seperti tangisannya ketika Iqbaal dan (namakamu) berciuman. 
‘KAK IQBAAL JAHAT! Semuanya gara-gara cewek sialan itu! Tuhan, kenapa Engkau menakdirkan kakakku bertemu dengannya?’
“I did it! Yipiiii, I did it! Akhirnyaaaaa”
Steffi menghapus air mata dan mengelap ingusnya. Ia berusaha terlihat baik-baik saja, tapi sepertinya Iqbaal tidak peduli—ia terlihat sedang bahagia sekarang. Ditangan pria itu ada sebuah kantung kertas besar berlogo ‘Our Favor’. Steffi menebak jika dalam kantung itu ada sebuah kostum yang Iqbaal sewa dari tempat langganannya.
“Itu kostum punya siapa kak? Punya kakak?”
Iqbaal menggeleng sembari duduk di sofa. Ia membuka kantung itu dan menarik sebuah kostum dari dalamnya. Warnanya hitam, bahannya sintetis, berlengan panjang dan ada sedikit warna metalik dibagian dada. Itu baru atasannya.
‘Itu bukan kostum untuk laki-laki!’ teriak Steffi dalam hatinya.
Lalu Iqbaal menarik isi kantung itu yang lain. Ada celan hitam panjang yang ketat dan sepasang robekkan disengaja disekitar paha. Ada sarung tangan, lalu topeng mirip kucing yang warnanya hitam dan ada bagian mengkilapnya. 
Ini pasti kostum catwoman! Tapi untuk siapa? Jelas-jelas Iqbaal adalah pria dan ia sudah membawa kostum Batman ke rumah kemarin. Sedangkan Steffi, ia yang membuat acara jadi ia sudah memesan satu set kostum Aurora.
Ah, Steffi pikir mungkin saja jika Iqbaal memesankan kostum itu untuknya karena ia pikir Steffi belum memiliki kostum. Ia tersenyum, ternyata Iqbaal adalah seorang kakak yang amat peduli.
“Aku tau! Itu kostum pasti buat aku kan? Ah, padahal aku—“
Iqbaal menatap Steffi dengan satu alis terangkat, lalu ia kembali memasukkan kostum itu ke dalam kantung kertasnya. Ia bahkan mengecup bagian dada di kostum itu lambat-lambat sebelum di masukkan. 
Tidak bisa dipungkiri, Steffi melihat bahwa Iqbaal benar-benar bahagia saat ini. Gadis itu jadi tidak sabar untuk menerima kostum itu dari Iqbaal langsung.
“Sebenernya, kostum ini bukan untuk kamu, Steff. Tapi untuk seseorang yang namanya... (namakamu).”
***
Iqbaal datang pagi sekali untuk menaruh kotak kado itu di meja (namakamu). Sayangnya yang ia dapatkan adalah hal yang janggal beserta tulisan ancaman untuk gadis itu. Mejanya penuh dengan cairan kental berwarna merah, nyaris mirip darah. 
Tapi itu bukan darah, ataupun saus yang warnanya mirip darah.
Ada secarik kertas yang ditempel di ujung meja. Bertuliskan ‘Lo udah buat gue nangis darah. Dan gue bakal buat lo jauh lebih buruk dari saat ini!’. Iqbaal bergidik ngeri, lalu menaruh kotak kadonya asal di bangku (namakamu).
Ia menatap ruang kelas yang masih kosong, tidak ada petunjuk ataupun orang yang bisa ditanya mengenai cairan merah di meja ini. Iqbaal menghela nafas kasar, lalu melangkahkan kaki keluar kelas. 
Tepat pada saat itu (namakamu) datang dan nyaris saja menabrakkan kepalanya ke dagu Iqbaal. Untung saja pria itu mengerem dan langsung mundur beberapa langkah.
“Lo buat gue kaget tau ga! Gue benci lo.”
“Ada ancaman lagi di meja lo. Dan asal lo tau, gua jauh lebih benci lo.”
(namakamu) mendengus. “Kalo kita saling benci, lo ga perlu peduliin gue yang dapet ancaman kayak gini, Baal.”
“Gua ga bakal peduli kalo seandainya ancaman itu ga ikut ngotorin meja gua, (namakamu).”
“Alesan. Minggir lo!”
“Buat apa gua minggir? Orang dari tadi yang berhentiin langkah lo itu lo sendiri, bukan badan gua.”
Gadis itu menghentakkan kaki kesal, dan ia merasa bodoh sendiri. Benar juga, padahal ruangan masih luas tapi ia malah berhenti saat Iqbaal diam di depannya. (namakamu) akhirnya berjalan ke arah bangkunya, dan ia tidak perlu kaget melihat ancaman itu. Iqbaal sudah memberitahunya beberapa detik lalu, jadi untuk apa ia terkejut?
“Nangis darah? Dasar alay! Lo yang ngajak perang, lo yang nangis.” Dengus gadis itu kasar. 
Ia menatap ke arah bangku yang tadinya ingin ia taruh tas, tapi ada sesuatu yang mengherankan disana. Kotak kado silver bersimpul pita merah. Mungkinkah itu adalah bagian dari ancaman juga? (namakamu) ragu untuk menyentuh sekaligus membukanya, tapi...
Iqbaal kembali bersuara dari arah ambang pintu. “Kalo yang itu bukan ancaman, tapi ucapan minta maaf dari seorang pria yang kemaren nolak lo buat nganterin ke tempat nyewa kostum.”
(namakamu) tersenyum sinis, “Bilang aja kalo dari lo, repot banget sih.”
Gadis itu nyaris berteriak senang saat membuka isinya. Kostum cat woman, terlihat dari topengnya yang mirip wajah kucing! Tapi ia tidak mau histeris karena Iqbaal masih ada disana, bisa-bisa ia dikira tidak jual mahal lagi pada pria itu. 
(namakamu) menahan nafasnya dalam-dalam, ia tidak ingin Iqbaal menaklukan hatinya begitu saja. Ia ingin Iqbaal yang takluk, biarkanlah pria yang sekali-kali takluk pada seorang wanita.
Ia menoleh ke arah pria itu dengan alis terangkat, “Well... kenapa lo kasih gue kostum? Padahal kemaren lo ga mau nganterin gue untuk nyewa.”
“Gua ngasih, karena gua mau lo dateng ke ulang tahun adik gua.”
“Lo pengen banget gue dateng? Ahahaha, bilang aja lo mengharapkan gue supaya suka sama lo.”
“(namakamu), gua ga bakalan pernah suka sama lo, okay?"
"Dan denger ya, gua mau lo dateng supaya kita bisa buktiin kalo adik gua gaada sangkut pautnya sama semua ancaman ini. Ngerti lo?”
(namakamu) tidak lagi fokus berbicara pada Iqbaal setelah menemukan tulisan dibalik tutup kotak kado itu. Ia tersenyum dalam hatinya, padahal tulisan itu tidak membuat siapapun yang membacanya nge-fly. 
Tulisan itu berhuruf kapital semua, seolah menegaskan si pembaca agar mengerti perasaan si penulis. Tapi ada yang aneh, karena tulisan itu diakhiri emot yang tidak seharusnya...
‘GUA BENCI LO, (NAMAKAMU) grin emotikon
***
Pesta ulang tahun Steffi. Tempatnya di ballroom sebuah hotel bintang lima, dekorasinya sangat elegan dan tamu-tamunya berkelas. (namakamu) tidak bisa menutupi rasa kagumnya saat datang ke pesta ini.
Ia datang bersama Bella dan Cassie. Gadis bule itu mengenakan kostum vampire ala Bella Swan. Ia memakai kontak lensa berwarna merah, rambutnya dikuncir satu tinggi ke atas. Sementara Bella mengenakan jubah hogwarts, ia membawa tongkat sihir palsu dan rambutnya ditata semirip mungkin dengah Hermione Gringer. Keduanya cantik malam ini.
(namakamu) sudah pasti mengenakan kostum Catwoman. Hanya saja ia belum memakai topengnya, ia masih ingin memperlihatkan wajahnya di bawah sorot lampu yang mewah. 
Terlihat Steffi sedang mengobrol bersama beberapa teman pria dan wanitanya di sekolah. Ia mengenakan kostum Aurora dan rambutnya diberi highlight kuning menyala seperti tokoh tersebut. Jangan bilang Iqbaal hanya pakai kostum pangeran Philip nantinya.
“Hai, (namakamu)!”
Dua orang dengan kostum berbeda menyapa (namakamu). Namun gadis itu langsung mengenalinya lewat senyuman dan suara, lagipula keduanya tidak mengenakan make up yang tebal. 
Salsha dengan kostum Jasmine dengan perut yang terekspos itu tampak menggoda. Berbeda dengan Dianty yang memakai kostum si tudung merah, karena ia mengenakkan hijab.
“Dianty, aura merah lo keliatan banget ya di kostum itu. Lo cantik!”
“Thanks, Catwoman.”
“Dan lo! Lo seksi banget gila, Sha!”
“Lo jauh lebih seksi, (namakamu). Aww, wonderful Catwoman in here!” teriak Salsha sembari melambaikan tangannya ke atas.
(namakamu), Cassie, Bella, dan Dianty terkekeh. Seketika tatapan orang-orang teralihkan pada mereka, dan beberapa detik kemudian kembali ke aktifitas sebelumnya. 
Om Patrick bersama tamu dari tempat kerjanya terlihat berkumpul di sofa-sofa besar sembari meminum sirup dan memakan buah. Para orang tua itu hanya mengenakkan jas ataupun blus yang pantas. Tidak ikut mengenakkan kostum tentunya.
Lalu disudut lain ada teman-teman sekelas (namakamu) asik berselfie di background ‘New York’ yang sengaja disediakan. Sementara kelima gadis ini hanya berdiri beberapa meter dari panggung kecil sembari mengobrol.
“Ini perasaan gue doang, atau emang lo sama Aldi kostumnya janjian, Cass?” tanya Dianty pada Cassie.
Gadis itu melebarkan matanya sejenak, mencoba mencari Aldi yang katanya kostumnya janjian itu. Padahal mereka memang sengaja menjanjikannya, namanya juga sepasang kekasih. Dan pandangan Cassie berhenti di pria berjubah hitam dengan kerah dinaikkan, dengan taring tipuan diantara giginya. Pria itu tersenyum ke arah Cassie, dia memang Aldi.
“Mungkin cuma kebetulan. Lagian kan kostum vampire itu yang paling gampang dicari.”
“Ah, kebetulan yang menyenangkan. Disini gaada yang pake kostum Aladdin huhu,” Ucap Salsha sedikit mellow.
“Btw si ketua kelas mana, ya? Masa adiknya yang ulang tahun aja udah nampakkin diri, kok dia belum?” ucap Bella.
(namakamu) hanya mengangkat bahu tak peduli. “Lagi make out di belakang kali. Atau mungkin lagi berusaha ngerusak suasana dengan dateng pake skateboard, namanya juga badger boy.”
“Hahaha... gue tau kalo lo sebenernya pengen ngeliat dia juga kan?”
“Eh?” gadis itu menatap Salsha dengan intens. “mendingan gue ketemu Batman daripada ketemu sama ketua kelas diktator kayak dia.”
“Yakin? Walaupun dia diktator, dia tetep mau ngasih jaketnya ke lo yang kebocoran kan?”
“Hahahahahahaha”
‘Ya, terus aja ledekkin gue sama si Iqbaal nyebelin itu.’ dengus (namakamu) dalam hatinya.
“HALO AURORA, BATMAN DATANG UNTUKMUUUUU”
Tiba-tiba saja ada pria berkostum Batman lengkap dengan topengnya, meluncur dengan skateboard hitam bergaris kuning stabilo ke arah Steffi. 
Yang tadinya gadis itu sedang mengobrol asik, kini keluar dari kerumunan teman-teman sekolahnya. Ia merentangkan tangan lebar-lebar saat si Batman mengerem skateboardnya dan langsung mengangkat pinggang gadis itu ke atas. 
Betapa tidak cocoknya mereka, ucap (namakamu) dalam hati. Bagaimana mau dikatakan cocok? Sejak kapan Batman bisa kenal dan menggendong tokoh princess Disney seperti itu? Tidak gentle, seharusnya Batman itu menggendong Catwoman—partnernya. 
Mereka tampak bahagia sekali, apalagi Batman mengucapkan ‘Happy Birthday’ sambil bernyanyi dan bertepuk tangan.
“Ini udah kali keempat puluh sembilan kakak ngucapin Happy Birthday tau!” Steffi menonjok pelan bahu Batman itu.
‘KAKAK? Berarti Batman itu...’
Cassie menyenggol lengan (namakamu) iseng, “Tuh ada Batman-nya si Iqbaal. Kayaknya kalian emang jodoh dalem hal apapun ya, hahaha”
Terlihat Batman itu mengecup pelan dahi sang Aurora, lalu mengucapkan Happy Birthday sekali lagi. Genap lima puluh sudah pria itu menyelamati Steffi yang berulang tahun. Rasanya (namakamu) ingin marah saat Steffi memeluk Iqbaal dengan haru, apalagi saat tepuk tangan menggelegar untuk mereka.
Gadis itu perlahan-lahan melangkah menjauh dari sahabat-sahabatnya, dan mencoba mengalihkan pandangan dari Aurora dan Batman itu. Catwoman itu memilih untuk ke meja minuman. Dan tepat saat ia hendak mengambil salah satu gelas disana, seseorang menepuk bahunya.
“(namakamu)?”
Sekilat mungkin gadis itu berbalik dan menatap pria dalam balutan kostum Thor. Ada sedikit rasa cemas mengingat pertemuan kedua mereka waktu itu tidak menyenangkan. Tapi kali ini, pria itu terlihat datang sendirian dan senyumannya meminta maaf.
“Maaf ngebuat lo takut kalo ngeliat gua. Gua minta maaf soal kejadian di perpus itu.”
“I-iya gue gapapa, Rel. Kenapa lo manggil gue?”
Karel menyunggingkan senyum sembari mengusap-ngusap dagunya pelan. 
“Gua cuma mau nanya. Lo ngambil minum disini, karena lo cemburu sama mereka berdua, ya?”

Bersambung...

Sweet Bad DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang