8

1.3K 64 0
                                    

And if in the moment I bite my lip
Baby, in that moment you'll know this is
Something bigger than us and beyond bliss
Give me a reason to believe it
~Ariana Grande ‘Love Me Harder’~
***
“Mood lo buruk, nona?”
“Lo punya mata kan? Ah, tapi sayangnya lo ga punya hati.”
“Kata siapa gua ga punya hati?”
“Kalo lo punya hati, lo ga bakal ngebuat mood gue makin ancur kayak gini.”
Iqbaal terdiam menatap gadis berambut panjang yang duduk di sebelahnya ini. Ada rasa kesal tersendiri saat mendapat jawaban sarkastik dari gadis itu, tapi ia jauh lebih kesal karena mood gadis itu sedang buruk. 
Setelah membantu membagikan undangan ulang tahun Steffi tadi pagi, (namakamu) sama sekali tidak beranjak dari bangkunya lagi. Gadis itu bilang tidak mood kemana-mana, sekalipun ke kantin ataupun toilet.
Tatapan teman-temannya masih sama pada mereka, yaitu tetap sinis dan jijik. Hanya saja tatapan sinis pada (namakamu) semakin parah karena kejadian tadi pagi. Kejadian antara Fay, Iqbaal, dan (namakamu).
Sejujurnya Iqbaal tidak ingin memberikan perhatian pada gadis itu, tapi mood pria itu juga sedang buruk. Ia sudah mencoba menjahili (namakamu) sedari tadi. Mulai dari menyenggol lengannya yang sedang menulis, mengajaknya mengobrol saat pelajaran, menyembunyikan tip-exnya, dan meneriakkan sesuatu di telinga gadis itu. 
Tapi respon (namakamu) hanyalah mengeluarkan ponsel dan mendengarkan lagu lewat headset. Ia sama sekali tidak peduli dengan Iqbaal.
“Lo dengerin lagu apa sih daritadi?” Iqbaal mencuri pandang ke ponsel (namakamu) yang digenggam erat oleh gadis itu.
(namakamu) memutar matanya, “Lagu apapun yang bisa buat mood gue balik.”
“Sayangnya, mood lo ga balik-balik juga kan?”
“Mau lo apa sih?” 
“Nah itu dia! Mau gua yaitu ngajak lo ke tempat nongkrong gua. Daripada kita tetep disini tapi ga fokus belajar, mendingan kita bolos sekalian?” 
Iqbaal menaikkan sebelah alisnya ke arah (namakamu), membuat gadis itu melepaskan headset dan mematikan lagu di ponselnya. Mungkin ide Iqbaal adalah ide yang bagus. 
Daripada ia tetap disini dengan guru di depan yang menjelaskan, lebih baik ia pergi ke tempat yang bisa membuat mood nya kembali. Bahkan guru di depan sana tidak peduli dengan dirinya yang mengobrol bersama Iqbaal, ataupun yang mendengarkan lagu saat jam belajar.
Pria disampingnya tersenyum sembari memasukkan alat-alat tulis ke dalam tas. Beberapa teman mereka curiga, namun Iqbaal hanya melempar tatapan ‘Awas lo berani bilang-bilang kalo gua mau kabur!’. Melihat (namakamu) yang sudah siap menjinjing tas nya, Iqbaal mengangguk pelan ke arah gadis itu.
“Gimana caranya kita keluar kalo gurunya masih di depan sana?”
Iqbaal tersenyum miring, “Lo cewek beneran kan (namakamu)?”
(namakamu) mengernyitkan dahinya. “Yaiyalah! Ngapain lo nanya kayak gituan segala?”
“Deketin kepala lo ke bibir gua deh,”
“Mau ngapain?” tanya (namakamu) was-was, tidak mungkin kan jika Iqbaal akan menciumnya secara terang-terangan di kelas?
“Mau bisikkin rencana gua lah.” Iqbaal menatap (namakamu) tajam. “yakali gua mau nyium lo di kelas yang lagi tenang gini.”
Gadis itu masih menatap Iqbaal dengan was-was, ucapan dari mulutnya tidak selalu bisa dipercaya. Iqbaal hanya memutar matanya saat (namakamu) menggerakkan kepalanya terlalu lambat ke arah bibir Iqbaal. 
Jadi pria itu langsung memajukkan kepalanya ke arah telinga (namakamu), lalu mengangkat telapak tangan kanannya untuk menutupi daerah sekitar mulut dan telinga (namakamu). Seperti orang berbisik pada umumnya, Iqbaal tidak akan membiarkan Aldi ataupun Salsha mendengarkan ucapannya.
Beberapa detik setelah Iqbaal mengucapkan rencananya, bulu kuduk (namakamu) serasa meremang. Bukan karena ia takut, tapi karena ia gugup akan rencana itu. Pantas saja tadi Iqbaal bertanya mengenai apakah (namakamu) gadis sungguhan atau bukan. Gadis itu menelan ludah lambat-lambat, ia gugup untuk berakting sesuai dengan rencana Iqbaal.
Tapi bukan (namakamu) namanya kalau ia tidak berani melakukan hal semacam itu. Gadis seperti dia nyaris tidak takut apapun, urat malunya pun sudah hampir putus. Iqbaal terus mendesak (namakamu) agar ia segera berakting seperti kemauan Iqbaal, tentu saja (namakamu) jadi semakin risih.
“Diem dulu, Baal!”
“Cepetan, (namakamu)! Lo buang-buang waktu tau ga?”
“Gue ga jadi bolos aja deh.”
“Harus jadi! Masih ada lima jam lagi kita di sekolah, tapi gua udah ga ada mood. Lo juga kan?”
Iqbaal melirik ke arah guru yang masih tenang menuliskan materi di papan tulis. Kali ini gurunya adalah seorang pria, ia mengajar fisika. Bayangkan saja ketika mood kalian sedang buruk, malah disuruh mempelajari rumus-rumus yang disertai logika. Pasti mood kalian akan bertambah buruk, dan seperti ingin berlari keluar kelas sekencang juga sejauh-jauhnya.
Iqbaal menatap (namakamu) sekali lagi. “Atau gua yang bakal bilangin ke gurunya kalo lo bo—“
“Jangan!”
“Kalo gitu, mulai aktingnya sekarang juga!”
‘Gue beneran pengen bunuh lo suatu hari, IQBAAL!’
“Ayooo, (namakamu)!” Iqbaal menyenggol lengan gadis itu dengan tidak sabar.
Guru itu mendengar ada keributan kecil, ia segera memberhentikan kegiatan tulis-menulisnya lalu mencari sumber suara. Dilihatnya Iqbaal dan (namakamu) sedang tidak fokus ke papan tulis, mereka seperti sedang berdebat sesuatu. 
Tidak segan-segan, guru itu melemparkan tutup spidol ke arah keduanya. Dan hebatnya, tutup spidol itu mendarat tepat di dahi Iqbaal yang baru mau menoleh ke papan tulis.
“Kalian berdua ini kenapa?”
“Ini pak, (namakamu)—“
“ADUH! ADUH! ADUH!”
Seketika pandangan siswa sekelas mengarah ke arah (namakamu) yang mengaduh sembari memegangi perutnya. Iqbaal merubah wajahnya menjadi khawatir, lalu ia merangkul bahu (namakamu) berpura-pura hangat. Sang guru mendekati meja keduanya, dan menatap (namakamu) dengan kernyitan yang cukup dalam.
“Kamu kenapa, (namakamu)? Mag?”
Gadis itu menggeleng. Ia menggigit bibirnya dalam-dalam, lalu bergerak-gerak tak enak di kursinya. Aktingnya sebagai gadis yang sedang sakit perut memang bagus, hanya saja ia yakin endingnya tidak seindah yang ia inginkan. Pasti akan ada yang menertawainya ketika sang guru bertanya...
“Terus kamu kenapa? Pengen buang air besar?”
Terdengar kekehan kecil, namun gadis itu tetap menggeleng. Wajahnya sudah memerah sekarang ini, ia menatap Iqbaal yang sedang memaksanya untuk berucap sesuai rencana. 
Tapi (namakamu) menggeleng pelan, ia yakin akan sangat memalukan jika tetap menjalani rencana Iqbaal. Namun mau bagaimana lagi? Ia sudah menggeleng ketika ditanya mag atau ingin buang air besar... masa ia harus bilang usus buntu?
“Iqbaal, kamu tau (namakamu) kenapa?”
Iqbaal mengangguk pelan, ia hampir menjawab jika saja (namakamu) tidak berteriak. 
“SAYA HAID DAN UDAH MAU BOCOR, PAK! SAYA HARUS PULANG!”
“BAHAHAHAHAHAHAHAH”
Iqbaal susah payah menahan tawanya sendiri, apalagi melihat wajah (namakamu) sudah seperti kepiting rebus. Segera saja Iqbaal mengalungkan tas jinjing gadis itu dilehernya, lalu menyampirkan tasnya sendiri di punggung. Tanpa meminta persetujuan gadis itu, Iqbaal membantu (namakamu) berdiri dan menatap sang guru untuk meminta izin.
“Oh, baiklah.” Sang guru terlihat menyimpan tawanya. 
“Antar (namakamu) sampai rumah ya, Iqbaal. Dan (namakamu), lain kali kamu harus ada persiapan supaya tidak kejadian seperti ini lagi.”
(namakamu) merasakan tangan Iqbaal melingkar di pinggangnya, ia ingin marah ‘Bukannya ini tidak ada direncana?’ tapi tidak jadi karena ia sadar ia sedang berakting sakit perut. (namakamu) meremas bagian depan perutnya pelan agar ia benar-benar menjerit sakit.
“Aduhhh, iya pak iya. Kalau begitu saya permisi dulu.”
“Saya juga permisi ya, pak.”
Gadis itu baru sadar jika Iqbaal melingkarkan tangan dipinggangnya tadi itu untuk menyampirkan jaket hitamnya disana. Kesannya seperti seorang kekasih yang tidak ingin kekasihnya ditertawai karena kebocoran. Okay baiklah, ini terlihat memalukan karena bagaimana pun Iqbaal adalah pria. 
Biasanya kan jika seorang gadis sedang kebocoran, ia akan meminta bantuan teman gadisnya. Sekalipun gadis itu punya pacar, ia pasti akan menutupi kebocorannya itu. Tapi disini, (namakamu) seperti tidak punya malu karena memberitahu Iqbaal bahwa dirinya kebocoran. Bahkan ia mau saat Iqbaal menutupi kebocorannya itu dengan jaketnya.
Meski hanya akting, rasa malu itu benar-benar besar di dalam diri (namakamu). Apa yang ada dipikiran teman-temannya sekarang? Sudah pasti ILFEEL!
“Akting lo bagus juga, padahal gua ga nyuruh lo ngucapin itu sambil teriak. Hahahaha” ucap Iqbaal sembari berjalan beriringan dengan (namakamu).
“Gue rasa urat malu gue udah bener-bener putus gara-gara lo!”
“Baguslah, kalo gitu kita sama. Karena dari awal ketemu lo, gua rasa urat malu gua udah langsung putus.”
Saat mereka berjalan meninggalkan luar kelas, masih terdengar tawa yang samar dan pandangan dari balik jendela yang terus mengikuti. Bahkan, dengan jelasnya (namakamu) bisa mendengar bahwa sang guru yang telah berdiri di depan pintu berucap...
“Kalian adalah pasangan yang paling fenomenal, karena sama-sama ga punya rasa malu.”
***
(namakamu) menatap Iqbaal yang baru saja menyelesaikan sebuah grafitti di gerbong kereta tua. Awalnya menyenangkan ketika melihat Iqbaal mulai menggambar di salah satu bagian gerbongnya, tapi akhirnya bosan juga karena pria itu terlalu fokus. 
Sekarang gambar itu sudah selesai, (namakamu) yang tadinya duduk di pintu gerbong, kini turun dan menatap gambar Iqbaal. 
Graffiti. Sebuah tulisan ‘I miss u’ berwarna kuning menyala berada dibagian tengah gambar beberapa alat musik. Jadi tulisan itu didukung dengan background drum, gitar, piano, flute, dan biola yang seluruhnya berwarna hitam putih. Hanya tulisan itu yang berwarna, jadi benar-benar terlihat dari jarak beberapa meter pun.
Tanpa sadar (namakamu) tersenyum saat menatap graffiti itu. Gerbong tua yang sudah berkarat itu jadi terlihat lebih hidup. Iqbaal memang niat sekali membuat grafitti di salah satu stasiun tua seperti ini, buktinya ia punya tempat persenyembunyian pilok dan cat di salah satu kotak dalam gerbong.
“Lo lagi kangen sama siapa, Baal?”
“Orang tua gua.”
“Orang tua lo sibuk kerja kayak mama gue gitu?”
Iqbaal memasukkan kotak penuh cat dan pilok itu kembali ke dalam gerbong. Ia menaruhnya dikolong salah satu tempat duduk yang sudah tidak ada joknya. Ia menatap (namakamu) yang masih terkagum pada grafittinya, dan dalam waktu beberapa detik gadis itu sudah menoleh ke arahnya.
Pria itu mengalihkan pandangan, ia tidak mau (namakamu) tahu kalau ia sedang dipandangi oleh Iqbaal.
“Bukan urusan lo. Lagian kan gua ga lagi mabok, jadi gua ga mau nyurahin isi hati gua ke orang yang nyebelin kayak lo.” Iqbaal terkekeh di akhir kalimatnya.
“Gausah ngungkit masalah itu lagi. Mood gue lagi bagus nih,” ucap (namakamu).
“Lo belum jawab pertanyaan gua waktu itu. Apa yang bikin lo tertarik sama Aldi?”
(namakamu) melebarkan matanya ke arah Iqbaal. “Aldi? Siapa yang bilang kalo gue tertarik sama dia?”
“Halah, gausah boong deh lo! Lo pasti gatau kan, pas lo mabok yang bawa lo ke rumah gua itu si Aldi. Dia juga lagi ada di club waktu itu, dan pas lo lagi curhat ke gua, lo bilang lo cukup tertarik sama dia. Gua nanya apa yang buat lo tertarik, eh lo malah bilang cuma gua yang bisa milikkin lo seutuhnya.” Iqbaal menjelaskan sedikit tentang mabuknya (namakamu) waktu itu.
Lagi-lagi ia terkekeh saat melihat (namakamu) terdiam, pasti ia tidak sadar sudah mengucapkan hal itu. “Biasanya, orang mabok itu omongannya jujur loh. Berarti...”
“Berarti dia bisa gue duga sebagai orang yang foto kita pas ciuman!” (namakamu) menatap Iqbaal intens.
“Masalah itu lagi. Ya, sebenernya gua juga udah duga dia dari awal. Tapi masalahnya, setau gua setelah dia nganterin lo, dia langsung pergi lagi pake mobilnya.”
“Dan siapa aja yang ada dirumah lo waktu itu?”
Iqbaal menatap (namakamu) dengan sebelah alis terangkat. Dipikir-pikir lagi, kalau bukan Aldi yang memotret mereka, pastilah ada orang lain yang memotretnya. 
Orang yang berada disana, yang tahu bahwa Iqbaal dan (namakamu) berciuman. Aldi datang hanya berdua dengan (namakamu) waktu itu, sedangkan Steffi sudah tidur dan om Patrick baru pulang besok siangnya.
Mungkinkah yang memotret mereka adalah makhluk gaib? Tapi mana mungkin makhluk gaib punya kamera dan bisa mencetak foto itu serta mengancam (namakamu)?
“Cuma ada gua, lo, dan... Steffi.”
(namakamu) menjentikkan jarinya ke udara. “Ga salah lagi, ini pasti ulah dia.”
“Kok lo enak banget sih nuduh adik gua kayak gitu?” Iqbaal bertanya dengan nada tidak terima.
“Emangnya siapa lagi yang memungkinkan untuk foto kita waktu itu? Lo tau sendiri kan kalo pertama kali gue ke rumah lo aja, Steffi udah keliatan ga suka. Gimana kalo gue nyium lo waktu itu, pasti itu buat dia makin ga suka!”
“Udah pasti dia yang ngajakkin perang sama gue, Baal!" (namakamu) memasang wajah histerisnya.
Iqbaal sedang tidak mau berdebat tentang Steffi, apalagi lusa adalah hari bahagianya gadis itu. Ulang tahunnya yang ke 15. Meski yang dikatakan (namakamu) benar, Iqbaal tidak mau gadis itu menuduh adiknya sebelum ia menemukan buktinya sendiri. 
Bagaimana pun Aldi juga masih bisa dituduh, karena bisa saja kan ia kembali dengan mobilnya dan tanpa suara?
Pria itu menghela nafas kasar. “Lo belum sepenuhnya bener. Tapi ancaman tentang ‘perang udah dimulai’ itu cuma dateng sekali kan?”
(namakamu) menggelengkan kepalanya dengan mantap ke arah Iqbaal. Pria itu sama sekali tidak tahu bahwa ancaman perang sudah dimulai itu masih berlanjut. 
Beberapa hari lalu, tepatnya hari dimana (namakamu) menari TMB di depan Iqbaal lagi, ia mendapati ban mobilnya dalam keadaan kempes saat pulang. Lalu tadi saat Iqbaal menanyakan (namakamu) sedang mendengarkan lagu apa, sejujurnya gadis itu juga sedang membaca sebuah pesan masuk.
“Sebenernya, tadi ada nomor asing yang SMS gue, Baal.”
“Isi SMS-nya apa? Dia ga ngomongin ‘Little Boy’ sama bibir lagi kan?”
“Bukan urusan lo sih, tapi kenapa lo jadi peduli sama gue kayak gini, ya?”
***
"Bbrrr gilagilagila dingin banget! Mana jaket gua ketinggalan di pinggangnya (namakamu) lagi!" gerutu Iqbaal.
Pria itu pulang dengan keadaan basah kuyub. Ia tidak diantar oleh (namakamu) sampai rumah karena gadis itu marah dengan Iqbaal. Penyebab ia marah adalah karena Iqbaal tidak mau menemaninya ke tempat langganan Iqbaal menyewa kostum. Tentu saja kostum untuk pesta ulang tahun Steffi yang bertema ‘Western Films’.
Padahal (namakamu) ingin menyewa kostum di tempat langganan Iqbaal, agar ia bisa menitipkan kostumnya pada Iqbaal untuk dikembalikan nantinya. Gadis itu licik, sayangnya Iqbaal jauh lebih licik.
‘Tenang aja, (namakamu). Besok lo bakal mulai bertekuk lutut sama gua karena kejutan indah dari gua yang ga lo duga sebelumnya.’ Ucap Iqbaal dalam hatinya.
Pintu rumahnya tidak dikunci, maka Iqbaal segera masuk dan berlari ke arah kamar. Tidak ada Steffi yang menyambutnya, gadis itu tidak terlihat berada di lantai bawah. Saat Iqbaal hendak ke kamarnya, ia melihat pintu kamar di sebelahnya terbuka. 
Ia mendekati kamar itu dengan langkah yang tak bersuara. Terlihat Steffi sedang duduk membelakanginya diujung kasur. Tangannya menggenggam ponsel yang ia tempelkan ke telinga. Dan dari nada bicaranya, sepertinya Steffi sedang kesal dengan seseorang di seberang telepon itu.
Pria itu memilih untuk menguping. Bagaimana pun juga ia harus mencari bukti kebenaran jika Steffi yang memotretnya sedang berciuman dan yang mengancam (namakamu) atau bukan.
“Pacar lo emang dingin, Cass! Tapi seharusnya dia bisa berusaha buat ngikutin mereka kan? Bilang aja kalo dia mau ke toilet, padahal nyatanya dia ngikutin mereka.”
‘Tapi pacar gue bukan boneka lo, Steff! Lagian apa untungnya sih lo nyuruh kita bertiga buat ngawasin gerak-gerik mereka berdua di sekolah? Lo cemburu gitu? Kan kakak lo emang banyak digemarin cewek lain, Stef!’
“Lo masih anggap gue sahabat ga sih, Cass? Gue tau lo kakak kelas gue, tapi lo selamanya bakal jadi sahabat bagi gue. Dan lo tau kan kalo gue ga mau dia bener-bener cinta sama cewek lain?”
‘Steffi, gue selalu anggap lo sahabat kok. Buktinya gue sama Bella masih mau disuruh ngempesin ban mobil temen sendiri kan? Buktinya gue mau nyuruh pacar gue untuk fotoin mereka diruang seni. Dan satu lagi, buktinya gue mau disuruh lo untuk—‘
“Okay Cass, gue tau kalo lo emang ngertiin gue.”
‘Selalu, Steff. Tapi gue mohon jangan paksa pacar gue untuk jadi boneka lo juga, dia bisa ngasih tau ke Iqbaal kapanpun tentang lo yang—“
“Gue tau, Cass. Bilang ke dia kalo gue minta maaf, sekaligus makasih karena dia udah sempet kasih kabar kalo kakak gue bolos pelajaran.”
‘Sip. Terus rencana yang lo bilang untuk lusa itu jadi, Steff?’
“Pas—“
“STEFFI? Kamu teleponan sama siapa sih sampe ga denger kakak pulang?”
Steffi segera menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu menoleh ke sumber suara. 
Astaga! Dia ternyata lupa menutup pintu, dan disana sudah ada Iqbaal yang berdiri dengan badan basah kuyup. Tanpa aba-aba, gadis itu memutuskan sambungan telepon dan berjalan ke arah Iqbaal. Ia mengambil handuk yang digantung di balik pintu dan langsung menyampirkannya di punggung Iqbaal.
“Udah berapa lama kakak sampe di rumah?”
“B-baru aja.”
Steffi menangkap raut wajah Iqbaal yang sedikit gelisah, dan ia yakin bahwa kakaknya baru saja berbohong. Pria itu pasti sudah mendengar percakapannya dengan... Cassie. 
Kakaknya itu pasti akan curiga padanya dan memberitahu (namakamu) bahwa, Steffi adalah kemungkinan terbesar dibalik semua ancaman yang akan terjadi.

Bersambung...

Sweet Bad DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang