Tears

206K 6.1K 95
                                    

Tristan POV

Luna baru sadar dari pingsannya yang dikarekan oleh telpon dari Vanya tadi. Aku sudah tidak mempedulikan ponselku lagi tadi, langsung kugendong Luna ke kamarku -dan dia- di lantai atas. Tubuhnya begitu enteng dalam gendonganku, padahal dia lebih gemuk dari saat sebelum kami menikah.

Aku memegangi gelas untuk Luna minum. Tatapannya begitu nanar kepadaku. Aku yakin dia sedang sedih. walau aku belum tau apa alasannya sedih, aku yakin nanti dia akan menceritakannya padaku setelah dia lebih tenang.

"Kak" panggilnya.

"Ya, Lun?"

"Luna mau ke Malang sekarang" katanya dengan pandangan yang sangat menyedihkan. "Ibu masuk rumah sakit gara-gara kebanyakan ngehidup asep" kata Luna menjelaskan padaku. tatapannya begitu kosong menatapku. "restoran ibu kebakar"

Aku langsung menariknya ke dalam pelukanku. miris sekali nasib istriku ini... aku pun ikut sedih mendengar kabar seperti itu, bagaimanapun dulu saat kecil aku sudah menganggap Ibu itu adalah Mama keduaku, dan sekarang hal itu sudah menjadi kenyataan.

Dia menenggelamkan wajahnya di dadaku, aku jadi ingat dia pernah bilang 'disini nyaman'. dia nyaman di pelukanku. aku pun nyaman memeluknya...

"Iya, sayang, nanti kita ke malang ya" jawabku.

"Luna mau sekarang ka" pintanya.

"Gak bisa, sekarang masih jam 2. pesawat gak ada yang berangkat jam segini, adanya mobil, kalau mobil juga lebih lama nyampenya sayang" aku berusaha memberi pengertian kepadanya. aku merasa Luna mengangguk di dadaku.

***

Aku dan Luna sudah sampai di rumah sakit tempat Ibu Luna di rawat, rumah sakit yang sama seperti Mamanya Lea dirawat. Wajah panik Luna sudah sangat terlihat, tapi ia begitu takut untuk masuk ke dalam.

Aku merangkulnya untuk sekedar memberi kekuatan untuknya.

254. Aku dan Luna sudah berdiri di depan pintu, saat aku mengintip ke jendela sudah ada Vanya dan Noel di dalem sana, ada Bapak juga. Aku membuka pintu tanpa kuketuk terlebih dahulu.

mereka semua menatapku, dan Luna, lalu Vanya dengan cepat berjalan ke arah kami dan ia memeluk Luna. seketika, Luna menangis di pelukan Vanya. Manja sekali istriku ini... tapi kenapa tidak manja kepadaku saja?

"Yang tenang ya, Lun. Ibu lagi tidur" kata Vanya, dan kulihat Luna mengangguk.

Luna sudah berdiri di samping ranjang rumah sakit Ibunya, dan sekarang gantian bukan Vanya lagi yang mememeluk Luna melaikan aku yang merangkul Luna.

"Van, Noel, temenin bapak cari kopi yuk? Biarin Luna sama Tristan yang nemenin Ibu dulu" ajak Bapak.

Dan mereka berdua menurut. "Mari, Tan," kata Bapak.

"Iya, pak" jawabku dengan anggukan.

Luna masih terdiam memandang Ibu yang tidur dengan tenang. nafasnya teratur. Luna duduk di kursi yang ada, dan aku tetap memegang bahunya... hanya ini yang mampu kuberikan sebagai penyemangat untuknya.

Perlaham tapi pasti, kudengar isakannya. Ia menggenggam tangan ibu, dan menciumnya.. "maafin Luna ya bu hiksss baru sempet pulang ke Malang hikss......" isaknya pelan, tanpa ia sadari genggamannya begitu kuat hingga membuat ibu terbangun dari tidurnya.

ia tersenyum kepadaku, dan kubalas senyum itu dengan senyum sopanku. aku tidak canggung sama sekali, waktu dulu kami dekat karena rumahku yang persis di depan rumah Luna membuatku banyak bermain dengan Vanya dan Luna, hingga dekat dengan Ibu.

Bitter-Sweet Wedding ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang