The Feeling

281K 8.3K 80
                                    

maaf ya makin kesini ceritanya makin jelek. hahahah, soalnya aku bingung mau lanjutin cerita ini gimana... btw, cerita ini udah mau ending kok... paling 2-3 part lagi lah.. abis part konflik, mau aku endingin aja wkwkwkw...

aku emang gak mau bikin cerita ini panjang, takut berenti di tengah jalan kaya ceritaku yang lain, dan malah jadinya aku apus...

ya maklum aja, namanya juga penulis abal hahaha...

yaudah deh, sekian cuap-cuapnya...

=====

Author POV

Pagi harinya, mereka bangun telat. Sangat telat. Semua keluarga sudah selesai makan, tapi mereka belum juga turun. Bahkan, sampai jarum pendek di jam bulat itu hampir menuju ke angka 11pun, belum ada 1pun diantara pengantin baru itu yang keluar dari tempan nyamannya mereka. Hal itu membuat mereka yang sudah berkeluarga berpikir 'maklum, namanya juga pengantin baru' tapi berbeda dengan yang anak-anak.

"Uncle mana cih? Kok bobonya lama anet" tanya Kafka ke Vera, keponakan yang paling dekat dengan unclenya, saat mereka sedang santai-santai di ruang TV.

"Uncle disini bigboss," kata Tristan yang berada di anak tangga paling bawah.

Tristan menghampiri Kafka, merentangkan tangan untuk sekedar menggendong keponakannya itu.

"Uncle kok bobonya lama anet, cih?" tanya Kafka penasaran, kenapa sang uncle lama banget tidurnya.

Kafka yang ada di gendongan Tristan, dapat memperhatikan wajah Tristan yang berubah menjadi merah sedetik setelah pertanyaan itu keluar dari mulut kecilnya, tapi ia tak mengerti apa-apa. Sedangkan, keluarga yang lain -terutama yang cowok- malah terbahak-bahak melihat ekspresi yang keluar dari wajah Tristan.

Tristan tidak berani menatap mata polos keponakannya itu, ia mengalihkan pandangan kepada Vera dan Tora, orangtua dari bocah yang digendongnya itu.

"Uncle Itan abis 'perang' sama Aunty Luna, jadi bangunnya telat" celetuk Rega, dan disambut oleh tawa seisi ruangan, termasuk Kafka yang tidak begitu mengerti apa yang orang dewasa itu tertawakan. Bahkan, orangtua Luna-pun ikut tertawa maklum.

"Pelang?" alis mata Kafka bersatu, seperti orang dewasa yang sedang berpikir keras. "Aunty Luna bica main 'pelang-pelangan' uncle?"

"Ha? ehm, itu.... Bisa.. Eh ngga bisa," Tristan gelagapan menjawab pertanyaan polos dari Kafka. 'Sialan kak Rega' batin Tristan mengumpat.

"Gimana cih uncle" Kafka protes karena tidak mendapat jawaban yang pasti dari sang uncle. "Teyus capa yang menang? Uncle ato Aunty?"

"Uncle lah, Uncle kan 'mainnya' pake kekuatan ekstra" celetuk Dimas. Dan lagi, lagi, disambut oleh tawa seisi ruangan.

Kalau saja tangan Tristan 2-2nya tidak dipakai untuk menyanggah badan Kafka, pasti sekarang salah satu tangannya sudah ia pakai untuk menepuk jidatnya.

Posisi Tristan yang masih menghadap ke arah ruang TV dan membelakangi tangga, tidak menyadari kalau ada sosok Luna yang sedang berusaha menuruni tangga, sampai suara Kafka menyadarkannya.

"Aunty Luna main pelang-pelangan cama Kafka yuk" kata-kata polos itu meluncur dari mulut Kafka.

Tristan langsung membalikan badannya, melihat Luna yang sepertinya kesusahan untuk menuruni tangga.

"Nanti Kafka kalahin Aunty Luna kaya Uncle Itan cemalem"

Awalnya Luna hanya menganggap 'pelang' yang dimaksud Kafka hanyalah perang-perangan biasa yang dilakukan anak kecil. Tapi setelah mendengar kalimat terakhir yang Kafka ucapkan, muka Luna langsung berubah menjadi merah padam.

Bitter-Sweet Wedding ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang