[Jennar] That's My Lady

83.7K 4.3K 94
                                    

Aku menghela napas lelah. Wajah Azel yang sedang tertidur pun juga menggambarkan hal itu.

Kami berdua sama-sama lelah. Aku lelah dengan kelakuannya saat ini. Tapi mau bagaimana lagi? Masa iya aku langsung minta cerai karena aku nggak suka dia nemuin Desy?

Hum, apa yang baru aja aku pikirin?

Cemburu, eh?, goda hati kecilku yang sekarang menjelma jadi setan kecil.

Tanpa sadar aku mendengus dan mencoba bangkit dari dudukku. Namun sebuah tangan dengan cepat menarikku untuk duduk kembali di atas ranjang. Geraman halusnya terdengar seiring dengan gerakan tubuhnya.

Pasti Azel mau bicara. Sejak tadi dia pulang ke rumah, aku memang membuatnya nggak mendapatkan kesempatan untuk bicara denganku. Aku langsung menyuruhnya untuk mandi dan tidur selagi aku bersama dengan mamanya. Dan mungkin dia memang nggak tidur semalam, karena sampai menjelang malam seperti ini dan mamanya sudah pulang, dia masih saja tertidur.

"Pumpkin."

"Hm?"

"Kamu..."

Aku menatap Azel yang kini nggak melanjutkan kata-katanya. Pasti dia bingung mau menjelaskan dari mana. "Kalau kamu mau bahas tentang kemana kamu semalam, nggak usah dibahas." kataku.

"Lho, kenapa?" tanyanya tanpa repot-repot menyembunyikan kekagetannya.

Aku hanya mendesah pelan. Perlukah kubilang kalau aku mendengarnya saat Desy meneleponnya malam itu? Perlukah kubilang kalau aku sengaja tidak bangun ketika dia pergi? Awalnya, aku cuma ingin melihat sejauh mana tekad Azel untuk menerapkan trust issue yang baru saja dia bahas malam itu. Tapi, seperti yang aku duga--namun selalu kusangkal--dia pergi dan memilih untuk nggak mengatakan yang sejujurnya.

Aku sudah cukup tau mengenai hal itu. Jadi kurasa, nggak ada gunanya lagi dia menjelaskan apapun.

"Aku tau kamu kemana," jawabku pada akhirnya. "aku nggak tidur saat itu. Jadi ya aku terima aja kamu mau ngomong apa di selembar post-it itu."

"Kamu belum tidur waktu itu?"

"Hum," gumamku pendek. "sekarang, lepasin tanganku dan kamu mandi. Aku siapin makan malam."

Azel hanya diam saat aku turun dari ranjang, namun saat tanganku sudah meraih handle pintu, suaranya kembali terdengar memanggil namaku.

"Aku kecewa lho."

Aku diam, memilih untuk nggak berbalik ke arahnya dan berteriak di depan wajahnya, harusnya aku yang bilang begitu!

"Kita ini suami-istri, Pumpkin. Jangan biarin aku berjuang sendiri untuk hubungan ini. Ketika kamu punya hak dan kesempatan untuk ngelarang aku, kenapa kamu nggak gunain hal itu?"

"Kamu pikir, harus selalu aku yang ngelarang kamu?" balasku dengan datar. Jujur, aku terlampau lelah kalau Azel mengajakku bicara dengan tarik urat. "Harusnya kamu tau, Zel. Bukan cuma perempuan yang harus bisa menjaga dirinya, tapi ketika seorang laki-laki udah memutuskan untuk berkomitmen, maka dia juga yang harus bisa menjaga dirinya."

Tanpa mau repot-repot mendengar responnya, aku memilih segera beranjak dan menutup pintu kamar tanpa melihat Azel. Kalau mau jujur, aku capek. Tapi kalau ditanya, apa aku menyesal dengan memutuskan untuk menikah dengannya? Aku pasti menjawab kalau aku nggak menyesal.

Serumit apapun keadaan yang membuat kami menjadi satu ikatan pernikahan, aku nggak mau dengan mudahnya mengajukan cerai dengan alasan sepele. Ketika aku menagih janjinya--yang tadinya iseng lalu berujung jadi kenyataan--aku sudah bertekad bahwa tak akan ada kata cerai dari bibir kami berdua. Aku yakin, walaupun jalannya akan berat dan aku masih ragu, aku pasti bisa menghadapinya.

Satu hal yang Azel nggak tau, aku nggak mau terlalu mengekangnya. Karena itulah aku menunggu inisiatifnya. Kami menikah kan juga karena ucapanku, aku nggak mau dia berpikir kalau aku ini tukang perintah yang mendominasi hubungan ini.

Ugh, untung saja hari ini jadwal aku off dari kantor. Kalau hari ini aku masuk, bisa dipastikan kepalaku akan pusing menghadapi kasus orang lain dan kasus pernikahanku sendiri. Grrr.

"Yang pasti, mau kamu terima atau nggak, aku bener-bener minta maaf. I really do."

Bisikan itu terdengar seiring dengan kedua lengan yang memeluk pinggangku. Huh, kalau aku sedang memasak sayurku seperti yang beberapa waktu lalu kulakukan, sudah pasti kuah sayur itu sekarang berada di wajah Azel dengan indahnya.

"Bisa nggak sih nggak bikin orang kaget?" sungutku sambil kemudian duduk di kursi. "Untung cuma lagi megang piring."

Wajah Azel sudah lebih segar saat ia duduk di hadapanku. Wangi aftershave bercampur sabunnya benar-benar membuatku tenang. Huh, kurasa reaksi tubuhku benar-benar aneh saat ini.

"Jadi..."

Aku mengernyitkan keningku ketika menatap Azel yang tersenyum konyol sambil menggantung kata-katanya. "Apaan?"

"Dimaafin? Atau aku harus berlutut dan bawain kamu cincin Tiffany&Co?"

Aku mendengus kecil sambil mengibaskan tanganku. "Maaf ya, aku bisa beli sendiri kok kalo cuma Tiffany doang."

Bukannya tersinggung atau apa, Azel justru tertawa dan kini mulai lahap makan. Azel sudah kembali seperti biasa. "Nah, that's my lady!"

Seakan berkhianat, wajahku memerah dan menghangat. Astaga, Jennar, jangan kemakan kata-kata manisnya itu!

Tapi capek kan berantem terus?, racau setan kecil di dalam diriku. Nah, kalau gitu, udah nggak ada masalah lagi dong. Kalau suka ya bilang, kalau sebel ya bilang aja sama dia. Jangan cemburu sama Desy, kamu malah uring-uringan sendirian.

Sialan! Kenapa satu sisi hatiku malah bicara seperti itu?

••••••

16-04-2014

18:37

Haaah *hela napas* sekarang malah bingung mau lanjutin ini. Maaf ya kalo gak jelas, emang semua cerita gue nggak ada yang jelas sih xD #plak

A Little AgreementWhere stories live. Discover now