[Azel] Trust Issue

84.9K 4.2K 128
                                    

"Kamu nggak percaya?"

Jennar hanya diam di pelukanku. Aku tau benar, pasti nggak akan mudah untuk membuatnya yakin. "Pumpkin, harus ada kepercayaan untuk satu sama lain--"

"Kamu harusnya menanamkan hal itu sejak dulu sebelum kamu mengatakan hal tersebut di depan wajahku."

"Oke, terserah kamu mau percaya apa nggak, tapi aku cuma mau ngasih tau satu hal yang mungkin memalukan tapi aku lumayan seneng dengan hal itu," ujarku sambil terkekeh dan meregangkan pelukanku agar bisa menatap wajahnya.

Aku mengelus pelan pipi Jennar yang lama kelamaan muncul semburat merah di sana. "Aku mimpiin kamu, kamu tau sendiri kan, kalo aku mabuk suka ngelindur dan mimpiin sesuatu. Saat itu yang di mimpi itu kamu, tapi nggak tau gimana tiba-tiba Desy muncul. Saat itu aku manggil dia karena heran, kenapa juga dia bisa tiba-tiba muncul.

"Tapi ternyata, di mimpiku aja dia udah bikin seseorang marah besar sama aku," Aku mendekatkan wajahku hingga kening kami bersentuhan dan deru napasnya sangat terasa olehku. "nyonya Dirgayasa ini sangat marah ternyata."

Jennar mengalihkan wajahnya ke samping, menolak menatapku saat mengatakan, "Siapa juga yang nggak akan marah? Bodoh kamu, Zel."

Aku terkekeh sambil mengelus punggungnya pelan. "Iya, aku tau aku bodoh karena udah bikin perempuan secantik kamu jadi tarik urat gara-gara aku."

Jennar hanya mendengus dan mulai melepaskan belitan tanganku di tubuhnya. "Terserah apa kata kamu, aku capek ah."

"Kamu nggak mau tau kemaren aku ketemu sama Desy ngapain aja?"

Entah setan darimana, tapi aku ingin Jennar yang sudah berdiri memunggungiku ini kini berbalik dan menyerangku dengan pertanyaan atau caci maki. Tapi sekali lagi, nggak semua harapan bisa terwujud. Jennar tetap berjalan menuju tangga untuk segera pergi ke kamar.

"Kapan-kapan aja," jawabnya sambil lalu.

Aku menghela napas, kenapa rasanya frustasi punya istri seperti Jennar? Selama ini aku sudah menganggapnya sebagai satu-satunya perempuan yang akan terus bersamaku sampai akhir hayat nanti. Tapi kenapa bagi Jennar, susah sekali untuk percaya padaku?

Samar-samar ponselku yang ada di saku bergetar. Dan pemicu ketegangan antara aku dan Jennar dua hari ini ternyata adalah pemilik nomor yang sedang meneleponku.

"Halo."

"Halo, Zel. Gu-gue... bisa minta tolong?"

♥♥♥

"Lo kenapa lagi?" tanyaku ketika aku sampai di apartemen tempat Desy tinggal sementara ini.

"Gue cuma lagi butuh temen ngobrol. Nggak apa-apa kan, Zel?"

Aku mengacak rambutku dengan gusar dan memutuskan untuk mengabaikan pertanyaannya. Apartemen yang ditinggali Desy rapi dan simple. Tidak terlalu banyak perabotan yang ada di sini. Bagaimana reaksi Jennar kalau tau aku ada di sini? Di apartemen Desy.

Lucu, ketika tadi aku membicarakan trust issue dengan Jennar dan kini--setengah jam setelah hal itu--aku ada di apartemen perempuan lain tanpa memberitaunya.

Tadi saat Desy meneleponku, ia hanya bilang bahwa ia butuh pertolonganku dan memintaku untuk segera ke apartemennya. Saat aku ke kamar untuk meminta pendapat Jennar mengenai hal ini, ternyata Jennar sudah tidur. Mungkin ia capek karena seharian ini memendam emosi karena aku. Akhirnya aku hanya menempelkan selembar post-it di pintu kulkas sebelum aku pergi ke sini.

Dan sekarang aku menyesal. Pertama, karena aku pergi begitu saja dari rumah tanpa jujur dengan tempat tujuanku. Kedua, ini sudah jam sebelas malam dan kenapa juga otakku dengan begitu bodohnya main pergi begitu saja?

A Little AgreementWhere stories live. Discover now