[Jennar] Hero

96.2K 4.6K 370
                                    

"Lho, kamu ke sini juga?"

Aku mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum. Bisa kurasakan Azel yang langsung memelukku setelah tadi menyapa Kak Rendra. "Kakak ngapain ke sini?"

"Mau ketemu beberapa guru, nostalgia sedikit sebelum pergi," jawabnya sambil terkekeh.

Ah, sebelum pergi? Dia mau pergi--lagi?

Rangkulan Azel yang menguat di bahuku menyentakku dari lamunan. "Kita duluan ya," pamit Azel.

Kak Rendra mengangguk walau dengan tampang berpikirnya. Sepertinya... ada yang mengganjal baginya. Tapi aku nggak tau dan memilih ikut berjalan di samping Azel menuju mobilnya.

"Jennar."

Langkahku dan Azel langsung berhenti ketika mendengar panggilan Kak Rendra. Kak Rendra terlihat berjalan menghampiri kami. "Zel, boleh gue pinjem istri lo? Mau ngobrol sebentar, tea time? Nanti gue anterin pulang kok."

Aku terkejut, nggak nyangka dengan apa yang baru saja ia katakan. Aku melirik ke arah Azel yang ternyata juga sedang melirikku. Kami hanya berpandangan dalam diam lalu akhirnya Azel menghela napas dan beralih menatap Kak Rendra. "Oke, nanti gue aja yang jemput dia."

Aku membulatkan mataku. Apa-apaan ini? Kenapa dia justru ngijinin?

Ugh, kenapa sekarang aku berharap kalau dia bakal ngelarang?

"Nanti SMS gue ya lo dimana," ujar Azel sambil menciumku tepat di kening. "hati-hati, jangan minum kopi. Jangan ngerepotin orang, jangan--"

"Iya, iya bawel."

Azel tertawa lalu mengacak rambutku gemas seakan nggak peduli kalau ada Kak Rendra di hadapan kami. Tanpa pernah aku duga sebelumnya, Azel menarikku dalam pelukannya. Sebentar namun erat. Dan aku nggak tau apa Kak Rendra bisa mendengar kata-kata Azel atau tidak. Tapi yang pasti, aku mendengar dengan sangat baik apa yang ia katakan tepat di telingaku saat ia memelukku.

"Kalo lo mau nangis, usahain tahan selama ada dia. Nanti, kalo dia pergi dan gue udah dateng, lo bisa nangis sepuasnya. Terlepas dari itu semua, gue tau kalo lo lebih kuat dari yang diri lo sendiri tau."

♥♥♥

Dan di sinilah aku dan Kak Rendra. Nostalgia berdua di sebuah kafe yang nggak jauh dari SMA kami. Tadi setelah Azel kusuruh pulang, aku menemani Kak Rendra menemui beberapa guru sebelum akhirnya kami kesini.

Aku meringis diam-diam. Ingat betapa banyaknya kenanganku dengan Kak Rendra di kafe ini. Walaupun kafe ini telah berdiri lebih dari sepuluh tahun, aku tetap suka ambience kafe ini. Homey dan... apa ya? Punya gayanya sendiri hingga aku susah untuk berpaling ke kafe lain.

Ngomong-ngomong tentang susah berpaling, sosok di hadapanku ini adalah sosok yang juga membuatku tidak bisa berpaling pada lelaki lain di luar sana.

"Udah lama banget ya kita nggak ke sini," ujarnya sambil menyesap Java Coffee-nya--minuman yang sama sejak kelas 2 SMA kami sering hang out.

"Iya," jawabku sambil mengedarkan pandanganku ke sekitar. "kayaknya baru kemaren deh, kakak ngajarin aku Fisika di sini sampe malem cuma buat ngadepin ulangan harian."

"Siapa suruh otakmu itu nggak bisa nerima rumus sama sekali?"

"Ih, tuh kan. Ngehina aja sih."

Kak Rendra tertawa, bukan tawa selepas yang dimiliki Azel. Hanya tawa singkat namun selalu kutunggu setiap saat karena tawa itu jarang muncul. Setelah itu kami habis-habisan membahas masa lalu kami.

Dari SMA sampai aku lulus kuliah, kami memang selalu bersama. Banyak orang yang bilang kalau kami pacaran. Tapi kurasa mereka harus menelan pil pahit bernama kekecewaan karena kami hanya teman yang merasa sudah seperti kakak-adik.

A Little AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang