[Azel] Baby and You

96.3K 4.2K 142
                                    

"Gue ke toilet dulu."

"Perlu ditemenin nggak?"

"NGGAK! PERVERT!"

Aku tertawa sambil mengacak rambutnya yang ia gerai. Setelah merengut sebal ke arahku, Jennar melangkah menuju lorong yang menuju ke arah toilet.

Aku memilih untuk berdiri di dekat pagar pembatas sembari melihat ke sekeliling. Kami baru saja menghabiskan hari ini untuk belanja bulanan dan membeli beberapa keperluan kami. Pandanganku tertumbuk pada toko yang menjual berbagai macam peralatan dan baju bayi.

Biasanya, mayoritas adalah perempuan yang mempunyai keinginan besar untuk mampir ke toko tersebut. Tapi entah kenapa, aku tiba-tiba sudah berjalan ke arah toko tersebut.

"Selamat malam, Mas. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau yang ini ya."

"Baik. Ada lagi yang lain?"

Aku menggeleng. "Itu aja."

Pramuniaga toko tersebut mengangguk dan menggiringku ke kasir. Aku tersenyum dalam hati ketika melihat dua sepatu bayi berwarna merah dan peach yang dibawa sang pramuniaga. Entah kenapa aku bisa membayangkan bagaimana lucunya anakku nanti kalau memakai sepatu yang kubelikan.

Setelah membayar dua sepatu itu, aku keluar dari toko dan mencari keberadaan Jennar. Mataku masih menyapu ke sekeliling toko. Memerhatikan beberapa peralatan makan bayi dan bantal berukuran mini yang dikhususkan untuk bayi-bayi mungil.

Aku benar-benar menyukai anak kecil. Dulu, saat remaja aku pernah berpikir untuk punya banyak anak, lima mungkin? Hahaha, itu adalah pikiranku yang masih benar-benar labil--belum mengerti betapa susah dan beratnya seorang perempuan mengandung.

"Darimana? Kok gue cariin nggak ada?"

Aku refleks menoleh pada Jennar yang menepuk bahuku dari belakang. Dengan satu gerakan cepat, aku menariknya dalam rangkulanku dan menghelanya berjalan kembali.

"Tadi cuma liat-liat doang." jawabku. "mau kemana sekarang? Ke toko buku? Atau dinner?"

"Dinner yuk. Laper nih."

Aku mengangguk mengiyakan sambil mengecup keningnya sekilas. Lagi-lagi Jennar mendengus ketika aku menggandeng tangannya dan menyatukan tautan jemari kami. Aku hanya terkekeh, kapan ya Jennar terbiasa atas semua ciuman, skinship dan juga aku di sampingnya?

Mengingat selama ini selalu ada Rendra di sisinya, kurasa membiasakan diri bukan hal yang mudah. Mereka--Rendra dan Jennar--telah bersama sejak akhir masa SMA sampai menjelang akhir kepala dua. Jadi, dengan kebersamaanku dan Jennar yang baru benar-benar terjalin tiga tahun ini, bukan hal yang mudah untuk membiasakan Jennar dengan segala aspek mengenai diriku di sampingnya.

Akhirnya kami memilih sebuah restoran sky dining favorit kami. Duduk di balkon yang membuat kami bisa langsung menatap kota Jakarta dan beratapkan langit gelap malam. Kalau tingkat polusi di sini rendah, pasti kami bisa melihat taburan bintang yang menemani bulan.

"Bentar lagi masuk kerja deh," gumam Jennar sambil mendongak menatap langit.

"Nggak usah kerja kalo males."

"Enak banget sih ngomongnya," dengus Jennar. "kalo gue nggak kerja, nanti dapet duit darimana gue?"

Aku menggenggam tangan Jennar--dan untungnya dia nggak menolak genggaman tanganku. "Kan ada gue. Lo kan istri gue, Jen, ya udah jadi tanggung jawab gue semua kebutuhan lo."

"Kalo nanti kita cerai, gue dapet duit darimana, Zel? Gue bukan cewek yang bakal nuntut harta gono-gini sebegitu gencarnya."

Aku meremas tangan Jennar dengan cukup keras, membuat Jennar terpekik kaget. "Lo kenapa sih, Zel?"

A Little AgreementWhere stories live. Discover now