Our Destiny ~ 12

23.3K 1.7K 62
                                    

Saat ini Dokter sedang memberi intruksi pada Azella. Mengapa dia bisa tahu? Tentu saja karena Dokter itu mengenalkan diri. Walaupun Azella tak bisa melihat wajahnya, tapi gadis itu yakin jika sang Dokter bernama Ian adalah seorang pria berusia baya yang baik hati dan ramah. Gadis itu juga yakin pastilah hidup Dokter Ian jauh lebih bahagia dari dirinya.

Mata Azella masih terasa berat, padahal tangan dan kakinya sudah bisa bergerak sempurna. Mungkin gadis itu masih merasa takut. Takut melihat dunia yang sudah membuatnya kehilangan harapan. Dan, ketika mengingat Moon Goddes masih memberikan harapan serta kepercayaan padanya, Azella tak bisa mundur.

Jangan pernah berhenti, teruslah melangkah maju

Kata-kata dari ayahnya itu selalu terngiang. Saat senang, sedih, frustasi, bahagia, putus asa, semua itu harus menjadi pelajaran untuk terus melangkah maju. Jangan biarkan ego menguasai. Gunakan hati.

"Lakukan seperti yang saya instrusikan, Luna. Jika Anda mengerti gerakkan jari-jari anda sekali. Jika tidak gerakkan jari-jari sebanyak 2 kali. Mengerti, Luna?" tanya Dokter Ian dengan lembut.

Azella mengerti. Jari-jari tangannya bergerak sekali. Di dalam sana dia bisa merasakan napas lega dari seseorang yang berada entah di sisi mana, tapi yang pasti terasa dekat. Sangat dekat ... dan terasa menenangkan.

"Baiklah, Luna. Lakukan secara perlahan. Pelan-pelan saja, jangan terlalu di paksakan. Mengerti?"

Jari-jari tangan Azella kembali bergerak sekali.

"Bayangkan tempat-tempat terindah yang pernah Anda kunjungi. Atau tempat penuh kenangan." Dokter Ian kembali memberi instruksi.

Azella menyelami ingatannya. Dimulai dengan bayangan rumahnya yang lama, rumah yang ia tempati bersama orangtuanya. Garis wajah Azella mulai terbentuk. Senyum tipis mulai terbentuk dibibir pucatnya.

Lalu berganti dengan bayangani taman tempatku menghabiskan waktu bersama keluarga, pack, dan Fernando, dulu. Kali ini bibirnya semakin naik ke atas. Tersenyum lebar.

Tapi secepat itu juga kebahagiaan itu memudar. Satu ingatan buruk menghancurkan kenangan bahagianya. Bayangan itu memutar balik, Fernando berciuman dengan Celline di taman itu. Mata Azella memanas, giginya menggertak, isakan kecil keluar dari bibir pucatnya, dan setetes air mata jatuh dari pulupuk mata.

Hingga sebuah sentuhan yang menghapus air mata itu menghentikan kesedihannya. Sentuhan itu terasa nyaman dan hangat. Azella membeku dan terpaku untuk sesaat pada sentuhan itu. Resapi, rindu, tersimpan dalam memori. Sentuhan ini sama seperti saat orang-orang masih ada untuknya, tapi rasa dari sentuhan ini jauh lebih dahsyat dan nikmat rasanya. Sekali untuk seumur hidup.

"Tenang! Tidak ada yang akan menyakitimu selama ada aku disini." Suara berat nan halus terdengar lembut di telinganya, membuat Azella ingin sekali membuka matanya. Secepat mungkin, agar dia tidak kehilangan momen ini.

Perlahan semua ingatan buruk itu musnah, dan Azella membuka matanya. Di sana gadis itu melihatnya. Takdirnya yang baru, seseorang yang dikatakan oleh sang Dewi Bulan. Seorang pria dengan mata cokelat yang indah.

Mate!

***

Christian—sungguh berusaha—menahan dirinya begitu melihat tubuh Azella tersentak dan bergerak gelisah. Sungguh Christian ingin segera memeluk tubuh mungil itu, tapi ia mengurungkannya. Ada sedikit rasa aneh yang membentenginya agar tidak mendekat—sangat dekat dengan Azella.

Di dalam ruang rawat itu tidak hanya ada Dokter Ian dan Christian saja, tapi juga Liam, Dhea, dan Fabian. Mereka juga sama khawatirnya dengan Christian, bahkan Dhea memeluk lengan Fabian dengan sangat erat. Apa yang terjadi pada Azella kini menjadi tanggung jawabnya. Salahnya yang hanya diam melihat seorang Alpha melecehkan Lunanya di depan semua werewolf. Ditambah ketika dia mengetahui bahwa gadis itu juga merupakan Luna anaknya—satu hal yang masih dalam proses pencarian.

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang