Journal - 14

39.5K 3.7K 69
                                    

Apa aku cemburu? Tidak.

Kenapa harus cemburu jika aku bukan siapa-siapa Landon. Aku hanya seseorang yang datang ke hidupnya tanpa sengaja hanya untuk mendapat uang. Maksudku, diantara kami memang tidak ada apa-apa jadi aku sama sekali tak bisa cemburu.

Aku bukan cemburu. Tapi 'tak bisa' cemburu.

Lagipula di sebelahku ada Raga Dirgantara, orang yang dari pertama bertemu di kantin sudah aku idolakan. Oke, ini menjadi rahasia kita tolong dengarkan baik-baik.

Aku. Suka. Pada. Raga.

Bukan Suka. Pada. Landon.

Oke?

"Tibs, lo liat apaan?"

Aku mengerjap dan kedua sosok itu sudah masuk ke dalam studio begitu kepalaku menoleh pada Raga. Dia terlihat bingung sambil mengernyitkan dahinya.

"Gak liat apa-apaan," aku membuang muka dan berdiri, "filmnya udah mulai."

*

Pagi ini aku terbangun dengan rasa yang makin campur aduk. Rasanya ada yang aneh dan mengganjal di hatiku. Seperti sesuatu yang bertengger manis dan tidak ingin pergi dalam dada. Ini ... perasaan yang menyebalkan.

Kau tahu apa artinya perasaan itu? Aku baru pertama kali merasakannya.

Hari demi hari kulalui dengan perasaan yang terus menggerogoti hatiku. Semakin lama semakin terasa dan wajahku sekarang tak ada bedanya daripada zombie (ini kata Tiffany, dia pernah bertemu zombie sepertinya. Entahlah).

Mungkin ini karena si sial Landon, atau aku gugup karena hari yang ditentukan pada brosur club berita tinggal seminggu lagi.

Mungkin dua-duanya.

Kenapa jadi banyak kata mungkin coba.

Oke, biasanya kalau aku marah aku akan makan es krim lewat yang murah. Kalau aku sedih aku akan berlari-lari seperti orang gila yang kabur dari rumah sakit mental. Jika perasaan aneh ini, apa aku harus makan es krim sambil lari?

Yah, bagus banget sekarang aku mulai absurd.

Lebih baik kita ke dunia nyata. Pikiranku memang sesat.

"If you don't wanna love me for me," aku mencoba bernyanyi sambil berjalan di atas koridor.

Oh iya, aku baru ingat nanti ada pelajaran musik dan lagi-lagi aku dan Raga harus sekelompok untuk memainkan instrument.

Pikiranku mulai absurd lagi ketika mengingat brosur dari club berita.

Tapi tiba-tiba semuanya terhenti ketika aku melihat Diska dan keronconya akan berpapasan denganku. Sudah lama banget nih gak liat curut satu, apain ya. Senyuman licikku mengembang, tepat saat itu Diska melihatku dan tatapan sinisnya membuat tanganku melambai.

"Hai, Dis," kataku pura-pura selo, padahal sekarang aku ingin menjambak rambut kebanggannya itu.

"Ganggu jalan orang deh," kata Diska ketus karena dari tadi aku menghalangi jalan makhluk Tuhan yang Tidak Seksi itu.

Hahaha, awesome.

"Gue punya berita loh," kataku sambil menyembunyikan kedua tangan di belakang.

Mata Diska sekarang bertemu denganku. Tapi tak lama, karena dia memutar bola matanya dengan kesongongan meningkat dua puluh kali lipat.

"What?" tanya Diska sok kebarat-baratan.

Aku berbisik di telinganya. Mencoba mengirimkan suara mematikan dan dingin, dan sepertinya aku berhasil karena dia bergidik.

"Saat di acara nanti, gue bakal ngacauin semuanya."

ST [4] - Tibby's JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang