Journal - 5

57.3K 4K 266
                                    

  “Jadi gitu?” sahut Landon akhirnya.

Aku menghela nafas lega. Melirik Rico yang tengah menyesap jus apel buatanku. Tadi mereka berempat memberondongi kami pertanyaan seperti ‘kok kalian kenal?’ atau ‘lo kenal Babu ini?’ yang lebih parah, ‘mungut di mana lo, Co, sampe bisa nemu yang antik kayak gitu?’ (ya, berempat, termasuk Hillary. Mungkin gen kepo mereka berlebih)

  “Iya, gitu. Udah ‘kan? Udah puas pasti. Oke, gue pulang dulu. Capek banget dengerin kalian ngoceh,” cerocosku sambil mengambil tas gendong.

  Tapi sebelum aku bisa mengiranya, seseorang menarik tanganku. Rico. “Gue yang anterin?”

Dengan mata hazel lembutnya, wajah imut, dan rambut model spike, siapa yang bisa melupakan spesies ini? Meskipun dia dulu menjadikanku taruhan, dia bukan cowok beringasan atau … apa ya. Maksudku, dia selalu ngomong seperlunya. Seperti robot. Dia manis, tentu saja (mana aku mau dulu berpacaran dengannya jika tiap hari dibuat kesal). Rico selalu memenuhi kebutuhanku. Tapi saat dia ke rumah ‘mungil’ keluargaku, waktu itu juga aku tahu ternyata hanya dijadikan bahan taruhan.

Aku langsung memutuskannya. Semudah itu. Secepat itu. Meski malamnya aku terus menangis, tapi besok, aku menjadi Tibby yang dulu.

Itulah aku, cewek yang didalemnya lemah, diluarnya kuat. Tipe orang yang gak suka ada yang melangkahi teritorialnya.

Stop melankolis ini. Aku harus menjawab pertanyaan spesies di depanku atau tidak sama sekali.

  “Gue bisa kok pulang sendiri,” kataku sambil melepas tangannya cepat-cepat.

Demi seluruh pantat lenggak-lenggok Bu Hilda, aku tidak pernah segugup ini di hadapan Rico!

  “Tapi udah malem, Tibs. Gue anterin ya?” tawarnya lagi.

  “Udah sana, mau dianterin juga. Malah ngeyel,” sahut Kurt tiba-tiba, mendorong punggungku menuju pintu keluar bersama Rico, “ati-ati, ya.”

Dengan kekesalan terpendam (aku bersumpah akan membunuh Kurt besok), aku membuka pintu mobil Rico. Gerakanku terhenti ketika Landon keluar dari mansion dan menghampiriku.

  “Begs, lo lupa ini,” katanya sambil menyorongkan buku jurnal obralan 80% milikku.

Omaigad, kenapa ada di tangan orang laknat ini?

  “Ma-ka-sih,” aku mengambil buku jurnal itu kasar, “lain kali gak usah diingetin. Buang aja bukunya. Oke?”

Landon hanya mengangkat kedua bahunya, lalu masuk ke dalam mansion dengan wajah tanpa ekspresi.

  “Kakak gue, jangan ambil hati,” seru seseorang tiba-tiba, siapa lagi kalau bukan Rico. Tidak mungkin sosok ‘itu’ yang bersuara selembut miliknya. Kadang aku berpikir sebenarnya Rico dan aku jenis kelaminnya tertukar.

Rico seorang cewek.

Dan aku sebenarnya cowok.

  Mengkhayal lagi, Tibs? “Gue udah biasa digituin,” kataku, tak perduli Rico sekarang bertindak gentle dengan membuka pintu mobil untukku. Aku menatap mata hazel itu datar, “pas SMP juga. Sama aja. Mau di mana juga gue selalu dihina.”

  “Tibs …”

  “Udahlah, Co. Enough is enough. Kali ini aja gue mau ngobrol sama lo. Besok? Lusa? Gak ada. Udah gak ada kita. Dari dulu juga gitu,” aku tersenyum sinis, masuk ke dalam mobil tanpa berbicara apa-apa lagi.

Ya, my own fairytale … is over.

Gak ada Rico di pikiran Gue.

Gak ada Gue di pikiran Rico.

ST [4] - Tibby's JournalWhere stories live. Discover now