Journal : (8) Baru Dimulai

53.1K 4K 304
                                    

Aku telah menghabiskan dua roti untuk sarapan di rumah kali ini saat ponselku berbunyi tanda telepon masuk. Dengan malas aku mengambil benda hitam kotak berlayar monokrom itu dari saku seragam, lalu menerima panggilan telepon.

"Halo?"

"Apa kabar?"

Meskipun suara di sebrang sana terdengar datar, aku sudah tahu sebenarnya dia khawatir padaku. Mungkin aku spesies aneh yang bisa menerka suara itu menunjukkan suatu keresahan. Tapi, aku langsung tahu karena dia adalah Dea.

"Baik, lo?"

"Biasa aja. Lo udah dapet duit?"

Tuh 'kan.

"Belom, tapi lagi usaha. Emangnya lo gak kepo apa, De, gue butuh buat apaan?"

"Hm? Buat mengikuti arus kehidupan kaum borjuis."

Sial, kenapa dulu Dea tidak mengikuti jalur PS kalau ternyata dia sepintar ini? Sangat disayangkan bakat alaminya tidak diasah.

Kalau bakat hokiku sih, dari orok juga sudah digunakan.

"Trus lo seneng gak di sana?" tanya Dea lagi ketika aku sama sekali tidak menyahut kembali.

"Hah? Biasa aja."

"Gak ada yang gangguin lo 'kan?"

"Lo apa-apaan si, kepo gini," kataku sambil tertawa garing.

"Kayaknya lo gak mau bilang. Yaudah. Eh, iya, kata nyokap, bonyok lo pergi ke Malang gara-gara bokap lo diterima lamaran kerjanya. Jadi, di rumah lo sendirian dong?" tanya Dea panjang lebar.

Memang sudah dua hari aku ditinggal di rumah, sendirian. Papa dan Mama pergi ke Malang, aku akhirnya bersyukur ternyata Tuhan masih memberikan nikmat-Nya pada keluarga kami. Aku tidak akan bisa membayangkan jika Papa sekarang masih bekerja tidak tetap.

"Tibs?"

"Hah? Eh iya, kenapa?"

"Lo gak denger gue ngomong apa, ya?" tanya Dea terdengar kesal.

"Sori, lagi mikir."

Setelah mengkonfirmasi tentang kepergian kedua orangtuaku, Dea berpesan untuk menjaga diri baik-baik dan dia memutuskan sambungan telepon. Kadang, sahabatku satu itu memang terlalu lebay. Maksudku, apa, sih, yang akan terjadi jika aku ditinggal sendirian?

Setelah sarapan, aku langsung bergegas menuju mansion lima bersaudara. Sudah jam lima lewat, pasti mereka sudah berteriak kelaparan seperti bayi. Hari ini aku akan memasak sarden dan sayuran brokoli. Semoga mereka suka.

Berada di sana selama kurang lebih lima hari, aku jadi ingat semua sifat mereka. Jadi, mari kujabarkan satu-satu.

Lance, kakak tertua mereka. Anak baik-baik, populer, sering menengahi pertengkaran antara aku dan keempat saudaranya, tapi ... dia kesepian dan sering berpikiran negative. Mata hazelnya selalu berkerut hangat ketika tersenyum, ditambah lesung pipi yang semakin membuatnya menarik. Tak heran jika penggemar Lance mampu menandingi Harry Styles ...

Landon, kakak kedua dari lima bersaudara. Cowok paling kasar, dingin, sinis, cekatan dan tidak sabaran ini sudah masuk ke dalam 'Revenge List'ku sejak pertama bertemu. Meski terkadang dia sering membantuku dalam memasak jika aku sudah amat payah, tapi TETAP saja. Aku membencinya melebihi aku membenci ketombe. Tidak perlu ditanya, pasti sampai sekarang dia jomblo abadi.

Rico, jangan ngomongin dia ... tapi ... harus. Dia anak tengah, paling sopan dan santun, suka membantu Hillary mengerjakan PR dan sialnya, dia seangkatan denganku di Nusa Bangsa.

Kurt, anak keempat yang juga seangkatan dengan Rico. Dia masuk jalur akselerasi dan selalu menetap di nomor satu dalam setiap ujian. Padahal, setahuku di rumah ketika kami pulang dia maniak virtual game dan bla-bla-blanya itu.

ST [4] - Tibby's JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang