Journal - 9

44.3K 3.8K 45
                                    

Meski sudah bertahun-tahun tidak berhubungan dengan Rico Hamardean, tapi dengan jelas aku hafal gerak-geriknya. Dia selalu tersenyum menenangkan, dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Rambut cokelatnya tersisir rapi ke belakang dan dia berbadan tegap. Alisnya tebal dan bibirnya tipis.

Dengan jelas aku bisa mengingat pertama kali kami bertemu hanya dengan bersitatap.

"Kita sekelompok kan? Kenalin, gue Rico. Lo?"

Saat itu kami memang sekelompok karena sehabis namanya, itu namaku. Tadinya, aku mengernyit. Aku sama sekali tidak ingat ada spesies bernama Rico di kelas. Mungkin karena aku 'belum' pernah merasa tertarik pada laki-laki manapun dan menerapkan sikap tidak-perlu-berkenalan-dengan-lelaki-jika-tidak-ingin-jatuh-terlalu-dalam.

Tapi aku mematahkan sikap itu dan bersalaman dengan Rico. Tangannya hangat juga besar. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan tanganku. Padahal, tanganku termasuk besar.

Tanpa sadar lama-kelamaan aku jatuh terlalu dalam.

Rico semakin sering hadir di pandangan mataku. Aku selalu melihatnya sekilas, terkadang dia mengajakku bicara dengan senyum lembut. Rico juga sering bercanda denganku. Intinya, seorang cowok membuatku merasa spesial.

Aku yang terbuai hanya bisa tersenyum bodoh jika mengingat kejadian di kantin. Ketika Rico membelaku dari sekawanan makhluk payah tak berotak yang mengusikku.

Di hari berhujan, ketika tanpa sengaja kami terjebak di sekolah setelah remedial, Rico menembakku.

"Gue suka lo, By. Gue harap kita lebih dari temen," senyum lembut Rico lagi-lagi melayangkan jiwaku.

Aku menerimanya, dengan pasti. Lalu kami berdua tertawa bersama. Ketika hujan mereda, aku dan Rico turun dari tangga dengan tangan saling mengait.

Happily ever after itu gak ada, karena akhirnya aku tahu Rico hanya menjadikanku bahan taruhan.

Saat itu aku hanya bisa membeku di tempat.

Aku bingung.

Aku sakit.

Sebanyak apapun diksi yang kugunakan, sama sekali tidak bisa menggambarkan perasaanku waktu itu.

Di hari berhujan, aku menerimanya. Di hari berhujan pula, aku memutuskan hubungan kami dan tidak pernah ingin melihat wujud Rico lagi.

Mungkin kau belum tahu, tapi sejak saat itu aku membenci hujan.

Juga membenci seorang Rico yang berhasil menjadikan dirinya first love's Tiberon.

"By, lo denger gue kan?"

Aku mengerjap beberapa kali. Serpihan rasa sakit di otakku langsung membuyar. Suara Rico membawaku kembali ke alam nyata. Rico tengah menatapku khawatir lewat ekor matanya. Tapi tak lama karena dia kembali fokus pada jalan raya.

"Sori. Lo ngomong apa?" tanyaku sambil melihat langit malam alih-alih menatap wajahnya.

Di luar hujan.

"Gue minta maaf."

"Lo udah gue maafin, Co."

"Tapi hati lo berkata laen, By."

"Apa lo peduli?" kali ini aku menatap Rico, deru nafasnya tidak teratur saat mendengar nada sinis dalam pertanyaanku.

Persetan.

"Co. Dari dulu lo gak pernah peduli perasaan seorang cewek kayak apa kalo dia, cuman, dijadiin, bahan, ta-ru-han."

Rico menghembuskan nafasnya, "everyone did a mistake."

ST [4] - Tibby's JournalNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ