3. DIPUTUSIN

50.6K 1.3K 34
                                    

BACA DARI AWAL KARENA BANYAK YANG DIRUBAH!!!

Semuanya bermula saat suatu malam Alex tiba-tiba datang ke rumahku dengan raut muka yang terlihat syok dan panik.

Karena khawatir, aku berusaha menenangkannya seraya berkata,"Tidak biasanya kamu datang jam segini, lex? Ada apa?"

Alex tak menjawab.

Dia hanya mengangkat wajahnya lalu memandangiku dengan mata yang berkaca-kaca dan raut wajah yang di penuhi kesedihan mendalam.

Seketika itu juga aku mengerti...

Hanya satu orang saja yang bisa membuatnya bertingkah seperti ini.

"Ada apa dengan Erna, Lex?" tanyaku sambil mendekatinya perlahan.

"Dia... mutusin aku, An." Mata Alex tampak berkaca-kaca dan tangannya yang bergerak terus, menampakkan betapa gelisahnya dia.

Kontan saja setelah mendengar itu, aku terkejut bukan main. Bagaimana bisa??? Sepulang sekolah, Erna dan Alex masih terlihat sangaaat... mesra. Mana mungkin dalam waktu beberapa jam saja tiba-tiba putus?

Daripada menghabiskan waktu menduga-duga, aku memutuskan menelepon Erna. Tapi sampai beberapa kali pun aku telepon, yang terdengar hanyalah nada sibuk.

Keesokan harinya, aku yang penasaran, segera mendatangi kelas Erna, tapi ternyata dia tidak masuk sekolah. Hal tersebut berlanjut sampai tiga hari setelahnya. Aku yang tidak sabaran menunggu lagi, akhirnya memutuskan menyeret Alex, yang saat itu kelihatan stress berat, kerumah Erna. Aku kuatir jangan-jangan dia sakit atau ada hal yang buruk terjadi padanya.

Namun betapa kagetnya kami sesampainya di sana.

Rumah Erna yang biasanya megah dan indah, saat itu terlihat kotor dan tak berpenghuni. Dan yang paling mengagetkan adalah tulisan besar yang terpampang di depan rumah Erna.

RUMAH INI DI SITA DAN SUDAH MENJADI MILIK BANK

Aneh! Nggak mungkin! Ini pasti halusinasiku saja.

Semenit...

Sepuluh menit...

Hingga lima belas menit berlalu...

Tetap saja tak ada yang berubah. Tulisan besar itu masih saja ada di sana.

Kepanikan dan kebingungan yang lima belas menit lalu kurasakan, perlahan-lahan berubah menjadi kemarahan. Aku marah karena merasa dibohongi. Tidakkah sebagai sahabat, kita seharusnya saling berbagi satu sama lain. Bagaimana dia bisa menyembunyikan masalah separah itu dariku.

Bodohnya aku lupa.

Aku lupa kalau bukan hanya aku saja yang kecewa. Bukan hanya aku saja yang marah dan sakit hati. Masih ada yang jauh lebih merasa kecewa dan sakit hati.

Aku berbalik perlahan.

Kulihat Alex berdiri mematung dengan raut muka tegang dan terus memandangi tulisan di depan rumah Erna.

Perlahan aku menghampirinya. Tapi semakin aku melangkah mendekat, dia malah mundur menjauh. Dan saat aku mempercepat langkahku, dia tiba-tiba berbalik dan berlari menjauh menuju motor yang di parkirkannya di seberang jalan.

Aku ingin berlari mengikutinya.

Tapi kemudian aku menghentikan langkahku karna aku pikir Alex pasti perlu waktu menenangkan diri dan keberadaanku pasti malah membuat dia tidak nyaman.

Besoknya... Alex juga ikut-ikutan membolos. Tapi mengingat kejadian sehari sebelumnya, aku pikir sahabatku itu mungkin masih perlu waktu lebih untuk menyendiri.

Yang menjadi kekuatiranku adalah Erna. Aku coba lagi mendatangi kelasnya. Siapa tau dia sudah masuk.

Salah!

Benar-benar salah dugaanku!

Aku pikir setelah rumahnya disita bank, Erna cuma akan pindah rumah dan tetap kembali lagi bersekolah seperti biasa. Sehingga ketika diberi tau oleh wali kelasnya kalau Erna sudah berhenti dari sekolah dua hari sebelumnya, kontan saja aku tidak habis pikir. Sahabat yang aku kira kukenal dekat luar dan dalam, tapi ternyata... menyimpan banyak kejutan yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Kemarahanku lenyap...

Yang merayap di hati dan pikiranku saat itu adalah rasa kehilangan yang mendalam.

Sahabat yang selama ini selalu menceritakan semua rahasianya padaku, tiba-tiba pergi tanpa memberi penjelasan sedikit pun. Bagaikan orang yang ditelan 'lubang hitam', keberadaan Erna tiba-tiba lenyap dari sisiku.

Tidak ada lagi orang yang akan mendengarkan ceritaku, menertawakan leluconku, dan menasehatiku jika aku mulai membuat masalah.

Benar-benar kejam.

Tidakkah aku berhak mendapatkan penjelasan?! Apakah keberadaanku tidak penting baginya?

Tak terasa aku mulai menangis tersedu-sedu di bangku kelasku. Aku menangis terus sampai mataku terasa perih dan panas seperti terbakar. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ingin menghabiskan waktu dengan menangis saja. Aku ingin pergi mencari Erna, tapi aku bingung harus mencari ke mana.

Saat itulah aku baru terpikir Alex. Dia pasti belum tau tentang keluarnya Erna dari sekolah. Aku harus memberitahunya sepulang sekolah. Dengan begitu, aku bisa bersama-sama dia mulai mencari informasi tentang keberadaan Erna.

Sesampainya di rumah Alex, aku langsung berlari ke kamar Alex di lantai atas. Aku hampir setiap hari main ke rumah Alex, jadi sudah dianggap seperti anggota keluarga yang tak perlu permisi-permisi lagi jika masuk ke dalam.

Sayangnya aku tidak menemukan dia di kamarnya. Aku lantas mencarinya di ruang belajar, ruang musik, dan ruang makan tapi aku tetap tidak menemukannya. Akhirnya aku memutuskan ke dapur untuk bertanya pada pembantu Alex sambil mengambil segelas air untuk menghilangkan rasa hausku akibat mondar-mandir mencari sahabatku itu.

"Halooo... mbak Sari. Apa kabarrr??? Tambah cantik saja," sapaku seperti biasa.

"Lho, Non kok ada di sini?"

"Biasaaa... mbak. Nyariin Alex. Dia dimana sih mbak? Dari tadi dicariin kok nggak nongol-nongol? Pergi ya dia?" cerocosku sambil meneguk air yang baru aku ambil dari lemari pendingin.

"Ya ampun... berarti Non nggak tau to," serunya sambil seketika wajahnya di liputi kesedihan.

"Tau apa mbak?" Perasaanku mulai nggak enak.

"Mas Alex kecelakaan kemaren, Non. Motornya nabrak pembatas jalan. Sekarang masih dirawat di rumah sakit. Lukanya parah lho!"

Aku masih tak bisa mempercayai pendengaranku. Semuanya terjadi terlalu beruntun dan terlalu mengejutkan sehingga terkesan seperti sinetron.

"Sekalian aja Non kesana, soalnya Pak Tino mau kesana juga nganterin baju-baju Nyonya."

Perasaanku benar-benar campuk aduk. Belum lagi hilang keterkejutanku karena perginya Erna, sekarang aku harus dikejutkan lagi dengan berita kecelakaan Alex.

Sahabat macam apa aku ini. Jelas sekali dari hari pertama Alex datang padaku dengan raut wajah yang kalut dan frustasi. Seharusnya, aku tak meninggalkannya sendirian dan hanya larut pada kesedihanku sendiri.

Parahnya lagi, setelah dari rumah Erna kemarin, aku terlalu menyepelekan luka di hati Alex. Aku bahkan tak meneleponnya dan tak menanyakan kabarnya. Aku pikir Alex bisa mengatasi ini sendirian tanpa bantuanku. Nyatanya, bocah itu malah menabrakkan dirinya sendiri dan menambah daftar kekhawatiranku sekarang.

Saat kami sampai di rumah sakit, ketakutan mulai merayap di benakku. Suasana di rumah sakit yang muram dan bau-bau obat-obatan di sana, membuatku berpikiran yang tidak-tidak. Berlebihan memang... tapi aku benar-benar ketakutan.

Bagaimana jika Alex jadi cacat? Bagaimana pula jika dia meninggal? Bagaimana jika...

Bagaimana jika cacatnya sedemikian parahnya dan membuatnya tak bisa bergerak dan tak bisa menyapanya lagi. Selamanya!

***

PERNIKAHAN PARO WAKTU  [#wattys2022]Where stories live. Discover now