Bagian 43. INSIDEN DAN SEBUAH RENCANA

1.4K 341 62
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bismillahirrahmanirrahim

Ya Allah...sungguh...tolonglah Arrasid teman-teman. Saya benar-benar tidak bisa menceritakan tekanan yang dihadapi orang tuanya. Banyak orang baik di sekitar kami, Tapi ketika sudah berhubungan dengan pembayaran tindakan medis dan tunggakan, kami benar-benar merasa tertekan. Semua seperti diburu-buru dan tidak semua memasang muka ramah.

Saya sudah berada di titik benar-benar tidak berdaya. Tidak bisa membantu mereka lagi. Tolong teman-teman, bila berkeluangan rejeki bulan ini, bantu mereka menggantikan saya [ 6281263649 BCA a/n NIKEN ARUM DHATI ]

9.550.000 lagi teman-teman. Tunggakan itu yang ditanyakan terus menerus oleh pihak rumah sakit. Tolonglah kami.

Terima kasih yang sudah membantu berkali-kali juga terima kasih doanya selama ini. Semoga Allah kabulkan seluruh hajat teman-teman semuanya. Mohon terus doakan kami 🙏

Selamat membaca teman-teman ♥️

*

”Berapa umurmu?”

Duduk di sofa paling dekat dengan pintu, Brielle tidak berniat meninggalkan ruangan itu buru-buru. Tugas semua orang di rumah itu untuk memastikan bahwa semua pintu dan jendela tertutup rapat sebelum semuanya beristirahat.

”Saya 19 tahun.”

”Oh...mengapa buru-buru sekali ingin menikah.”

Alis Brielle bertaut sebelum dia membuka mulutnya. Apa yang terlontar dari mulut Dian Hanifah nyaris tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Itu lebih seperti kalimat penyesalan.

”Karena wanita tidak baik menolak ketika lamaran datang. Keyakinan seperti itu rasanya bukan hanya di sini saja. Tapi juga di negara saya.”

”Aku tidak yakin orang-orang di negaramu berpikir seperti itu. Tapi, itu lebih pada...kau sudah belajar banyak untuk memahami budaya di sini.”

”Bisa jadi. Itu yang harus saya lakukan bukan?”

”Tentu saja. Tidak mudah menjadi bagian dari keluarga ini.”

Brielle tetap menatap lekat Dian Hanifah yang sekarang duduk bersandar pada kusen jendela.

”Sudah sangat larut Mbak...”

”...Mas Gempar tidak pernah menutup mati pintu butulan di balik tanaman merambat di sebelah sana itu.”

Brielle mengikuti arah telunjuk Dian Hanifah dan mencerna nada suara wanita itu yang terdengar menggaungkan sebuah kemenangan.

”Ruangan ini kami yang memilih furniture nya. Ibu Agni yang merajut selimut ini khusus untukku.” Dian mengusap selimut itu lembut sambil tersenyum ke arah Brielle. ”Kamar ini kami sebut kamar pelarian. Ruangan di mana kami berdiam diri ketika penat.”

”Lalu?”

”Lalu? Itu pertanyaan yang menandakan kamu masih sangat muda untuk terlibat dengan hubungan yang serius.”

GEMPAR AND THE COFFEE THEORY Where stories live. Discover now