28. Pesona Batari

36 8 13
                                    

Bandoeng, 08 Desember 1941.

Tok. Tok. Tok.

"Masuk"

Pintu sebuah ruangan terbuka setelah penghuninya mengizinkan untuk masuk. Aryan. Pemuda tampan nan manis itu kembali menutup pintunya dari dalam. Setelahnya ia menuju meja kerja sang ayah dan duduk dihadapan pria yang tengah sibuk menulis sesuatu.

"Permisi, Romo" Ucap Aryan sopan setelah duduk menghadap ayahnya.

Raden Mas Adiwilaga Witjaksono. Pria yang umurnya sudah menyentuh kepala enam itu melirik sekilas dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Tampilan dan sikapnya yang gagah penuh karisma membuat siapapun sungkan. Bahkan anaknya sekalipun.

"Kamu toh, Yan. Ada apa?" Tanyanya.

Aryan tersenyum tipis sebelum berucap. "Aryan mau bertanya. Apa.. Romo memiliki kenalan dokter yang bagus?"

Adiwilaga langsung menghentikan aktivitas menulisnya. Sampai-sampai ia menaruh pena dan menatap anak sulungnya. "Dokter? Untuk apa?"

"Aryan dengar.. Batari terjatuh dan lupa dengan semuanya. Termasuk Aryan" Cicitnya dengan suara pelan.

"Batari anak asuh Kartika? Hilang ingatan?" Tanya Adiwilaga meyakinkan.

"Nggih, Romo" Jawab Aryan sopan.

Aryan harap-harap cemas ketika ayahnya terlihat berpikir. Hingga akhirnya sang ayah berucap. "Romo ndak bisa menjanjikan apapun, tapi akan Romo usahakan"

Merekahlah air muka Aryan. Ia langsung berdiri dan mengambil lengan kanan Adiwilaga untuk dicium. "Matur nuwun, Romo"

Adiwilaga tersenyum sambil menepuk punggung Aryan yang masih membungkuk. Ia sangat bangga dengan tatakrama yang dimiliki anaknya ini. "Nanti Romo akan hubungi Herman, teman Romo yang ada di Stovia"

"Iya. Sekali lagi matur nuwun, panganpunten kalau Aryan merepotkan Romo" Ulang Aryan merasa tidak enak.

Senyuman hangat Adiwilaga berikan sambil bangkit dan mengambil beberapa berkas. Ketika hendak pergi, langkahnya terhenti lalu berbalik ke arah Aryan. "Oh iya, besok jangan lupa untuk rapat dengan Tuan Thomas di Tjimahi"

"Nggih, Romo. Aryan ingat" Lagi-lagi adab istimewa yang pemuda ini perlihatkan pada ayahnya.

"Ya sudah, Romo tinggal dulu" Pamit Adiwilaga keluar dari ruang kerjanya.

Lega rasanya. Aryan tersenyum begitu cerah mendapat reaksi hangat dari ayahnya. Ketika ia keluar dan hendak menutup pintu ruang kerja ayahnya, tiba-tiba ada yang menggandeng lengan kirinya.

"Kangmas!" Sapa seseorang.

Raden Ajeng Laras Witjaksono. Gadis bergelung dengan kebaya putih itu bergelayut manja pada lengan sang kakak. Gadis ayu berusia enambelas tahun itu selalu saja nempel dengan Aryan jika bertemu. Seakan tidak mau dipisahkan.

"Kangmas kira siapa" Kekeh Aryan sambil menepuk lembut puncak kepala adik bungsunya.

Diperlakukan begitu membuat Laras seakan terbang dan jatuh di hamparan awan yang lembut. Menyenangkan sekaligus mendebarkan. "Kangmas mau ndak antar Laras?" Tanyanya.

"Kemana?"

Laras menghentikan langkah dan membuat Aryan berhadapan dengannya. "Laras mau membatik, antar Laras beli kain ya?"

Aryan menggaruk ujung alisnya lalu berdeham pelan. "Maaf, Kangmas ndak bisa sepertinya"

"Kenapa toh?" Laras langsung menyerngitkan dahinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now