18. Sosok Pendamping

52 11 1
                                    

Di sebuah rumah megah dengan cat berwarna putih, terlihat seorang lelaki perawakan jangkung yang memakai atribut tentara tersenyum seraya memasuki area halaman rumah tersebut. Pemuda bermata biru laut itu semakin mengembangkan senyum sembari melepas helm tentara berwarna hijau lumut kebanggaannya. Sesampainya di teras, ia duduk di kursi kayu jati yang memanjang.

Pemuda itu tidak pulang dengan tangan kosong. Ransel besar dan senjata laras panjang, hati-hati ia taruh didekat meja. Tak lupa bingkisan kertas yang bergerak-gerak dan bersuara cuit-cuit, ia taruh juga diatas meja perlahan. Sambil melepas sepatu, pemuda itu sedikit menoleh ke arah pintu.

Dan hap! Ia langsung mencekal lengan seseorang yang baru saja keluar dari dalam rumah. Mendapat tatapan bingung dari si empunya tangan, pemuda itu menggeser duduknya dan menepuk lahan kosong disampingnya.

"Duduklah" Titahnya dengan aksen yang begitu khas.

Sedangkan gadis manis berkebaya abu itu duduk dengan gerakan ragu dan pelan. Ia melirik pemuda tampan yang duduk disebelahnya sedang mengambil sesuatu diatas meja, lalu ditunjukkan padanya dengan senyum mengembang.

"Saya bawa sesuatu.. untuk kamu" Ucapnya sembari menyerahkan bingkisan kertas tadi pada kedua tangan gadis tersebut.

Si gadis hanya terdiam ketika pemuda berambut pirang itu mulai membuka bingkisan yang berada di tangannya. "Lihat. Saya membelinya di pasar tadi"

Tak lama kemudian terdengarlah suara ciak anak ayam. Dua sayap kecil berwarna kuning itu mengepak pelan sambil terus berbunyi riuh.

"Kamu suka?" Tanyanya masih dengan senyum mengembang.

Sang gadis tak merespon apapun. Ia hanya terdiam sambil memandangi anak ayam berwarna kuning di telapak tangannya.

"Kamu.. tidak suka?"

Si gadis langsung mengangkat kepala, menatap manik biru di hadapannya. Sedangkan kedua mata indah itu hanya balas memandangnya sendu. Perlahan, tetesan air mata mulai mengalir pada kedua pipi tembam si gadis. Sambil berusaha tersenyum, ia menggeleng pelan sambil terus menatap pemuda berseragam tentara itu.

"Aku bingung" Lirihnya pelan.

Pemuda itu ikut menggeleng. "Maaf jika saya.. sering meninggalkan kamu. Kita akan pergi dari sini. Tapi saya butuh bantuanmu nanti" Ucapnya seraya menggeser duduknya lebih dekat.

"Maaf.." Ulangnya lembut. Lalu ia tersenyum seraya menggenggam kedua tangan si gadis yang masih menyangga anak ayam. "Berilah nama yang bagus"

Belum sempat isak tangis si gadis terhenti sepenuhnya, sudah ada suara melengking yang bersumber dari dalam rumah. Membuat dua anak manusia itu bangkit dari duduknya.

"BABUUU!!"

Tak lama kemudian, muncul seorang perempuan berkulit putih dan berambut pirang yang mengenakan gaun berwarna putih mengembang. Ia menatap geram gadis manis berkebaya lusuh tersebut.

"Wie noem je baboe?" pemuda bermanik biru itu langsung maju, tak terima jika gadis pribumi kesayangannya diteriaki dengan panggilan tersebut.

"Maak me warme chocolademelk!" Titah perempuan bergaun putih untuk segera dibuatkan cokelat panas.

Tak terima. pemuda jangkung itu protes, kenapa tidak minta dibuatkan saja pada pembantunya. "Waarom heb je hem besteld? Zijn er geen arbeiders in de keuken?"

"Verdedig je hem nog steeds?!"

Si perempuan gaun putih itu memekik kesal, kenapa pemuda ini malah membela gadis pribumi. Karena kesal tanpa alasan, dengan gerakan cepat ia langsung menjambak rambut gadis berkebaya cukup kencang.

BANDOENG DIKALA MALAM [ON GOING]Where stories live. Discover now